BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada hakekatnya derajat kesehatan
dipegaruhi oleh empat faktor penentu yaitu: Faktor lingkungan, faktor prilaku,
faktor pelayanan kesehatan dan faktor keturunan. Dari empat faktor tersebut,
faktor lingkungan merupakan faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap
peningkatan derajat kesehatan masyarakat (Blum,1974).
Investasi cacing pada manusia
dipengaruhi oleh prilaku, lingkungan tempat tinggal dan manipulasinya terhadap
lingkungan. Kecacingan banyak ditemukan di daerah dengan kelembaban tanah
tinggi dan terutama pada kelompok masyarakat dengan hygiene dan sanitasi
kurang. (Khatija, 2003).
Kecacingan merupatan salah satu faktor
yang berpengaruh terhadap penurunan kwalitas sumber daya manusia, mengingat
cacingan akan menghambat pertumbuhan fisik dan kecerdasan bagi anak serta
produktifitas kerja pada orang dewasa ( Dep Kes RI, 1998) menurut laporan Bank
Dunia di Negara berkembang diperkirakan
diantara anak perempuan berusia diantara 5 – 14 tahun. Kecacingan merupakan 12
% dari beban kesakitan total sementara anak laki-laki 11 %.
Beberapa hasil survey infeksi cacing
di SD daerah kumuh pada tahun 1986 – 1991 menunjukan hasil sebasar 60 -80 %
murid terinfeksi. Pemeriksaan yang dilakukan pada tahun 1986 disebuah sekolah
di Jakarta Timur mendapatkan prevalensi
82,5 %. Penelitian diwilayah DKI yang lain seperti di Bungur 1 dan Bungur 2
tahun 1979 serta Jembatan Besi tahun 1984 menunjukan angka yang cukup tinggi
untuk masing masing sekolah yaitu 73,9 % dan 90,8 %. Sedangkan di Joglo pada
tahun 1985 dan Duren Sawit pada tahun 1986 prevalensi Ascaris Lumbricoides 60,1 % dan Trichiuris
Triciura 80 % serta Hook Worm
29,4 % (Prasetia, 1993).
Survey Dinas Kesehatan di Propinsi pada tahun 1995/1996 menemukan prevalensi kecacingan pada anak SD
di 7 kebupaten di propinsi sebesar 63,7 % Ascaris Lumbricoides, 57,6 % untuk Trichiuris Triciura dan 8,4 % untuk Hook Worm. Untuk daerah Medan
sebesar 70 % Ascaris Lumbricoides, 80
% Triciuris Triciura dan 13 % Hook Worm (Dep Kes RI, 2000).
Secara umum infeksi kecacingan
biasanya tidak mendapatkan perhatian yang cukup, terutama dari pihak orang tua.
Hal ini disebabkan karena akibatnya secara langsung tidak dapat dilihat,
seperti pada gangguan akibat infeksi lain. Hal ini dimungkinkan karena sifatnya
yang tersembunyi, serta jarang menimbulkan kematian. Biasanya penderita hanya
mengeluh karena diare, napsu makan kurang dan tidak bersemangat. Selain itu
juga dapat menghambat perkembangan fisik, kecerdasan dan produktivitas kerja,
bahkan pada gilirannya dapat menurunkan ketahanan tubuh sehingga mudah terkena
penyakit lainnya (Depkes RI,1998).
Salah satu masalah sanitasi
lingkungan yang mempengaruhi kejadian cacingan adalah kurangnya penyediaan jamban/sarana
pembuangan tinja mengakibatkan terjadinya pembuangan tinja di sembarang tempat.
Masalah tinja perlu mendapat perhatian khusus karena tinja manusia dapat
berperan dalam proses kontaminasi terhadap air, tanah dan lingkungan lainnya.
Yang dapat menimbulkan penyakit.
Dalam perkembangan telur cacing
sangat membutuhkan kelembaban tanah tinggi dan suhu lingkungan berkisar antara
250 – 300 C. jenis tanah juga sangat mendukung dalam perkembangan telur cacing. Dalam hal ini
tekstur tanah yang disukai cacing
adalah tanah liat. (Haryati, 1993).
