Wednesday, 16 January 2013

GAMBARAN FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN INFEKSI CACING PADA ANAK SEKOLAH



BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada hakekatnya derajat kesehatan dipegaruhi oleh empat faktor penentu yaitu: Faktor lingkungan, faktor prilaku, faktor pelayanan kesehatan dan faktor keturunan. Dari empat faktor tersebut, faktor lingkungan merupakan faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat (Blum,1974).
Investasi cacing pada manusia dipengaruhi oleh prilaku, lingkungan tempat tinggal dan manipulasinya terhadap lingkungan. Kecacingan banyak ditemukan di daerah dengan kelembaban tanah tinggi dan terutama pada kelompok masyarakat dengan hygiene dan sanitasi kurang. (Khatija, 2003).
Kecacingan merupatan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penurunan kwalitas sumber daya manusia, mengingat cacingan akan menghambat pertumbuhan fisik dan kecerdasan bagi anak serta produktifitas kerja pada orang dewasa ( Dep Kes RI, 1998) menurut laporan Bank Dunia di Negara berkembang  diperkirakan diantara anak perempuan berusia diantara 5 – 14 tahun. Kecacingan merupakan 12 % dari beban kesakitan total sementara anak laki-laki 11 %.
Beberapa hasil survey infeksi cacing di SD daerah kumuh pada tahun 1986 – 1991 menunjukan hasil sebasar 60 -80 % murid terinfeksi. Pemeriksaan yang dilakukan pada tahun 1986 disebuah sekolah di Jakarta Timur  mendapatkan prevalensi 82,5 %. Penelitian diwilayah DKI yang lain seperti di Bungur 1 dan Bungur 2 tahun 1979 serta Jembatan Besi tahun 1984 menunjukan angka yang cukup tinggi untuk masing masing sekolah yaitu 73,9 % dan 90,8 %. Sedangkan di Joglo pada tahun 1985 dan Duren Sawit pada tahun 1986 prevalensi Ascaris Lumbricoides 60,1 % dan Trichiuris Triciura 80 % serta Hook Worm 29,4 % (Prasetia, 1993). 
Survey Dinas Kesehatan di Propinsi  pada tahun 1995/1996 menemukan prevalensi kecacingan pada anak SD di 7 kebupaten di propinsi  sebesar 63,7 % Ascaris Lumbricoides, 57,6 % untuk Trichiuris Triciura dan 8,4 % untuk Hook Worm. Untuk daerah Medan sebesar 70 % Ascaris Lumbricoides, 80 % Triciuris Triciura dan 13 % Hook Worm (Dep Kes RI, 2000).
Secara umum infeksi kecacingan biasanya tidak mendapatkan perhatian yang cukup, terutama dari pihak orang tua. Hal ini disebabkan karena akibatnya secara langsung tidak dapat dilihat, seperti pada gangguan akibat infeksi lain. Hal ini dimungkinkan karena sifatnya yang tersembunyi, serta jarang menimbulkan kematian. Biasanya penderita hanya mengeluh karena diare, napsu makan kurang dan tidak bersemangat. Selain itu juga dapat menghambat perkembangan fisik, kecerdasan dan produktivitas kerja, bahkan pada gilirannya dapat menurunkan ketahanan tubuh sehingga mudah terkena penyakit lainnya (Depkes RI,1998).
Salah satu masalah sanitasi lingkungan yang mempengaruhi kejadian cacingan adalah kurangnya penyediaan jamban/sarana pembuangan tinja mengakibatkan terjadinya pembuangan tinja di sembarang tempat. Masalah tinja perlu mendapat perhatian khusus karena tinja manusia dapat berperan dalam proses kontaminasi terhadap air, tanah dan lingkungan lainnya. Yang dapat menimbulkan penyakit.
Dalam perkembangan telur cacing sangat membutuhkan kelembaban tanah tinggi dan suhu lingkungan berkisar antara 250 – 300 C. jenis tanah juga sangat  mendukung  dalam perkembangan telur cacing. Dalam hal ini tekstur tanah yang disukai cacing adalah tanah liat. (Haryati, 1993).
Kabupaten  berdasarkan survey sentinel kecacingan anak sekolah  2008 yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten  terhadap 3 Sekolah Dasar didapat hasil bahwa 78,6 % murid SD positif menderita kecacingan, dari data sementara yang didapat di MIN ternyata sebahagian anak didik menunjukan tanda-tanda kecacingan yakni muka kelihatan pucat, dan kurang gairah serta perut relative buncit, Karena itu penulis tertarik untuk meneliti bagaimana faktor – faktor yang mempengaruhi kejadian kecacingan pada anak sekolah .

