This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Saturday, 27 July 2013

Konsep Belajar dan Pembelajaran



Istilah belajar dan pembelajaran yang kita jumpai dalam kepustakaan asing adalah learning dan instruction. Istilah learning mengandung pengertian proses perubahan yang relatif tetap dalam perilaku individu sebagai hasil dari pengalaman, (Fortuna, 1981: 147). Istilah instruction mengandung pengertian proses yang terpusat pada tujuan (goal directed teaching process) yang dalam banyak hal dapat direncanakan sebelumnya (pree-planed). Proses belajar yang terjadi adalah proses pembelajaran, yakni proses membuat orang lain aktif melakukan proses belajar sesuai dengan rancangan. (Romiszowki, 1981: 4).
Pembelajaran merupakan sarana untuk memungkinkan terjadinya proses belajar dalam arti perubahan perilaku individu melalui proses belajar-mengajar. Namun harus diberi catatan bahwa tidak semua proses belajar-mengajar terjadi karena adanya proses pembelajaran atau kegiatan belajar-mengajar, seperti belajar dari pengalaman sendiri, (Udin Sarifuddin, 1995: 3).
Belajar dapat pula diartikan sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antar individu denga lingkungannya. Burton mengatakan “Learning is change in the individual due to instruction of that individual and his environment, which fells a need and makes him more capable of dealing undauntedly with his environment. (Burton: The guidance of learning activities, 1994). Dalam pengertian ini terdapat kata “change” (perubahan), yang berarti bahwa seseorang setelah mengalami proses pengetahuannya, keterampilannya, maupun pada aspek sikapnya, misalnya dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari ragu-ragu menjadi yakin, dari tidak sopan menjadi sopan, dan sebagainya. Kriteria keberhasilan dalam belajar diantaranya ditandai dengan terjadinya perubahan tingkah laku pada diri individu yang belajar.
Pembelajaran identik sekali dengan proses belajar-mengajar. Proses dalam pengertiannya disini merupakan interaksi semua komponen atau unsur yang terdapat belajar-mengajar, yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan (interindependent), dalam ikatan untuk mencapai tujuan. Yang dimaksud komponen atau unsur belajar-mengajar antara lain tujuan istruksional, yang hendak dicapai dalam pembelajaran, metode mengajar, alat peraga pengajaran, dan evaluasi sebagai alat ukur tercapai tidaknya tujuan pembelajaran.
Dalam satu kali proses pembelajaran yang pertama dilakukan adalah merumuskan tujuan pembelajaran khusus (TPK) yang dijabaran dari tujuan pembelajaran umum (TPU), setelah itu langkah selanjutnya ialah menentukan materi pelajaran yang sesuai dengan tujuan tersebut. Selanjutnya menentukan metode mengajar yang merupakan wahana penghubung materi pelajaran sehingga dapat diterima dan menjadi milik siswa, kemudian menentukan alat peraga sebagai penunjang tercapainya tujuan pembelajaran. Langkah terakhir yang harus dilakukan adalah menentukan alat evaluasi sebagai pengukur tercapai-tidaknya tujuan yang hasilnya dapat dijadikan sebagai umpan balik (feed back) bagi guru dalam meningkatkan kualitas mengajar maupun kualitas belajar siswa.
Dari uraian ini jelas bahwa kegiatan belajar-mengajar atau yang disebut juga pembelajaran merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen yang saling berkaitan satu sama lain, dan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.oleh karena itu, guru dituntui melikiki kemampuan mengintegrasikan komponen-komponen tersebut dalam kegiatan belajar-mengajar atau proses pembelajaran. (Udin Sarifudin, 1995: 3).

Implementasi Model Pengajaran Terarah Melalui Kegiatan Membaca Bersama Untuk Meningkatkan Ketrampilan Literasi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Pada Siswa Kelas VII SMP



