Saturday, 27 July 2013
Konsep Belajar dan Pembelajaran
23:05
No comments
Istilah
belajar dan pembelajaran yang kita jumpai dalam kepustakaan asing adalah learning
dan instruction. Istilah learning mengandung pengertian proses
perubahan yang relatif tetap dalam perilaku individu sebagai hasil dari
pengalaman, (Fortuna, 1981: 147). Istilah instruction mengandung pengertian
proses yang terpusat pada tujuan (goal directed teaching process) yang dalam
banyak hal dapat direncanakan sebelumnya (pree-planed). Proses belajar yang
terjadi adalah proses pembelajaran, yakni proses membuat orang lain aktif
melakukan proses belajar sesuai dengan rancangan. (Romiszowki, 1981: 4).
Pembelajaran
merupakan sarana untuk memungkinkan terjadinya proses belajar dalam arti
perubahan perilaku individu melalui proses belajar-mengajar. Namun harus diberi
catatan bahwa tidak semua proses belajar-mengajar terjadi karena adanya proses
pembelajaran atau kegiatan belajar-mengajar, seperti belajar dari pengalaman
sendiri, (Udin Sarifuddin, 1995: 3).
Belajar
dapat pula diartikan sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu berkat
adanya interaksi antar individu denga lingkungannya. Burton
mengatakan “Learning is change in the individual due to instruction of that
individual and his environment, which fells a need and makes him more capable
of dealing undauntedly with his environment. (Burton: The guidance of learning
activities, 1994). Dalam pengertian ini terdapat kata “change” (perubahan),
yang berarti bahwa seseorang setelah mengalami proses pengetahuannya,
keterampilannya, maupun pada aspek sikapnya, misalnya dari tidak bisa menjadi
bisa, dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari ragu-ragu menjadi yakin, dari
tidak sopan menjadi sopan, dan sebagainya. Kriteria keberhasilan dalam belajar
diantaranya ditandai dengan terjadinya perubahan tingkah laku pada diri individu
yang belajar.
Pembelajaran identik sekali dengan
proses belajar-mengajar. Proses dalam pengertiannya disini merupakan interaksi
semua komponen atau unsur yang terdapat belajar-mengajar, yang satu dengan yang
lainnya saling berhubungan (interindependent), dalam ikatan untuk mencapai
tujuan. Yang dimaksud komponen atau unsur belajar-mengajar antara lain tujuan
istruksional, yang hendak dicapai dalam pembelajaran, metode mengajar, alat
peraga pengajaran, dan evaluasi sebagai alat ukur tercapai tidaknya tujuan
pembelajaran.
Dalam satu kali proses pembelajaran
yang pertama dilakukan adalah merumuskan tujuan pembelajaran khusus (TPK) yang
dijabaran dari tujuan pembelajaran umum (TPU), setelah itu langkah selanjutnya
ialah menentukan materi pelajaran yang sesuai dengan tujuan tersebut.
Selanjutnya menentukan metode mengajar yang merupakan wahana penghubung materi
pelajaran sehingga dapat diterima dan menjadi milik siswa, kemudian menentukan
alat peraga sebagai penunjang tercapainya tujuan pembelajaran. Langkah terakhir
yang harus dilakukan adalah menentukan alat evaluasi sebagai pengukur
tercapai-tidaknya tujuan yang hasilnya dapat dijadikan sebagai umpan balik
(feed back) bagi guru dalam meningkatkan kualitas mengajar maupun kualitas
belajar siswa.
Dari uraian ini jelas bahwa kegiatan
belajar-mengajar atau yang disebut juga pembelajaran merupakan suatu sistem
yang terdiri dari berbagai komponen yang saling berkaitan satu sama lain, dan
merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.oleh karena itu, guru dituntui
melikiki kemampuan mengintegrasikan komponen-komponen tersebut dalam kegiatan
belajar-mengajar atau proses pembelajaran. (Udin Sarifudin, 1995: 3).