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang diambil adalah apa saja “Faktor – faktor yang mempengaruhi Kejadian kecacingan pada anak sekolah ”.
1.3.   Ruang Lingkup Penelitian.
     Untuk menghindari kekaburan dan luasnya permasalahan, maka penulis membatasi  ruang lingkup penelitian pada tingkat  Kebersihan Perorangan, Kebersihan Lingkungan, dan Kebiasaan anak sekolah .
1.4.   Tujuan Penelitian,
1.4.1.      Tujuan Umum.
Untuk mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi kejadian kecacingan pada anak sekolah  .  
1.4.2.      Tujuan Khusus.
1.      Diketahuinya  tingkat Kebersihan Perorangan terhadap kecacingan pada anak sekolah di MIN .
2.      Diketahuinya  tingkat Kebersihan Lingkungan terhadap kecacingan pada anak sekolah di MIN .



1.5.Manfaat Penelitian.
1.5.1.      Manfaat Teoritis
a.      Dapat memberikan wawasan ilmu  pengetahuan penulis untuk mengembangkan diri dalam disiplin ilmu Kesehatan Masyarakat.
b.      Sebagai bahan bacaan bagi perpustakaan yang dapat dimamfaatkan oleh mahasiswa dan Referensi bagi peneliti mengenai hal tersebut.
1.5.2.      Manfaat Praktis
a. Untuk mengaplikasikan dan memperdalam ilmu yang dipelajari di bangku kuliah dengan membandingkan teori  yang didapat dengan kenyataan dilapangan.
b.Sebagai bahan masukan bagi Sekolah MIN  tentang keadaan kecacingan pada anak didik.
c. Bagi Dinas Kesehatan dapat dipakai sebagai bahan masukan atau informasi dalam meningkatkan derajat Kesehatan Khususnya kesehatan  Anak Sekolah.






BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Cacing Usus pada Manusia
Salah satu masalah kesehatan masyarakat yang tidak kurang pentingnya di Negara – Negara yang sedang berkembang di daerah tropik ialah penyakit investasi cacing usus. Cacing umumnya tidak menyebabkan penyakit berat sehingga seringkali diabaikan walaupun sesungguhnya ia memberikan gangguan kesehatan. Tetapi dalam keadaan investasi berat atau keadaan luar biasa, ia cenderung memberikan kesan keliru kearah penyakit lain dan tidak mustahil juga kadang – kadang berakibat fatal.
Cacing – cacing usus pada manusia diantaranya adalah Ascaris Lumbricoides, Triciuris Triciura, Negator Amiricanus, dan Ancylostoma Duodenale yang penularannya melalui tanah yang tercemar tinja manusia sehingga distribusi frekwensinya masih tergolong tinggi di Indonesia (Depary, 1985).
2.2. Cacing Gelang ( Ascaris Lumbricoides )
Nama umum di Indonesia cacing ini dikenal sebagai Cacing Gelang, distribusi geografik parasit ini tersebar di seluruh dunia terutama di daerah tropik yang berkelembabannya cukup tinggi. Klasifikasi pertama dari cacing ini adalah: (Jeffrey & Leach, 1983) :

