Manusia adalah makhluk
biopsikososial yang unik dan menerapkan sistem terbuka serta saling
berinteraksi. Manusia selalu berusaha untuk mempertahankan keseimbangan
hidupnya. Keseimbangan yang dipertahankan oleh setiap individu untuk dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya, keadaan ini disebut sehat. Sedangkan
seseorang dikatakan sakit apabila gagal dalam mempertahankan keseimbangan diri
dan lingkungannya. (Tarwoto
& Wartonah, 2003)
Manusia
harus selalu menyesuaikan diri dengan kehidupan dunia yang selalu berubah-ubah.
Manusia sebagaimana ia ada pada suatu ruang dan waktu, merupakan hasil
interaksi antar jasmani, rohani, dan lingkungan. Ketiga unsur tersebut saling
mempengaruhi satu dengan yang lain. Dalam segala masalah, kita harus
mempertimbangkan ketiganya sebagai suatu keseluruhan (holistik) sehingga
manusia disebut makhluk somato-psiko-sosial.(Sunaryo, 2004).
Setiap
manusia dari berbagai lapisan bisa saja mengalami ketegangan hidup, yang
diakibatkan adanya tuntutan dan tantangan, kesulitan, ancaman ataupun ketakutan
terhadap bahaya kehidupan yang semakin sulit terpecahkan. Sehingga sering kali
didapati seseorang mengalami ketegangan psikologis, merasakan keluhan yang
kadang memerlukan perawatan dan pengobatan. ( Rasmun,2004)
Keberhasilan
hidup manusia pada dasarnya tidak tidak terlepas dari pendidikan yang
diperolehnya selama hidup. Pendidikan, baik yang formal maupun yang informal,
pada umumnya bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan yang Maha
Esa, meningkatkan keterampilan, dan kecerdasan, mempertinggi budi
perkerti,serta memperkuat kepribadian. Salah satunya jenjang pendidikan formal
tersebut adalah Akper Jabal Ghafur Sigli. (Al Banjary, 2009)
Selama menjalani pendidikan tinggi
tersebut, prestasi belajar merupakan tolak ukur penguasaan kompetensi mahasiswa
di bidang ilmunya. Selama ini banyak
yang berpendapat bahwa untuk meraih prestasi belajar yang tinggi diperlukan kecerdasan
intelektual yang tinggi juga. Namun menurut penelitian terbaru di bidang
psikologi tahun 2008 membuktikan bahwa IQ bukan satu-satunya faktor yang
mempengaruhi prestasi belajar seseorang, tetapi ada faktor lain yang dapat
mempengaruhi prestasi belajar seseorang salah satunya adalah stress. (Al
Banjary, 2009)
Tuntutan akademis kuliah dimasa sekarang
tidak jarang begitu berat dan sangat menyengsarakan mahasiswa. Mahasiswa merasa
dituntut untuk meraih pencapaian (achievement) yang telah ditentukan, baik oleh
pihak fakultas atau universitas maupun dari mahasiswa itu sendiri. Tuntutan ini
dapat memberi tekanan yang melampaui batas kemampuan simahasiswa itu sendiri.
Ketika hal ini terjadi, maka overload tersebut akan ” mengundang” distres,
dalam bentuk kelelahan fisik atau mental, daya tahan tubuh menurun, dan emosi
yang ”meledak-ledak”. (Leonardo, 2008)
Apalagi grafik usia yang menunjukkan bahwa
pada mahasiswa umumnya berada dalam tahap remaja (adolescence) hingga dewasa
muda (early adulthood). Seseorang pada rentang usia ini masih lebih dalam hal
kepribadiannya, sehingga dalam menghadapi masalah, mahasiswa cenderung terlihat
kurang berpengalaman. (Leonardo, 2008)
Menurut
Dalyono (2001), keberhasilan dalam meraih indeks prestasi yang baik dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu : Faktor internal yaitu kondisi psikologi,
kesehatan, intelengensi dan bakat, minat, motivasi serta cara belajar,faktor
eksternal yaitu keluarga, sekolah masyarakat dan lingkungan sekitar. ( Al.