Implementasi Model Pengajaran Terarah Melalui Kegiatan Membaca Bersama Untuk Meningkatkan Ketrampilan Literasi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Pada Siswa Kelas VII SMP
23:00
No comments
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam pengajaran Bahasa
Indonesia, ada tiga aspek yang perlu diperhatikan, yaitu aspek kognitif,
aspek afektif, dan aspek psikomotor. Ketiga aspek itu berturut-turut menyangkut
ilmu pengetahuan, perasaan, dan keterampilan atau kegiatan berbahasa. Ketiga
aspek tersebut harus berimbang agar tujuan pengajaran bahasa yang sebenarnya
dapat dicapai. Kalau pengajaran bahasa terlalu banyak mengotak-atik segi
gramatikal saja (teori), murid akan tahu tentang aturan bahasa, tetapi belum
tentu dia dapat menerapkannya dalam tuturan maupun tulisan dengan baik.
Bahasa Indonesia erat kaitannya
dengan guru bahasa Indonesia, yakni orang-orang yang tugasnya setiap hari
membina pelajaran bahasa Indonesia. Dia adalah orang yang merasa bertanggung
jawab akan perkembangan bahasa Indonesia. Dia juga yang akan selalu dituding
oleh masyarakat bila hasil pengajaran bahasa Indonesia di sekolah tidak
memuaskan. Berhasil atau tidaknya pengajaran bahasa Indonesia memang
diantaranya ditentukan oleh faktor guru, disamping faktor-faktor lainya,
seperti faktor murid, metode pembelajaran, kurikulum (termasuk silabus), bahan
pengajaran dan buku, serta yang tidak kalah pentingnya ialah perpustakaan
sekolah dengan disertai pengelolaan yang memadai.
Sekarang ini pengajaran bahasa
Indonesia di sekolah-sekolah, dari Taman Kanak-kanak sampai SMA, bahkan sampai
perguruan tinggi. Menurut Mulyono Sumardi, ketua Himpunan Pembina Bahasa Indonesia
menyatakan bahwa, “Dalam dunia Pendidikan, keterampilan berbahasa Indonesia
perlu mendapatkan tekanan yang lebih banyak lagi, mengingat kemampuan berbahasa
Indonesia di kalangan pelajar ini juga disebabkan oleh kualitas guru, dari
pihak lain munculnya anggapan bahwa setiap orang Indonesia pasti bisa berbahasa
Indonesia. Anggapan ini justru ikut merunyamkan dunia kebahasaan Indonesia itu
sendiri. (JS. Badudu. 1988: 74).
Sebenarnya hal paling mendasar yang
menyebabkan kemampuan berbahasa Indonesia siswa, rendah terletak pada keterampilan
baca dan tulis yang dirasa masih kurang cukup. Padahal ketrampilan membaca dan
menulis merupakan modal utama bagi siswa dalam mengikuti pelajaran. Dengan
bekal kemampuan baca tulis, murid dapat mempelajari ilmu lain; dapat
mengkomunikasikan gagasannya; dan dapat mengekspresikan dirinya. Kegagalan
dalam penguasaan keterampilan ini akan mengakibatkan masalah yang fatal, baik
untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, maupun untuk
menjalani kehidupan sosial kemasyarakatan.
Sudah bukan rahasia lagi dan
seolah-olah sudah menajadi asumsi umum bahwa hasil pengajaran bahasa Indonesia
di sekolah-sekolah dari sekolah dasar sampai SMA kurang memuaskan. Untuk itu
harus ada langkah konkrit untuk mengatasi persoalan tersebut. Di awali dari
lembaga sekolah dasar, pembenahan metode pembelajaran bahasa Indonesia perlu
dikaji ulang. Pelajaran membaca yang mula-mula hanya sekedar membunyikan
huruf-huruf semata hendaknya mulai mengarah kepada memberi makna pada tulisan.
Artinya dengan membaca anak juga berpikir tentang isi bacaan.
Oleh karena itu pengajaran membaca
harus selalu bertolak dari konteks dan penggunaan bahasa yang dapat diterima
siswa, dan bukan dengan memberikan kata-kata tanpa konteks dan pengertian.