a. Sub Kingdom : Metazoa.
b. Filum               : Nematyhelminthes
c. Kelas                : Nematoda
Habitat cacing dewasa terdapat didalam usus halus, tetapi kadang – kadang mengembara di bagian usus lainnya. Selain di dalam usus manusia, cacing ini juga hidup dalam usus babi.
Manusia merupakan satu – satunya hospes difinitif Ascaris lumbricoides. Telur Ascaris Lumbricoides yang berasal dari babi tidak dapat menimbulkan infeksi pada manusia, sehingga meskipun secara morfologi sulit dibedakan satu dengan yang lainnya, akan tetapi secara fisiologik ternyata kedua spesies tersebut berbeda.
Pada waktu telur yang telah dibuahi keluar bersama tinja penderita, telur belum infektif. Jika telur jatuh di tanah. Maka di dalam tanah telur akan tumbuh dan berkembang. Ovum yang berada di dalam telur akan berkembang menjadi larva rabditoform, sehingga kini telur menjadi infektif.
2.2.1. Morfologi Cacing Gelang ( Ascaris Lumbricoides )
Cacing Gelang dewasa bentuknya mirip cacing tanah. Cacing yang merupakan nematode usus terbesar pada manusia ini yang betina lebih besar ukurannya dibandingkan dengan jantan. Panjang cacing betina lebih besar ukurannya dibandingkan dengan jantan. Panjang cacing betina antara 22 cm sampai 35 cm. Sedangkan yang jantan antara 10 cm sampai 31 cm. Cacing yang tubuhnya berwarna kecoklatan ini mempunyai kutikulum yang rata dan bergaris – garis halus, kedua ujung badan cacing membulat. Mulut cacing mempunyai bibir sebanyak 3 (tiga) buah, satu dengan dorsal yang lain sub ventral.  
Cacing jantan mempunyai ujung posterior yang runcing, melengkung kearah vebtral, mempunyai banyak pupil kecil dan juga terdapat 2 (dua) buah spikulum yang melengkung, masing – masing berukuran panjang sekitar 2 mm. cacing betina mempunya bentuk tubuh posterior yang membulat dan lurus.
Sedangkan telur yang dibuahi (fertilized) berukuran panjang antara 60 mikron dan 74 mikron, sedangkan lebarnya berkisar antara 40 sampai 50 mikron, telur cacing ini mempunyai kulit telur yang tidak berwarna yang sangat kuat. Diluarnya terdapat lapisan albumin yang permukaannya berdungkul yang berwarna coklat oleh karena menyerap zat warna empedu. Di dalam kulit telur cacing masih terdapat suatu selubung vetellen tipis, tetapi lebih kuat dari kulit telur.
Selubung vitellin meningkatkan daya tahan telur cacing Ascaris Lumbricoides terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga dapat bertahan hidup sampai 1 (satu) tahun lamanya. Telur yang telah dibuahi ini mengandung sel telur (ovum) yang tak bersegmen. Di dalam kutup telur yang berbentuk lonjong atau bulat ini terdapat rongga udara yang tampak sebagai daerah yang terang berbentuk bulan sabit.
Telur yang tidak dibuahi (unfertilized) dijumpai dalam tinja, bila didalam tubuh hospes hanya terdapat cacing betina. Telur ini bentuknya lebih lonjong dengan ukuran sekitar 80 x 55 mikron. Dinding tipis, berwarna coklat dengan lapisan albumin yang tidak teratur. Sel telur mengalami atropi, yang tampak dari banyaknya butir – butir refraktil. Pada telur yang tidak dibuahi tidak dijumpai rongga udara jika telur cacing  Ascaris Lumbricoides telah kehilangan lapisan albuminnya, maka adanya ovum yang besar di dalam telur cukup untuk menentukan jenis telur cacing Ascaris Lumbricoides (Soedarto, 1991).
2.2.2. Siklus Hidup Cacing Gelang ( Ascaris Lumbricoides )
Bila telur infektif tertelan oleh manusia, maka di dalam tubuh manusia di bagian atas dari usus halus dinding telur pecah dan larva akan lepas dari telur. Larva akan menembus dinding halus memasuki vena porta hati, kemudian bersama aliran darah menuju jantung kanan untuk selanjutnya menuju sirkulasi paru. Di dalam paru larva tumbuh dan berganti kulit sebanyak 2 (dua) kali, kemudian menembus dinding kapiler menuju ke alveoli, masa migrasi itu berlangsung selama lima belas hari.
Dari alveoli, larva merangkak ke bronki, trakea kemudian  ke laring untuk selanjutnya ke faring, pindah ke usus halus. Disini terjadi penggantian kulit lagi, dan cacing timbuh menjadi dewasa. Dua bulan sejak infeksi pertama terjadi, seekor cacing betina mulai mampu memproduksi telur sebanyak 200.000 telur setiap harinya. Cara infeksi cacing Gelang (Ascaris Lumbricoides) dapat terjadi melalui beberapa jalan, yaitu masuknya telur yang infektif ke dalam mulut bersama makanan dan minuman yang tercemar, atau tertelan telur melalui tangan yang kotor misalnya pada anak – anak atau telur infektif terhirup bersama debu udara. Pada keadaan terakhir ini larva cacing menetas di mukosa jalan nafas bagian atas untuk kemudian langsung menembus pembuluh darah dan memasuki aliran darah. (Soedarto,1991).
2.2.3. Patogenesis dan Gejala Cacing Gelang ( Ascaris Lumbricoides )     
Migrasi larva cacing dalam jumlah besar di paru – paru penderita akan menimbulkan pneumonia dengan gejala berupa demam, batuk, sesak dan dahak berdarah, yang umumnya disertai oleh urtikaria dan eosinofil sekitar 20%. Pneumonia disertai gejala alergi ini disebut sebagai sindrom Loeffler atas Ascaris Pnemonia.
Cacing dewasa pada anak – anak menimbulkan kekurangan gizi. Dari cairan tubuh cacing dapat menimbulkan reaksi sehingga terjadi gejala mirip demam tifoid disertai tanda alergi  misalnya urtikaria, edema di wajah. Konjungtiva dan iritasi pernafasan bagian atas. Akibat mekanik misalnya obstruksi usus intususepsi atau perforasi ulkus di usus.
  Migrasi cacing ke organ-organ (Ascaris Ektopi) misalnya ke lambung, usofagus mulut, hidung, terjadi apendisitis, asbes hati, obstruksi cairan empedu dan pankreatitis akut (Soedarto, 1991).