Kabupaten berdasarkan survey sentinel
kecacingan anak sekolah 2008 yang
dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten terhadap 3 Sekolah Dasar didapat
hasil bahwa 78,6 % murid SD positif menderita kecacingan, dari data sementara
yang didapat di MIN ternyata sebahagian anak didik menunjukan
tanda-tanda kecacingan yakni muka kelihatan pucat, dan kurang gairah serta
perut relative buncit, Karena itu penulis tertarik untuk meneliti bagaimana
faktor – faktor yang mempengaruhi kejadian kecacingan pada anak sekolah .
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas
maka permasalahan yang diambil adalah apa saja “Faktor – faktor yang
mempengaruhi Kejadian kecacingan pada anak sekolah ”.
1.3. Ruang Lingkup Penelitian.
Untuk
menghindari kekaburan dan luasnya permasalahan, maka penulis membatasi ruang lingkup penelitian pada tingkat Kebersihan Perorangan, Kebersihan Lingkungan,
dan Kebiasaan anak sekolah .
1.4. Tujuan Penelitian,
1.4.1.
Tujuan Umum.
Untuk mengetahui faktor – faktor yang
mempengaruhi kejadian kecacingan pada anak sekolah .
1.4.2.
Tujuan Khusus.
1. Diketahuinya tingkat Kebersihan Perorangan terhadap kecacingan
pada anak sekolah di MIN .
2. Diketahuinya tingkat Kebersihan Lingkungan terhadap
kecacingan pada anak sekolah di MIN .
1.5.Manfaat Penelitian.
1.5.1.
Manfaat Teoritis
a.
Dapat memberikan wawasan
ilmu pengetahuan penulis untuk
mengembangkan diri dalam disiplin ilmu Kesehatan Masyarakat.
b.
Sebagai bahan bacaan bagi
perpustakaan yang dapat dimamfaatkan oleh mahasiswa dan Referensi bagi peneliti mengenai hal tersebut.
1.5.2.
Manfaat Praktis
a.
Untuk mengaplikasikan dan
memperdalam ilmu yang dipelajari di bangku kuliah dengan membandingkan teori yang didapat dengan kenyataan dilapangan.
b.Sebagai bahan masukan bagi Sekolah MIN tentang keadaan kecacingan pada anak didik.
c.
Bagi Dinas Kesehatan dapat
dipakai sebagai bahan masukan atau informasi dalam meningkatkan derajat
Kesehatan Khususnya kesehatan Anak
Sekolah.
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Cacing Usus pada
Manusia
Salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang tidak kurang pentingnya di Negara – Negara yang sedang
berkembang di daerah tropik ialah penyakit investasi cacing usus. Cacing
umumnya tidak menyebabkan penyakit berat sehingga seringkali diabaikan walaupun
sesungguhnya ia memberikan gangguan kesehatan. Tetapi dalam keadaan investasi
berat atau keadaan luar biasa, ia cenderung memberikan kesan keliru kearah
penyakit lain dan tidak mustahil juga kadang – kadang berakibat fatal.
Cacing – cacing usus pada manusia
diantaranya adalah Ascaris Lumbricoides,
Triciuris Triciura, Negator Amiricanus, dan Ancylostoma Duodenale yang penularannya
melalui tanah yang tercemar tinja manusia sehingga distribusi frekwensinya
masih tergolong tinggi di Indonesia (Depary, 1985).
2.2. Cacing Gelang ( Ascaris Lumbricoides )
Nama umum di Indonesia cacing ini
dikenal sebagai Cacing Gelang, distribusi geografik parasit ini tersebar di
seluruh dunia terutama di daerah tropik yang berkelembabannya cukup tinggi.
Klasifikasi pertama dari cacing ini adalah: (Jeffrey & Leach, 1983) :
a. Sub
Kingdom : Metazoa.
b. Filum :
Nematyhelminthes
c. Kelas :
Nematoda
Habitat cacing dewasa terdapat
didalam usus halus, tetapi kadang – kadang mengembara di bagian usus lainnya.
Selain di dalam usus manusia, cacing ini juga hidup dalam usus babi.
Manusia merupakan satu – satunya hospes difinitif Ascaris lumbricoides.
Telur Ascaris Lumbricoides yang
berasal dari babi tidak dapat menimbulkan infeksi pada manusia, sehingga
meskipun secara morfologi sulit
dibedakan satu dengan yang lainnya, akan tetapi secara fisiologik ternyata kedua spesies tersebut berbeda.