Demikian juga dengan mengajarkan menulis, kritik terhadap cara mengajarkan
keterampilan menulis (hand-writing) dengan jalan menyalin, mencontoh dan
sebagainya, dikemukakan oleh Goodman dan kawan-kawan (1986) sebagai upaya yang
sia-sia saja. Mereka berpendapat bahwa pengajaran literasi bukan hanya belajar
membunyikan dan menuliskan huruf-huruf dengan cara merangkai-rangkainya
melainkan upaya mengembangkan kemampuan literasi (baca-tulis) yang berdasar
kepada kemampuan berbahasa.
Menurut para ahli literasi ,
pengembangan kemampuan literasi berarti mengembangkan kognitif anak yang
berhubungan dengan kemampuan berbahasa. Dalam hal ini baca-tulis hanya sebagai
sarana anak dalam mengemukakan perasaan dan pikiran yang telah berkembang
seiring dengan perkembangan bahasa mereka. Dengan kata lain belajar membaca dan menulis
(dalam arti kemampuan mekanik) merupakan konsekuensi dari pengembangan
kemampuan berbahasa. Selanjutnya, pemaknaan terhadap bacaan dan tulisan (construction
of meaning) yang ada di sekeliling anak merupakan hasil dari sosialisasi
anak dengan lingkungannya.
Di lain
pihak, peneliti mengamati bahwa pengembangan literasi yang dilaksanakan di
sekolah-sekolah selama ini lebih berarti pada mengajarkan baca-tulis dengan
pengertian mengajarkan sistem/mekanisme atau cara membunyikan, menuliskan dan
merangkai huruf menjadi kalimat yang diberikan oleh guru atau buku pelajaran
membaca/menulis. Dengan demikian kebebasan anak mengembangkan kemampuan
berbahasa melalui bacaan yang ada dan mengemukakan perasaan dan pikiran mereka
melalui tulisan, sangat terbatas.
Di negara
maju, kelas-kelas rendah dan pendidikan pra-sekolah seperti misalnya di Eropa,
Amerika dan Australia telah menerapkan cara untuk meningkatkan keterampilan
membaca dan menulis siswa dengan cara membacakan sebuah buku cerita kepada
anak. Kegiatan membacakan cerita diyakini dapat mengembangkan kemampuan
berbahasa, dan mengajarkan baca-tulis. Karena kegiatan ini dilakukan dengan
menggunakan sebuah Big Book (buku besar). Big Book
merupakan buku cerita yang berkarakteristik khusus yang dibesarkan, baik teks
maupun gambarnya, untuk memungkinkan terjadinya kegiatan membaca bersama
(shared reading) antara guru dan murid. Buku ini mempunyai karakteristik khusus
seperti penuh dengan warna-warni, gambar yang menarik, mempunyai kata yang
dapat diulang-ulang, mempunyai plot yang mudah ditebak, dan memiliki pola teks
yang berirama untuk dapat dinyanyikan.
Penelitian
berasumsi bila pengajaran membaca dan menulis dapat dilakukan dalam suasana
intim seperti dalam membacakan cerita menjelang tidur tersebut, yang ditunjang
oleh suasana kondusif, maka kegagalan pengajaran membaca, serta jumlah anak
yang buta aksara, akan teratasi. Hal ini mempertimbangkan bahwa pengajaran
membaca tidak hanya dapat dilakukan di sekolah saja, namun dapat juga dilakukan
di rumah, oleh para orang tua dalam suasana yang menyenangkan dan akrab. Dengan
demikian, strategi ini dapat menjadi suatu alternatif pengajaran baca-tulis di
sekolah dasar.
Untuk
itu, peneliti melakukan penelitian tindakan kelas (classroom action
research) terhadap penerapan strategi Big Book yang berlandaskan
akar budaya Indonesia; serta menciptakan Big Book yang sesuai dengan
perkembangan mental murid (developmentally appropriate practice) dan
materi cerita budaya Indonesia.