2.2.4. Diagnosis Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)
Pada cacing dewasa ditemukan pada tinja atau  muntah penderita, radiografi dengan barium dapat melihat adanya cacing dalam usus atau organ lain. Pemeriksaan mikroskopik dapat dilakukan dalam tinja atau dalam cairan empedu. Pemeriksaan darah menunjukkan adanya eosinofili pada stadium awal infeksi, sedangkan Scratch Test pada kulit menunjukkan reaksi yang positif (Spedarto,1991).
2.2.5.Pengobatan dan Pencegahan Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)
Obat cacing spektrum luas lebih aman, sedikit efek samping dan mudah cara pemakaiannya kini lebih banyak digunakan seperti pirantel pamoat,  mebendazol, livamisol dan albendazol, pengobatan masal terhadap penduduk dengan antelmintik yang mempunyai spektrum luas, diikuti dengan perbaikan sanitasi dengan hygiene pribadi dan lingkungan akan  mencegah penyebaran Ascaris. Pendidikan kesehatan pada seluruh anggota keluarga akan meningkatkan keberhasilan pemberantasan Ascaris.(Soedarto,1991)
2.3. Cacing Cambuk (Trichuris tricihiura)

Cacing ini disebut juga cacing Cambuk yang dapat menimbulkan penyakit trichuriasis. Hospes definitifnya adalah manusia, penyebaran kosmopolit, frekuensinya di Indonesia tinggi lebih kurang 80%.


2.3.1. Morfologi Cacing Cambuk (Trichuris trichiura )

  Cacing dewasa bentuknya silindris seperti cambuk dimana bagian yang tipis halus seperti benang adalah bagian interior/kepala dan bagian yang tebal adalah posterior/ekor. Cacing betina panjangnya lebih kurang  5 cm, ekornya lurus. Cacing jantan panjangnya 4 cm, ekornya melengkung (Haryati,1993). Telur dengan ukuran 50-54 x 23µ berbentuk seperti tempayan (gentong) dengan semacam tutup yang jernih dan menonjol pada kedua kutub . Kulit bagian luarnya berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih (Brown,1983).
2.3.2. Siklus Hidup Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)

Cacing betina setiap harinya menghasilkan telur  3.000 – 10.000 butir telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai. Telur matang adalah telur yang berisi larva yang merupakan infektif. Cara infeksi langsung yaitu bisa secara  kebetulan hospes menelan telur matang. Larva keluar melalui dinding telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah menjadi dewasa, cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke kolon, terutama sekum, jadi tidak ada siklus paru. Cacing ini dapat hidup beberapa tahun di usus besar hospes. (Tambayong, 2002).