Pada waktu telur yang telah dibuahi
keluar bersama tinja penderita, telur belum infektif. Jika telur jatuh di
tanah. Maka di dalam tanah telur akan tumbuh dan berkembang. Ovum yang berada di dalam telur akan
berkembang menjadi larva rabditoform,
sehingga kini telur menjadi infektif.
2.2.1. Morfologi Cacing
Gelang ( Ascaris Lumbricoides )
Cacing Gelang dewasa bentuknya mirip
cacing tanah. Cacing yang merupakan nematode
usus terbesar pada manusia ini yang betina lebih besar ukurannya dibandingkan
dengan jantan. Panjang cacing betina lebih besar ukurannya dibandingkan dengan
jantan. Panjang cacing betina antara 22 cm sampai 35 cm. Sedangkan yang jantan
antara 10 cm sampai 31 cm. Cacing yang tubuhnya berwarna kecoklatan ini
mempunyai kutikulum yang rata dan
bergaris – garis halus, kedua ujung badan cacing membulat. Mulut cacing
mempunyai bibir sebanyak 3 (tiga) buah, satu dengan dorsal yang lain sub ventral.
Cacing jantan mempunyai ujung posterior yang runcing, melengkung
kearah vebtral, mempunyai banyak
pupil kecil dan juga terdapat 2 (dua) buah spikulum
yang melengkung, masing – masing berukuran panjang sekitar 2 mm. cacing betina
mempunya bentuk tubuh posterior yang
membulat dan lurus.
Sedangkan telur yang dibuahi (fertilized) berukuran panjang antara 60
mikron dan 74 mikron, sedangkan lebarnya berkisar antara 40 sampai 50 mikron,
telur cacing ini mempunyai kulit telur yang tidak berwarna yang sangat kuat.
Diluarnya terdapat lapisan albumin
yang permukaannya berdungkul yang berwarna coklat oleh karena menyerap zat
warna empedu. Di dalam kulit telur cacing masih terdapat suatu selubung vetellen tipis, tetapi lebih kuat dari
kulit telur.
Selubung vitellin meningkatkan daya tahan telur cacing Ascaris Lumbricoides terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga dapat
bertahan hidup sampai 1 (satu) tahun lamanya. Telur yang telah dibuahi ini
mengandung sel telur (ovum) yang tak
bersegmen. Di dalam kutup telur yang berbentuk lonjong atau bulat ini terdapat
rongga udara yang tampak sebagai daerah yang terang berbentuk bulan sabit.
Telur yang tidak dibuahi (unfertilized) dijumpai dalam tinja, bila
didalam tubuh hospes hanya terdapat
cacing betina. Telur ini bentuknya lebih lonjong dengan ukuran sekitar 80 x 55
mikron. Dinding tipis, berwarna coklat dengan lapisan albumin yang tidak teratur. Sel telur mengalami atropi, yang tampak dari banyaknya butir
– butir refraktil. Pada telur yang
tidak dibuahi tidak dijumpai rongga udara jika telur cacing Ascaris
Lumbricoides telah kehilangan lapisan albuminnya,
maka adanya ovum yang besar di dalam
telur cukup untuk menentukan jenis telur cacing Ascaris Lumbricoides (Soedarto, 1991).
2.2.2. Siklus Hidup Cacing
Gelang ( Ascaris Lumbricoides )
Bila telur infektif tertelan oleh manusia, maka di dalam tubuh manusia di
bagian atas dari usus halus dinding telur pecah dan larva akan lepas dari
telur. Larva akan menembus dinding halus memasuki vena porta hati, kemudian bersama aliran darah menuju jantung kanan
untuk selanjutnya menuju sirkulasi paru. Di dalam paru larva tumbuh dan
berganti kulit sebanyak 2 (dua) kali, kemudian menembus dinding kapiler menuju
ke alveoli, masa migrasi itu
berlangsung selama lima
belas hari.
Dari alveoli, larva merangkak ke bronki,
trakea kemudian ke laring untuk selanjutnya ke faring, pindah ke usus halus. Disini
terjadi penggantian kulit lagi, dan cacing timbuh menjadi dewasa. Dua bulan
sejak infeksi pertama terjadi, seekor cacing betina mulai mampu memproduksi
telur sebanyak 200.000 telur setiap harinya. Cara infeksi cacing Gelang (Ascaris Lumbricoides) dapat terjadi
melalui beberapa jalan, yaitu masuknya telur yang infektif ke dalam mulut
bersama makanan dan minuman yang tercemar, atau tertelan telur melalui tangan
yang kotor misalnya pada anak – anak atau telur infektif terhirup bersama debu
udara. Pada keadaan terakhir ini larva cacing menetas di mukosa jalan nafas bagian atas untuk kemudian langsung menembus
pembuluh darah dan memasuki aliran darah. (Soedarto,1991).