UPAYA MENINGKATKAN KINERJA GURU PENDIDIKAN MATEMATIKA MELALUI SUPERVISI AKADEMIK PADA SMA
14:47
No comments
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan
adalah upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau
sekelompok orang dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, pandangan hidup, sikap
hidup, dan keterampilan hidup baik yang bersifat manual individual maupun
sosial (Sagala, 2006 : 1). Upaya sadar untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan siswa tersebut dapat diselenggarakan dalam berbagai bentuk. Ada yang
diselenggarakan secara sengaja, terencana, terarah dan sistematis seperti pada
pendidikan formal, ada yang diselenggarakan secara sengaja, akan tetapi tidak
terencana dan tidak sistematis seperti yang terjadi di lingkungan keluarga
(pendidikan informal), dan ada yang diselenggarakan secara sengaja dan
berencana, di luar lingkungan keluarga dan lembaga pendidikan formal, yaitu
melalui pendidikan non formal.
Apapun
bentuk penyelenggarannya, secara umum pendidikan bertujuan untuk membantu
anak-anak atau peserta didik mencapai kedewasaannya masing-masing, sehingga
mereka mampu berdiri di lingkungan masyarakatnya. Untuk masyarakat kita, sesuai
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pasal 3, pendidikan berfungsi dan bertujuan sebagai
berikut:
Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Agar pendidikan bisa berfungsi dan
mencapai tujuan seperti dirumuskan dalam undang-undang tersebut, maka
pendidikan harus ”diadministrasikan”, atau dikelola dengan mengikuti ilmu
administrasi. Yang paling sederhana, administrasi menurut Henry Fayol diartikan
sebagai fungsi dalam organisasi yang unsur-unsurnya adalah perencanaan
(planning), pengorganisasian (organizing), pemberian perintah (commanding),
pengkoordinasian (coordinating), dan pengawasan (controlling) (Sagala, 2006 :
23).
Pada level ujung tombak
pendidikan, yaitu pada proses pembelajaran oleh guru di kelas, betapapun
administrasinya tidak serumit oraganisasi yang melibatkan banyak personal,
fungsi-fungsi administrasi yang disebutkan Henry Fayol tersebut sebaiknya tetap
ada, sebab tanpa itu pencapaian tujuan pembelajaran akan susah dicapai. Dalam
kaitannnya dengan fungsi-fungsi administrasi ini, lebih spesifik dalam hal
proses belajar mengajar, Gage dan Berliner dalam Makmun (2005 : 23) mengemukakan
tiga fungsi atau peran guru dalam proses tersebut, yaitu sebagai :
1.
Perencana
(planner) yang harus mempersiapkan apa yang harus dilakukan di dalam
proses belajar-mengajar (pre-teaching problems).
2.
Pelaksana
(organizer) yang harus menciptakan situasi, memimpin, merangsang,
menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan
rencana, bertindak sebagai nara sumber (source person), konsultan
kepemimpinan (leader), yang bijaksana dalam arti demokratis dan
humanistik (manusiawi) selama proses berlangsung (during teaching
problems).
3.
Penilai
(evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisis, menafsirkan dan
akhirnya harus memberikan pertimbangan (judgement) atas tingkat
keberhasilan belajar mengajar tersebut berdasarkan kriteria yang
ditetapkan baik mengenai aspek keefektifan prosesnya, maupun kualifikasi
produk (output)-nya.
Dalam menyoroti salah satu peran
guru dalam proses pembelajaran, yaitu sebagai perencana pembelajaran, setiap
guru pada satuan pendidikan, termasuk guru Matematika SMA berkewajiban menyusun
RPP yang lengkap dan sistematis agar pembelajaran efektif dan bermutu.
Pembelajaran yang berlangsung secara efektif dan bermutu akan berimplikasi pada
peningkatan mutu proses dan hasil belajar peserta didik.