2.3.3. Gejala Klinis Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)

Gejalanya ringan, sehingga tidak banyak menimbulkan perhatian.  Sekali sekali dijumpai infeksi berat dengan diare  terus menerus disertai darah dalam tinja. Pada kasus ini dapat menimbulkan intoksikasi sistemik dan diikuti  dengan anemia (Onggowaluyo,1998).
2.3.4. Epidemiologi Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)

Penyebaran seiring dengan penyebaran pada Ascaris Lumbricoides. Frekuensi yang tertinggi ditemukan  di daerah- daerah dengan hujan lebat, iklim subtropik, dan tanah dengan banyak kontaminasi tinja. Infeksi  terjadi dengan tertelannya telur dengan perantaraan tangan, makanan atau minuman  yang secara langsung terkena kontaminasi tanah atau secara tidak langsung melalui binatang perliharaan dan debu.
2.4.Cacing Tambang ( Hook worm )

Ada 2 (dua) species Ancylostoma duodenale dan Necator americanus. Kedua spesies ini menyebabkan penyakit Ancylostomiasis pada manusia. Cacing dewasa hidup dalam rongga usus muda (duodenale) dan mulutnya melekat pada mukosa untuk melukai  dan menghisap darah sebagai makanannya. Bila cacing ini melepaskan mulutnya/berpindah. Luka bekas isapanmya akan terus mengeluarkan darah dalam waktu yang agak lama. Cacing ini terdapat di seluruh daerah khatulistiwa dan di tempat lain yang beriklim sama. Terutama di daerah pertambangan dan perkebunan yang lingkungannya jelek. Di Indonesia frekuensinya tinggi lebih kurang 70%. (Brown,1983).
2.4.1.Morfologi Cacing Tambang ( Hook worm )

   Cacing betina panjangnya 1 cm dan jantan 0,8 cm. Bentuknya silindris dan bewarna putih. Hook worm berbentuk seperti huruf C dan mempunyai 2 pasang gigi yang sama besar pada mulutnya. Cacing tambang jantan  mempunyai bursa copulatrix pada ujung ekor dan betina ekor lurus dan runcing. Hook work bertelur kurang lebih 10.000 butir/ hari (Haryati, 1993).Telur mempunyai ujung-ujung yang membulat tumpul dan selapis kulti hialin tipis yang transparan dan berukuran 56-60 x 36-40µ (Brown, 1983).
2.4.2. Siklus Cacing Tambang (Hook worm)
           