2.2.3. Patogenesis dan
Gejala Cacing Gelang ( Ascaris
Lumbricoides )
Migrasi larva cacing dalam jumlah besar
di paru – paru penderita akan menimbulkan pneumonia
dengan gejala berupa demam, batuk, sesak dan dahak berdarah, yang umumnya
disertai oleh urtikaria dan eosinofil sekitar 20%. Pneumonia disertai gejala alergi ini
disebut sebagai sindrom Loeffler atas
Ascaris Pnemonia.
Cacing dewasa pada anak – anak
menimbulkan kekurangan gizi. Dari cairan tubuh cacing dapat menimbulkan reaksi
sehingga terjadi gejala mirip demam tifoid
disertai tanda alergi misalnya urtikaria, edema di wajah. Konjungtiva dan iritasi pernafasan
bagian atas. Akibat mekanik misalnya obstruksi
usus intususepsi atau perforasi ulkus di usus.
Migrasi
cacing ke organ-organ (Ascaris Ektopi)
misalnya ke lambung, usofagus mulut, hidung,
terjadi apendisitis, asbes hati, obstruksi cairan empedu dan pankreatitis akut (Soedarto, 1991).
2.2.4. Diagnosis Cacing
Gelang (Ascaris lumbricoides)
Pada cacing dewasa ditemukan pada
tinja atau muntah penderita, radiografi
dengan barium dapat melihat adanya
cacing dalam usus atau organ lain. Pemeriksaan mikroskopik dapat dilakukan dalam tinja atau dalam cairan empedu. Pemeriksaan
darah menunjukkan adanya eosinofili
pada stadium awal infeksi, sedangkan Scratch
Test pada kulit menunjukkan reaksi yang positif (Spedarto,1991).
2.2.5.Pengobatan dan
Pencegahan Cacing Gelang (Ascaris
lumbricoides)
Obat cacing spektrum luas lebih aman, sedikit efek samping dan mudah cara pemakaiannya
kini lebih banyak digunakan seperti pirantel
pamoat, mebendazol, livamisol dan
albendazol, pengobatan masal terhadap
penduduk dengan antelmintik yang
mempunyai spektrum luas, diikuti dengan perbaikan sanitasi dengan hygiene
pribadi dan lingkungan akan mencegah
penyebaran Ascaris. Pendidikan
kesehatan pada seluruh anggota keluarga akan meningkatkan keberhasilan
pemberantasan Ascaris.(Soedarto,1991)
2.3.
Cacing Cambuk (Trichuris tricihiura)
Cacing ini disebut juga cacing Cambuk
yang dapat menimbulkan penyakit trichuriasis.
Hospes definitifnya adalah manusia, penyebaran kosmopolit, frekuensinya di Indonesia tinggi lebih kurang 80%.
2.3.1.
Morfologi Cacing Cambuk (Trichuris
trichiura )
Cacing
dewasa bentuknya silindris seperti cambuk
dimana bagian yang tipis halus seperti benang adalah bagian interior/kepala dan
bagian yang tebal adalah posterior/ekor. Cacing betina panjangnya lebih kurang 5 cm, ekornya lurus. Cacing jantan panjangnya
4 cm, ekornya melengkung (Haryati,1993). Telur dengan ukuran 50-54 x 23µ berbentuk
seperti tempayan (gentong) dengan semacam tutup yang jernih dan menonjol pada
kedua kutub . Kulit bagian luarnya berwarna kekuning-kuningan dan bagian
dalamnya jernih (Brown,1983).
2.3.2.
Siklus Hidup Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)
Cacing betina setiap harinya
menghasilkan telur 3.000 – 10.000 butir
telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut
menjadi matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai. Telur
matang adalah telur yang berisi larva yang merupakan infektif. Cara infeksi
langsung yaitu bisa secara kebetulan
hospes menelan telur matang. Larva keluar melalui dinding telur dan masuk ke
dalam usus halus. Sesudah menjadi dewasa, cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke kolon, terutama sekum,
jadi tidak ada siklus paru. Cacing ini dapat hidup beberapa tahun di usus besar
hospes. (Tambayong, 2002).