Fungsi bermain
09:59
No comments
Fungsi utama
bermain adalah merangsang perkembangan sensoris-motorik, perkembangan
intelektual, perkembangan sosial, perkembangan kreativitas, perkembangan
kesadaran diri, perkembangan modal dan bermain sebagai terapi
Adapun fungsi bermain adalah
Perkembangan sensorik-motorik
Pada saat melakukan permainan, aktifitas sensorik-motorik
merupakan komponen terbesar yang digunakan anak dalam bermain aktif sangat
penting untuk perkembangan fungsi otot. Misalnya. Alat permainan yang digunakan
untuk bayi mengembangkan kemampuan sensorik-motorik dan alat permainan untuk
anak umur todler dan prasekolah yang banyak membantu perkembangan aktifitas
motorik baik kasar maupun halus.
a.
Perkembangan intelektual
Pada saat bermain, anak melakukan eksplorasi dan
manipulasi terhadap segala sesuatu yang ada di lingkungan sekitarnya, terutama
mengenal warna, bentuk, ukuran, tekstur dan membedakan objek. Pada saat bermain
pula anak akan melatih diri untuk memecahkan masalah. Pada saat anak bermain
mobil-mobilan, kemudian bannya terlepas dan anak dapat memperbaikinya maka ia
akan tetap belajar memecahkan masalahnya melalui eksplorasi alat mainannya dan
untuk mencapai kemampuan ini, anak menggunakan daya pikir dan imajinasinya
semaksimal mungkin. Semakin sering anak melakukan eksplorasi seperti ini, akan
semakin terlatih kemampuan intelektualnya.
b.
Perkembangan sosial
Perkembangan sosial ditandai dengan kemampuan
berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui kegiatan bermain, anak akan belajar
memberi dan menerima. Bermain dengan orang lain akan membantu anak untuk
mengembangkan hubungan sosial dan belajar memecahkan masalah dari hubungan
tersebut. Pada saat melakukan aktivitas bermain, anak belajar berinteraksi
dengan teman, memahami bahasa lawan bicara dan belajar tentang nilai sosial
yang ada pada kolompoknya. Hal ini terjadi terutama pada anak umur sekolah dan
remaja. Meskipun demikian, anak umur todler dan prasekolah adalah tahapan awal
bagi anak untuk meluaskan aktifitas sosialnya di luar lingkungan keluarga.
c.
Perkembangan kreativitas
Berkreasi adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu dan
mewujudkannya ke dalam bentuk objek dan/atau kegiatan yang dilakukannya.
Melalui kegiatan bermain, anak akan belajar dan mencoba untuk merealisasi
ide-idenya. Misalnya, dengan membongkar dan memasang satu alat permainan akan
merangsang kreatifitasnya untuk semakin berkembang.
d.
Perkembangan kesadaran diri
Melalui bermain, anak akan mengembangkan kemampuan dalam
mengatur tingkah laku. Anak juga akan belajar mengenal kemampuannya dan
membandingkannya dengan orang lain dan menguji kemampuannya dan
membandingkannya dengan orang lain dan menguji kemampuannya dengan mencoba
peran-peran baru dan mengetahui dampak tingkah lakunya terhadap orang lain.
Misalnya, jika anak mengambil mainan temannya sehingga temannya menangis, anak
akan belajar mengembangkan diri bahwa perilakunya menyakiti teman. Dalam hal
ini penting peran orang tua untuk menanamkan nilai moral dan etika, terutama
dalam kaitannya dengan kemampuan untuk memahami dampak positif dan negatif dari
perilakuknya terhadap orang lain.
e.
Perkembangan moral
Anak mempelajari nilai benar dan salah dari
lingkungannya, terutama dari orang tua dan guru. Dengan melakukan aktifitas
bermain, anak akan mendapatkan kesempatan untuk menerapkan nilai-nilai tersebut
sehingga dapat diterima dilingkungannya. Melalui kegiatan bermain anak akan
juga belajar nilai moral dan etika, belajar membedakan mana yang benar dan mana
yang salah, serta belajar bertanggung jawab atas segala tindakan yang telah
dilakukannya. Misalnya merebut mainan teman merupakan tindakan yang tidak baik
dan membereskan mainan setelah bermain adalah pembelajaran anak untuk tanggung
jawab terhadap tindakan dan barang yang dimilikinya.
Subscribe to:
Posts (Atom)