      Penularan telur ini kepada manusia dimulai dari adanya telur yang  dikeluarkan bersama tinja. Telur ini cepat menjadi matang  dan mengeluarkan larva rhabditiform dalam 1-2 hari. Larva ini akan berubah bentuk menjadi larva filariform setelah 5-7 hari. Larva ini akan bertahan 6-8 minggu di tanah yang lembab. Larva masuk kedalam hospes melalui folikel rambut, pori-pori atau melalui kulit. Larva masuk ke dalam saluran limfe atau saluran kecil dan dibawa oleh aliran darah melalui jantung kanan ke paru-paru. Di tempat ini, larva tidak  dapat melalui rintangan kapiler  karena ukurannya besar, maka larva menembus kapiler  masuk ke dalam alveolus kemudian di bronchus dan trachea, lalu ke larynx , pharynx, menuju oesophagus  yang akhirnya  tertelan dan masuk ke usus. Migrasi larva melalui darah  dan paru-paru ini berlangsung  selama lebih kurang 1 minggu. Setelah periode ini larva mengalami  perubahan lagi menjadi cacing dewasa  yang matang yang bertelur  5-6 minggu  setelah infeksi (Brown, 1983).    
   Penelitian baru menunjukan bahwa infeksi dengan Ancyilastoma duodenale dapat terjadi karena menelan larva filariform yang terdapat pada sayuran dan makanan lain yang terkontaminasi dengan tanah (Zaman dan Keong, 1988).
2.4.3. Gejala Klinis Cacing Tambang (Hook worm)  
a.   Larva Filariform
1.      Karena larva ini menembus kulit, maka menimbulkan penyakit “Ground iteh” dengan gejala : gatal, erythem, papula, erupsi dan vesicular pada kulit.
2.      Setelah larva sampai di paru-paru, maka akan menimbulkan batuk dan pnomonitis.
3.      Bila  tertelan larva filariform, maka akan menimbulkan penyakit “Wakana disease “.
b.  Cacing Dewasa.
Karena sifat cacing dewasa yang mengisap darah dan suka berpindah – pindah serta luka bekas isapannya terus mengeluarkan  darah kerena cacing ini mengeluarkan sejenis anti koagulan pada mukosa usus tempat mulutnya melekat, maka akan menimbulkan anemia hypochrom icrocytair dimana kadar haemoglobin (Hb) nya bias turun sampai 2 gr% dan sel darah lebih kecil dari ukuran normal. Penderita masih dapat bekerja tetapi selalu lemah dan lesu serta debaran jantung lebih cepat dan lebih kuat.
Anemia pada penderita ini timbul karena :
1.         Defisiensi ferum ( kekurangan zat besi )
2.         Darah yang dihisap cacing dewasa cukup banyak yaitu rata-rata 0,3 ml/hari/ekor.
3.         Banyak luka di usus yang masih mengeluarkan darah karena cacing ini suka berpindah pindah.
4.         Kemungkinan cacing ini mengeluarkan toxin.
Berat ringannya anemia ini tergantung pada jumlah dan jenis/spesies cacing serta keadaan gizi penderita, umur dan daya tahan penderita serta reinfeksi (Haryati,1993).
2.4.4. Epidemiologi Cacing Tambang (Hook worm )
Tanah yang gembur berpasir dan humus dan lembab sangat baik untuk pertumbuhan larva dengan suhu dengan optimum 28 – 32o C. Penderita Ancylostoma yang defekasi (Buang Air Besar) di sembarang tempat serta pemakaian tinja sebagai pupuk kebun sangat penting dalam penyebaran cacing tambang ( Haryati, 1993 ).
2.5. Dampak Penyakit Cacing Terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia
2.5.1.  Dampak Terhadap Status Kesehatan Dan Gizi