2.3.3.
Gejala Klinis Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)
Gejalanya ringan, sehingga tidak
banyak menimbulkan perhatian. Sekali sekali
dijumpai infeksi berat dengan diare
terus menerus disertai darah dalam tinja. Pada kasus ini dapat
menimbulkan intoksikasi sistemik dan
diikuti dengan anemia (Onggowaluyo,1998).
2.3.4.
Epidemiologi Cacing Cambuk (Trichuris
trichiura)
Penyebaran seiring dengan penyebaran
pada Ascaris Lumbricoides. Frekuensi
yang tertinggi ditemukan di daerah-
daerah dengan hujan lebat, iklim subtropik, dan tanah dengan banyak kontaminasi
tinja. Infeksi terjadi dengan
tertelannya telur dengan perantaraan tangan, makanan atau minuman yang secara langsung terkena kontaminasi
tanah atau secara tidak langsung melalui binatang perliharaan dan debu.
2.4.Cacing
Tambang ( Hook worm )
Ada 2 (dua) species
Ancylostoma duodenale dan Necator americanus. Kedua spesies ini menyebabkan
penyakit Ancylostomiasis pada
manusia. Cacing dewasa hidup dalam rongga usus muda (duodenale) dan mulutnya melekat pada mukosa untuk melukai dan
menghisap darah sebagai makanannya. Bila cacing ini melepaskan
mulutnya/berpindah. Luka bekas isapanmya akan terus mengeluarkan darah dalam
waktu yang agak lama. Cacing ini terdapat di seluruh daerah khatulistiwa dan di
tempat lain yang beriklim sama. Terutama di daerah pertambangan dan perkebunan
yang lingkungannya jelek. Di Indonesia frekuensinya tinggi lebih kurang 70%.
(Brown,1983).
2.4.1.Morfologi
Cacing Tambang ( Hook worm )
Cacing
betina panjangnya 1 cm dan jantan 0,8 cm. Bentuknya silindris dan bewarna
putih. Hook worm berbentuk seperti
huruf C dan mempunyai 2 pasang gigi yang sama besar pada mulutnya. Cacing tambang
jantan mempunyai bursa copulatrix pada ujung ekor dan betina
ekor lurus dan runcing. Hook work
bertelur kurang lebih 10.000 butir/ hari (Haryati, 1993).Telur mempunyai
ujung-ujung yang membulat tumpul dan selapis kulti hialin tipis yang transparan dan berukuran 56-60 x 36-40µ (Brown,
1983).
2.4.2.
Siklus Cacing Tambang (Hook worm)
Penularan telur ini kepada manusia dimulai
dari adanya telur yang dikeluarkan
bersama tinja. Telur ini cepat menjadi matang
dan mengeluarkan larva rhabditiform
dalam 1-2 hari. Larva ini akan berubah bentuk menjadi larva filariform setelah 5-7 hari. Larva ini
akan bertahan 6-8 minggu di tanah yang lembab. Larva masuk kedalam hospes
melalui folikel rambut, pori-pori
atau melalui kulit. Larva masuk ke dalam saluran limfe atau saluran kecil dan dibawa oleh aliran darah melalui
jantung kanan ke paru-paru. Di tempat ini, larva tidak dapat melalui rintangan kapiler karena ukurannya besar, maka larva menembus
kapiler masuk ke dalam alveolus kemudian di bronchus dan trachea, lalu ke larynx ,
pharynx, menuju oesophagus yang akhirnya tertelan dan masuk ke usus. Migrasi larva
melalui darah dan paru-paru ini
berlangsung selama lebih kurang 1
minggu. Setelah periode ini larva mengalami
perubahan lagi menjadi cacing dewasa
yang matang yang bertelur 5-6
minggu setelah infeksi (Brown, 1983).
Penelitian
baru menunjukan bahwa infeksi dengan Ancyilastoma
duodenale dapat terjadi karena menelan larva filariform yang terdapat pada sayuran dan makanan lain yang
terkontaminasi dengan tanah (Zaman dan Keong, 1988).
2.4.3. Gejala Klinis
Cacing Tambang (Hook worm)
a. Larva Filariform
1.
Karena larva ini menembus
kulit, maka menimbulkan penyakit “Ground
iteh” dengan gejala : gatal, erythem,
papula, erupsi dan vesicular pada
kulit.
2.