Banjary, 2009)
Salah
satu faktor internal dari kondisi psikologis adalah stres. Stres dapat
melemahkan ingatan dan perhatian dalam aktivitas kognitif, sehingga jika
seseorang mendapat tekanan atau stressor dari faktor-faktor tersebut yang
melebihi kemampuannya untuk menoleransi maka akan berakibat terganggunya proses
belajar seseorang yang tercermin dari indeks prestasinya. ( Al. Banjary, 2009)
Menurut
hasil penelitian Stephani yang dilakukan tahun 2006 didapatkan prevalensi
terjadinya stres pada mahasiswa Kedokteran Universitas California sebesar 51%.
Bahkan menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Mustafa Amr terdapat 94,5%
mahasiswa stress di FK Universitas Mansoura Arab Saudi. ( Al. Banjary,
2009)
Secara
garis besar, stres dapat didifinisikan sebagai kondisi dan respon dari tubuh
maupun pikiran,yang disatu sisi dapat menyelamatkan hidup kita, dan disisi lain
dapat merugikan sistem tubuh, seperti menimbulkan penyakit atau, yang paling
parah, berhujung pada kematian. Respon dari tubuh maupun pikiran ini muncul karena
adanya stressor. Stressor merupakan suatu peristiwa atau kejadian yang
menstimulasi munculnya respon stres. Tressor tersebut dapat muncul dalam bentuk
fisik, sosioemosi, ekonomi atau spritual. Namun stres sebagai respon terhadap
stressor selalu bersifat fisik. (Leonardo, 2008)
Akibat-akibat
stres terhadap seseorang dapat bermacam-macam dan hal ini tergantung pada
kekuatan ”konsep dirinya” yang akhirnya menentukan besar kecilnya toleransi
orang tersebut terhadap stres. Tetapi meskipun demikian fleksibilitas dan
adaptasibilitas juga di perlukan agar seseorang dapat menghadapi stres-nya
dengan baik.( Rasmun,2004)
Orang-orang
yang kaku atau fanatik terhadap ambisi-ambisi dan norma-norma yang di pegangnya
cenderung mengalami keadaan yang lebih buruk apabila ia tidak berhasil
mengatasi stresnya. Reaksi-reaksi yang muncul apabila seseorang menerima stres
dapat di golongkan sebagai reaksi jasmaniah atau fisiologis dan reaksi yang
rohaniah atau psikologis yang meliputi kelakuan, sikap menarik diri, bertingkah
laku agresif, dan tingkah laku yang tak terorganisir.( Rasmun,2004)
Lebih
lanjut di sebutkan bahwa stres yang berlarut-berlarut dan dalam intensitas yang
tinggi dapat menyebabkan penyakit fisik dan mental seseorang, yang akhirnya
dapat menurunkan produktifitas kerja dan buruknya hubungan interpersonal.(
Rasmun,2004)
Hidup yang
sama sekali bebas dari stres sama destruktifnya dengan stres, bahkan lebih
buruk lagi. Hidup tampa stres
tak memberi peluang untuk tumbuh, tetapi malah menonton, membosankan, dan
stagnan. Apa yang mesti kita lakukan adalah mengelola stres dengan cara-cara
yang paling tidak menyakiti dan paling mampu meningkatkan kualitas hidup. (Khavari,
2006)
Seorang
psikiater Universitas Stanford, David Spiegel, berkata, ”tak masuk akal bila
kita ingin terbebas sama sekali dari stres. Yang masuk akal adalah menyikapinya
secara aktif dan efektif” stres adalah ketegangan pikiran. Stres harus dikelola
dengan hati-hati dan dilepaskan secara teratur, bila tidak demikian stres akan
merugikan kita. (Khavari, 2006)
Orang-orang
mempunyai toleransi yang berbeda terhadap berbagai situasi stres, banyak yang
mudah sedih hanya karena peristiwa ringan, dilain pihak banyak orang yang
dingin dan tenang (calm), terutama mereka yang mempunyai rasa percaya diri yang
tinggi.( Rasmun,2004)