Kecacingan sering sekali menyebabkan berbagai penyakit di dalam perut dan berbagai gejala penyakit perut seperti kembung dan diare. Cacing gelang tidak jarang menyebabkan kematian karena penyumbatan usus dan saluran empedu. Cacing tambang dan cacing cambuk dapat menyebabkan anemi berat yang menyebabkan orang menjadi sangat lemah oleh karena kehilangan darah.
Kecacingan mempengaruhi pemasukan, pencernaan, penyerapan (adsorbsi) serta metabolisme makanan sehingga menyebabkan kekurangan gizi. Anak yang menderita cacingan, nafsu makannya menurun sehingga makanan yang masuk akan berkurang, jumlah cacing yang banyak dalam usus akan mengganggu pencernaan dan penyerapan makanan.
Kecacingan selain berperan sebagai penyebab kekurangan gizi yang kemudian berakibat terhadap penurunan daya tahan tubuh terhadap infeksi, juga berperan sebagai faktor yang lebih memperburuk keadaan kekurangan gizi yang sudah ada sehingga memperburuk daya tahan tubuh terhadap berbagai macam infeksi (Depkes RI, 1995).
2.5.2. Dampak Terhadap Intelektual dan produktivitas
            Secara umum berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan, mental dan prestasi anak sekolah. Hasil penelitian Bundi dkk (1992) menunjukan bahwa anak – anak sekolah dasar di Jamaika terinfeksi cacing Trichuris trichura (cacing cambuk) mengalami penurunan kemampuan berfikir. Hasil studi di Kenya oleh Stephenson tahun 1993 menunjukan penurunan kesehatan jasmani, pertumbuhan dan selera makan pada anak sekolah yang terinfeksi cacing Ascaris lumbricoides (cacing gelang) dan Trichuris trichura.
            Di Malaisia ditemukan dampak penyakit cacing terhadap penurunan kecerdasan di lingkungan anak sekolah oleh Che Ghani tahun 1994. Penyakit ini tidak menyebabkan orang mati mendadak, akan tetapi menyebabkan penderita semakan lemah karena kehilangan darah yang menahun sehingga menurunkan prestasi. Disamping itu daya tahan tubuh juga menurun sehingga memperberat penyakit laninnya (Depkes RI,1995).
2.6. Kebersihan Perorangan.
Personal hygiene (kebersihan perorangan) pada khususnya merupakan hal yang sangat penting di perhatikan terutama pada masa – masa perkembangan (Odang,1995). Dengan kebersihan perorangan yang buruk pada masa tersebut akan dapat mengganggu perkembangan fisik dan kecerdasan anak sehingga menpunyai dampak terhadap penurunan kualitas sumber daya manusia.
Personal hygiene yang belum memadai merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya prevalensi kecacingan (Holly, 2000). Dengan keadaan tangan dan kuku yang kotor serta kebiasaan kebiasaan lain yang salah tentang kesehatan pribadi tersebut akan dapat menimbulkan infeksi kecacingan.
  Untuk menjaga kebersihan perorangan tentu saja tidak terlepas dari kebiasaan – kebiasaan sehat yang dilakukan setiap hari. Personal hygiene pada anak sekolah dasar meliputi :
Kebersihan Tangan, Kaki dan Kuku.
  Tangan, kaki dan kuku yang bersih, selain indah dipandang mata, juga menghindarkan kita dari berbagai penyakit. Kuku yang kotor dapat menyebabkan penyakit – penyakit tertentu :
1.      Pada kuku sendiri :
·            Cantengan yaitu radang bawah/pinggir kuku.
·            Jamur kuku
2.          Pada tempat lain :
·            Luka dan infeksi pada tempat garukan.
·            Cacingan
Untuk menghindar hal – hal tersebut perlu diperhatikan sebagai berikut :
a.       Membersihkan tangan sebelum makan.
b.      Memotong kuku secara teratur.
c.       Memakai alas kaki bila keluar rumah (Odang, 1995)