Setelah larva sampai di
paru-paru, maka akan menimbulkan batuk dan pnomonitis.
3.
Bila tertelan larva filariform, maka akan menimbulkan penyakit “Wakana disease “.
b. Cacing Dewasa.
Karena sifat cacing dewasa yang
mengisap darah dan suka berpindah – pindah serta luka bekas isapannya terus
mengeluarkan darah kerena cacing ini
mengeluarkan sejenis anti koagulan
pada mukosa usus tempat mulutnya
melekat, maka akan menimbulkan anemia hypochrom
icrocytair dimana kadar haemoglobin
(Hb) nya bias turun sampai 2 gr% dan sel darah lebih kecil dari ukuran normal.
Penderita masih dapat bekerja tetapi selalu lemah dan lesu serta debaran
jantung lebih cepat dan lebih kuat.
Anemia pada penderita ini timbul karena :
1.
Defisiensi ferum ( kekurangan
zat besi )
2.
Darah yang dihisap cacing
dewasa cukup banyak yaitu rata-rata 0,3 ml/hari/ekor.
3.
Banyak luka di usus yang masih
mengeluarkan darah karena cacing ini suka berpindah pindah.
4.
Kemungkinan cacing ini
mengeluarkan toxin.
Berat ringannya anemia ini tergantung
pada jumlah dan jenis/spesies cacing serta keadaan gizi penderita, umur dan
daya tahan penderita serta reinfeksi (Haryati,1993).
2.4.4. Epidemiologi Cacing
Tambang (Hook worm )
Tanah yang gembur berpasir dan humus
dan lembab sangat baik untuk pertumbuhan larva dengan suhu dengan optimum 28 –
32o C. Penderita Ancylostoma yang
defekasi (Buang Air Besar) di
sembarang tempat serta pemakaian tinja sebagai pupuk kebun sangat penting dalam
penyebaran cacing tambang ( Haryati, 1993 ).
2.5. Dampak Penyakit
Cacing Terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia
2.5.1. Dampak Terhadap Status Kesehatan Dan Gizi
Kecacingan sering sekali menyebabkan
berbagai penyakit di dalam perut dan berbagai gejala penyakit perut seperti
kembung dan diare. Cacing gelang tidak jarang menyebabkan kematian karena
penyumbatan usus dan saluran empedu. Cacing tambang dan cacing cambuk dapat
menyebabkan anemi berat yang menyebabkan orang menjadi sangat lemah oleh karena
kehilangan darah.
Kecacingan mempengaruhi pemasukan, pencernaan,
penyerapan (adsorbsi) serta
metabolisme makanan sehingga menyebabkan kekurangan gizi. Anak yang menderita
cacingan, nafsu makannya menurun sehingga makanan yang masuk akan berkurang,
jumlah cacing yang banyak dalam usus akan mengganggu pencernaan dan penyerapan
makanan.
Kecacingan selain berperan sebagai
penyebab kekurangan gizi yang kemudian berakibat terhadap penurunan daya tahan
tubuh terhadap infeksi, juga berperan sebagai faktor yang lebih memperburuk
keadaan kekurangan gizi yang sudah ada sehingga memperburuk daya tahan tubuh
terhadap berbagai macam infeksi (Depkes RI, 1995).
2.5.2. Dampak Terhadap
Intelektual dan produktivitas
Secara
umum berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan, mental dan prestasi anak sekolah.
Hasil penelitian Bundi dkk (1992) menunjukan bahwa anak – anak sekolah dasar di
Jamaika terinfeksi cacing Trichuris
trichura (cacing cambuk) mengalami penurunan kemampuan berfikir. Hasil
studi di Kenya oleh Stephenson tahun 1993 menunjukan penurunan kesehatan
jasmani, pertumbuhan dan selera makan pada anak sekolah yang terinfeksi cacing Ascaris lumbricoides (cacing gelang) dan
Trichuris trichura.
Di
Malaisia ditemukan dampak penyakit cacing terhadap penurunan kecerdasan di
lingkungan anak sekolah oleh Che Ghani
tahun 1994. Penyakit ini tidak menyebabkan orang mati mendadak, akan tetapi
menyebabkan penderita semakan lemah karena kehilangan darah yang menahun
sehingga menurunkan prestasi. Disamping itu daya tahan tubuh juga menurun
sehingga memperberat penyakit laninnya (Depkes RI,1995).
2.6. Kebersihan
Perorangan.
Personal hygiene (kebersihan
perorangan) pada khususnya merupakan hal yang sangat penting di perhatikan
terutama pada masa – masa perkembangan (Odang,1995). Dengan kebersihan
perorangan yang buruk pada masa tersebut akan dapat mengganggu perkembangan
fisik dan kecerdasan anak sehingga menpunyai dampak terhadap penurunan kualitas
sumber daya manusia.
Personal hygiene yang belum memadai
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya prevalensi kecacingan
(Holly, 2000). Dengan keadaan tangan dan kuku yang kotor serta kebiasaan
kebiasaan lain yang salah tentang kesehatan pribadi tersebut akan dapat
menimbulkan infeksi kecacingan.
Untuk
menjaga kebersihan perorangan tentu saja tidak terlepas dari kebiasaan –
kebiasaan sehat yang dilakukan setiap hari. Personal hygiene pada anak sekolah
dasar meliputi :
Kebersihan
Tangan, Kaki dan Kuku.
Tangan,
kaki dan kuku yang bersih, selain indah dipandang mata, juga menghindarkan kita
dari berbagai penyakit. Kuku yang kotor dapat menyebabkan penyakit – penyakit
tertentu :
1.
Pada kuku sendiri :
·
Cantengan yaitu radang bawah/pinggir
kuku.
·
Jamur kuku
2.
Pada tempat lain :
·
Luka dan infeksi pada tempat
garukan.
·
Cacingan
Untuk menghindar hal – hal tersebut perlu diperhatikan
sebagai berikut :
a.
Membersihkan tangan sebelum
makan.
b.
Memotong kuku secara teratur.
c.
Memakai alas kaki bila keluar
rumah (Odang, 1995)
2.7. Pengaruh Lingkungan Terhadap Kecacingan dan Kesehatan
Faktor
lingkungan merupakan faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap peningkatan
derajat kesehatan masyarakat, disamping faktor lainnya yaitu faktor perilaku,
faktor pelayanan kesehatan dan faktor keturunan.
Lingkungan
mencakup semua aspek diluar agen dan manusia, karena itu sangat beraneka ragam
dan umumnya di golongkan kedalam tiga katagori yaitu yang berhubungan dengan
aspek fisik, biologis dan social ekonomi. Penyakit timbul bila terjadi gangguan
dari keseimbangan tersebut (Kusnoputranto, 1986).
Dari
segi Ilmu Kesehatan Lingkungan, penyakit terjadi karena adanya interaksi antara
manusia dengan lingkungannya yang merupakan suatu proses yang wajar dan
terlaksana sejak manusia dilahirkan sampai meninggal dunia. Hal ini disebabkan
karena manusia memerlukan daya dukung unsur – unsur lingkungan untuk
kelangsungan hidupnya. Akan tetapi, dalam proses interaksi manusia dengan
lingkungan ini tidak selalu mendapatkan keuntungan, kadang – kadang manusia
mendapat kerugian akibat interaksi
antara aktivitas manusia dengan lingkungannya tersebut (Soemirat, 1994).
Di
Indonesia, penyakit kecacingan merupakan masalah kesehatan masyarakat terbanyak
setelah malnutrisi, prevalensi dikalangan anak usia sekolah dasar
di tiga propinsi ( Yokyakarta, Jakarta dan Sulawesi ) di Indonesia adalah 12,9
% untuk Hook worm (Sajdimin, 2000).
Survey
Dinas Kesehatan Di Sumatra Utara pada tahun 1995/1996 menemukan prevelensi
kecacingan pada murit SD di 7 Kabupaten Sumatra Utara sebesar 63,7 % Ascaris lumbricoides, 57,6 % untuk Trichuris trichura dan 8,4 % untuk Hookworm. Untuk daerah medan sebesar 70
% Ascaris lumbricoides, 57,6 untuk trichuris trichura dan 8,4 % untuk hookworm. Untuk daerah medan
sebesar 70 % Ascaris lumbricoides, 80
% trichuris trichura dan 13 % Hookworm
(Depkes RI,
2000).
Tingginya
prevalensi ini disebabkan oleh iklim tropis dan kelembaban tanah yang tinggi di
Indonesia
yang merupakan lingkungan yang baik untuk perkembangan cacing (Subahar, 1995).
Iklim
tropik sangat sesuai buat perkembangan telur dan larva cacing. Suhu optimal
untuk perkembangan telur adalah 23 – 300C.