2.7. Pengaruh Lingkungan Terhadap Kecacingan dan Kesehatan
      Faktor lingkungan merupakan faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat, disamping faktor lainnya yaitu faktor perilaku, faktor pelayanan kesehatan dan faktor keturunan.
      Lingkungan mencakup semua aspek diluar agen dan manusia, karena itu sangat beraneka ragam dan umumnya di golongkan kedalam tiga katagori yaitu yang berhubungan dengan aspek fisik, biologis dan social ekonomi. Penyakit timbul bila terjadi gangguan dari keseimbangan tersebut (Kusnoputranto, 1986).
     Dari segi Ilmu Kesehatan Lingkungan, penyakit terjadi karena adanya interaksi antara manusia dengan lingkungannya yang merupakan suatu proses yang wajar dan terlaksana sejak manusia dilahirkan sampai meninggal dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur – unsur lingkungan untuk kelangsungan hidupnya. Akan tetapi, dalam proses interaksi manusia dengan lingkungan ini tidak selalu mendapatkan keuntungan, kadang – kadang manusia mendapat kerugian akibat interaksi  antara aktivitas manusia dengan lingkungannya tersebut (Soemirat, 1994).
     Di Indonesia, penyakit kecacingan merupakan masalah kesehatan masyarakat terbanyak setelah malnutrisi, prevalensi dikalangan anak usia sekolah dasar di tiga propinsi ( Yokyakarta, Jakarta dan Sulawesi ) di Indonesia adalah 12,9 % untuk Hook worm (Sajdimin, 2000).
   Survey Dinas Kesehatan Di Sumatra Utara pada tahun 1995/1996 menemukan prevelensi kecacingan pada murit SD di 7 Kabupaten Sumatra Utara sebesar 63,7 % Ascaris lumbricoides, 57,6 % untuk Trichuris trichura dan 8,4 % untuk Hookworm. Untuk daerah medan sebesar 70 % Ascaris lumbricoides, 57,6 untuk trichuris trichura dan 8,4 % untuk hookworm. Untuk daerah medan sebesar 70 % Ascaris lumbricoides, 80 % trichuris trichura dan 13 %  Hookworm (Depkes RI, 2000).
     Tingginya prevalensi ini disebabkan oleh iklim tropis dan kelembaban tanah yang tinggi di Indonesia yang merupakan lingkungan yang baik untuk perkembangan cacing (Subahar, 1995).
     Iklim tropik sangat sesuai buat perkembangan telur dan larva cacing. Suhu optimal untuk perkembangan telur  adalah 23 – 300C. Tanah yang sesuai untuk perkembangan telur adalah tanah liat. Telur akan tumbuh menjadi stadium larva pada kelembaban 80% ( Brown, 1983).
2.8. Tinja dan Kesehatan
      Pembuangan tinja merupakan bagian yang penting dalam kesehatan lingkungan. Di sebagian Negara – Negara berkembang. Pembuangan tinja yang layak merupakan kebutuhan kesehatan masyarakat yang mendesak. Pembangunan yang tidak saniter dari tinja manusia dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi terhadap air tanah dan sumber – sumber air bersih. Kondisi ini mengakibatkan agen penyakit dapat berkembang biak dan menyebarkan infeksi terhadap manusia.
     Pembuangan tinja yang buruk sering sekali berhubungan dengan kurangnya penyediaan air bersih dan fasilitas kesehatan lainnya. Kondisi – kondisi demikian ini akan berakibat terhadap kesehatan serta mempersulit penilaian peranan masing – masing komponen dalam transmisi penyakit. Sudah diketahui oleh umum bahwa terdapat hubungan antara pembuangan tinja dengan status kesehatan penduduk baik secara langsung  maupun tidak langsung. Efek langsung misalnya dapat menguranggi terjadinya penyakit – penyakit tertentu yang dapat ditularkan karena kontaminasi dengan tinja misalnya typus abdominalis, cholera, dysentri baciler dan amuba,ascariasis, hepatitis dan infeksi parasit lainnya.
2.9. Persyaratan Jamban yang Sehat.
Kotoran manusia (tinja) dapat mengandung berbagai macam organisme pathogen, air, makanam, lalat/serangga yang menjadi sarana transmisi kepada orang lain dan dapat menimbulkan penyakit bagi orang yang rendah daya tahan tubuhnya.
Untuk mengetahui kemungkinan terjadinya permasalahan penularan penyakit  melalui tinja perlu dilakukan upaya penanggulangan melalui sarana pembuangan tinja yang memenuhi syarat kesehatan.
Pembuangan tinja yang memenuhi syarat kesehatan adalah sebagai berikut (Sembiring, 2003) :
1.                                                                                                               Tidak mengotori tanah permukaan.
2.                                                                                                               Tidak boleh mengotori permukaan air tanah.
3.                                                                                                               Tidak boleh mengotori persediaan air permukaan.
4.   Kotoran tidak boleh terbuka/tersebar sehingga tidak dapat dipakai oleh serangga untuk bertelur serta tidak menimbulkan bau.
5.   Kakus harus dapat melindunggi pemakai dari pengaruh – pengaruh luar.
6.   Pembuangan mudah, murah dan memenuhi syarat.
7.   Dapat diterima oleh masyarakat setempat.
2.10. Jenis – Jenis Jamban Yang memenuhi Syarat Kesehatan.
      Pada umumnya pembuangan tinja/kotoran manusia sangat dipengaruhi oleh keadaan giografi, social ekonomi, adat atau kebiasaan masyarakat. Oleh karena itu jamban atau pembuangan kotoran manusia ditinjau dari segi macam bentuknya dibagi atas beberapa macam yaitu: (Sembiring, 2003).
1.Kakus Cebluk (Pit Privy)
2.Kakus Empang (Overhung Laterin)
3.Kakus Bor (Bored Hole Laterin)
4.Cubluk Berair (Aqua Privy)
5.Angsa Laterin ( Water Sealet Laterin)
6.Kakus Ember (Bucket Laterin)
7.Kakus Septik Tank
2.11.    Metode Pemeriksaan Kato Katz.
Metode yang digunakan untuk pemeriksaan tinja adalah Metode Tebal Kato Katz.
Adapun cara pemeriksaan tinja : Tinja diletakan diatas kertas minyak lalu diletakan kertas saring diatas tinja. Karton diletakan diatas gelas objek setelah dilubangi. kemudian tinja yang sudah disaring diletakan kedalam lubang karton, yang telah diletakan diatas gelas objek lalu diratakan dan karton diangkat. Kemudoan salopan yang telah direndam larutab Kato diletakan diatas tinja dan periksa dengan mikroskop. Hitung tiap jenis telur cacing dengan cara zig-zag sampai seluruh lapangan pandang selesai.   

0 komentar:

Post a Comment