Tanah yang sesuai untuk perkembangan telur adalah tanah liat. Telur akan tumbuh
menjadi stadium larva pada kelembaban 80% ( Brown, 1983).
2.8. Tinja dan Kesehatan
Pembuangan tinja merupakan bagian yang penting dalam kesehatan
lingkungan. Di sebagian Negara – Negara berkembang. Pembuangan tinja yang layak
merupakan kebutuhan kesehatan masyarakat yang mendesak. Pembangunan yang tidak
saniter dari tinja manusia dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi terhadap
air tanah dan sumber – sumber air bersih. Kondisi ini mengakibatkan agen
penyakit dapat berkembang biak dan menyebarkan infeksi terhadap manusia.
Pembuangan
tinja yang buruk sering sekali berhubungan dengan kurangnya penyediaan air
bersih dan fasilitas kesehatan lainnya. Kondisi – kondisi demikian ini akan
berakibat terhadap kesehatan serta mempersulit penilaian peranan masing – masing
komponen dalam transmisi penyakit. Sudah diketahui oleh umum bahwa terdapat
hubungan antara pembuangan tinja dengan status kesehatan penduduk baik secara
langsung maupun tidak langsung. Efek
langsung misalnya dapat menguranggi terjadinya penyakit – penyakit tertentu yang
dapat ditularkan karena kontaminasi dengan tinja misalnya typus abdominalis, cholera,
dysentri baciler dan amuba,ascariasis,
hepatitis dan infeksi parasit
lainnya.
2.9. Persyaratan Jamban
yang Sehat.
Kotoran manusia
(tinja) dapat mengandung berbagai macam organisme
pathogen, air, makanam, lalat/serangga yang menjadi sarana transmisi kepada
orang lain dan dapat menimbulkan penyakit bagi orang yang rendah daya tahan
tubuhnya.
Untuk mengetahui kemungkinan
terjadinya permasalahan penularan penyakit
melalui tinja perlu dilakukan upaya penanggulangan melalui sarana
pembuangan tinja yang memenuhi syarat kesehatan.
Pembuangan tinja
yang memenuhi syarat kesehatan adalah sebagai berikut (Sembiring, 2003) :
1.
Tidak mengotori tanah
permukaan.
2.
Tidak boleh mengotori permukaan
air tanah.
3.
Tidak boleh mengotori
persediaan air permukaan.
4.
Kotoran tidak boleh terbuka/tersebar
sehingga tidak dapat dipakai oleh serangga untuk bertelur serta tidak
menimbulkan bau.
5.
Kakus harus dapat melindunggi
pemakai dari pengaruh – pengaruh luar.
6.
Pembuangan mudah, murah dan
memenuhi syarat.
7.
Dapat diterima oleh masyarakat
setempat.
2.10. Jenis – Jenis Jamban
Yang memenuhi Syarat Kesehatan.
Pada umumnya pembuangan tinja/kotoran
manusia sangat dipengaruhi oleh keadaan giografi, social ekonomi, adat atau
kebiasaan masyarakat. Oleh karena itu jamban atau pembuangan kotoran manusia
ditinjau dari segi macam bentuknya dibagi atas beberapa macam yaitu:
(Sembiring, 2003).
1.Kakus Cebluk (Pit Privy)
2.Kakus Empang (Overhung Laterin)
3.Kakus Bor (Bored Hole Laterin)
4.Cubluk Berair (Aqua Privy)
5.Angsa Laterin ( Water Sealet
Laterin)
6.Kakus Ember (Bucket Laterin)
7.Kakus Septik Tank
2.11. Metode Pemeriksaan Kato
Katz.
Metode yang digunakan untuk
pemeriksaan tinja adalah Metode Tebal Kato Katz.
Adapun cara pemeriksaan tinja : Tinja
diletakan diatas kertas minyak lalu diletakan kertas saring diatas tinja.
Karton diletakan diatas gelas objek setelah dilubangi. kemudian tinja yang
sudah disaring diletakan kedalam lubang karton, yang telah diletakan diatas gelas
objek lalu diratakan dan karton diangkat. Kemudoan salopan yang telah direndam
larutab Kato diletakan diatas tinja dan periksa dengan mikroskop. Hitung tiap
jenis telur cacing dengan cara zig-zag sampai seluruh lapangan pandang
selesai.
0 komentar:
Post a Comment