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di dalam pengajaran Bahasa Indonesia, ada tiga aspek yang perlu diperhatikan, yaitu aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotor. Ketiga aspek itu berturut-turut menyangkut ilmu pengetahuan, perasaan, dan keterampilan atau kegiatan berbahasa. Ketiga aspek tersebut harus berimbang agar tujuan pengajaran bahasa yang sebenarnya dapat dicapai. Kalau pengajaran bahasa terlalu banyak mengotak-atik segi gramatikal saja (teori), murid akan tahu tentang aturan bahasa, tetapi belum tentu dia dapat menerapkannya dalam tuturan maupun tulisan dengan baik.
Bahasa Indonesia erat kaitannya dengan guru bahasa Indonesia, yakni orang-orang yang tugasnya setiap hari membina pelajaran bahasa Indonesia. Dia adalah orang yang merasa bertanggung jawab akan perkembangan bahasa Indonesia. Dia juga yang akan selalu dituding oleh masyarakat bila hasil pengajaran bahasa Indonesia di sekolah tidak memuaskan. Berhasil atau tidaknya pengajaran bahasa Indonesia memang diantaranya ditentukan oleh faktor guru, disamping faktor-faktor lainya, seperti faktor murid, metode pembelajaran, kurikulum (termasuk silabus), bahan pengajaran dan buku, serta yang tidak kalah pentingnya ialah perpustakaan sekolah dengan disertai pengelolaan yang memadai.
Sekarang ini pengajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah, dari Taman Kanak-kanak sampai SMA, bahkan sampai perguruan tinggi. Menurut Mulyono Sumardi, ketua Himpunan Pembina Bahasa Indonesia menyatakan bahwa, “Dalam dunia Pendidikan, keterampilan berbahasa Indonesia perlu mendapatkan tekanan yang lebih banyak lagi, mengingat kemampuan berbahasa Indonesia di kalangan pelajar ini juga disebabkan oleh kualitas guru, dari pihak lain munculnya anggapan bahwa setiap orang Indonesia pasti bisa berbahasa Indonesia. Anggapan ini justru ikut merunyamkan dunia kebahasaan Indonesia itu sendiri. (JS. Badudu. 1988: 74).
Sebenarnya hal paling mendasar yang menyebabkan kemampuan berbahasa Indonesia siswa, rendah terletak pada keterampilan baca dan tulis yang dirasa masih kurang cukup. Padahal ketrampilan membaca dan menulis merupakan modal utama bagi siswa dalam mengikuti pelajaran. Dengan bekal kemampuan baca tulis, murid dapat mempelajari ilmu lain; dapat mengkomunikasikan gagasannya; dan dapat mengekspresikan dirinya. Kegagalan dalam penguasaan keterampilan ini akan mengakibatkan masalah yang fatal, baik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, maupun untuk menjalani kehidupan sosial kemasyarakatan.
Sudah bukan rahasia lagi dan seolah-olah sudah menajadi asumsi umum bahwa hasil pengajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah dari sekolah dasar sampai SMA kurang memuaskan. Untuk itu harus ada langkah konkrit untuk mengatasi persoalan tersebut. Di awali dari lembaga sekolah dasar, pembenahan metode pembelajaran bahasa Indonesia perlu dikaji ulang. Pelajaran membaca yang mula-mula hanya sekedar membunyikan huruf-huruf semata hendaknya mulai mengarah kepada memberi makna pada tulisan. Artinya dengan membaca anak juga berpikir tentang isi bacaan.
Oleh karena itu pengajaran membaca harus selalu bertolak dari konteks dan penggunaan bahasa yang dapat diterima siswa, dan bukan dengan memberikan kata-kata tanpa konteks dan pengertian. Demikian juga dengan mengajarkan menulis, kritik terhadap cara mengajarkan keterampilan menulis (hand-writing) dengan jalan menyalin, mencontoh dan sebagainya, dikemukakan oleh Goodman dan kawan-kawan (1986) sebagai upaya yang sia-sia saja. Mereka berpendapat bahwa pengajaran literasi bukan hanya belajar membunyikan dan menuliskan huruf-huruf dengan cara merangkai-rangkainya melainkan upaya mengembangkan kemampuan literasi (baca-tulis) yang berdasar kepada kemampuan berbahasa.
Menurut para ahli literasi , pengembangan kemampuan literasi berarti mengembangkan kognitif anak yang berhubungan dengan kemampuan berbahasa. Dalam hal ini baca-tulis hanya sebagai sarana anak dalam mengemukakan perasaan dan pikiran  yang telah berkembang seiring dengan perkembangan bahasa mereka. Dengan kata lain belajar membaca dan menulis (dalam arti kemampuan mekanik) merupakan konsekuensi dari pengembangan kemampuan berbahasa. Selanjutnya, pemaknaan terhadap bacaan dan tulisan (construction of meaning) yang ada di sekeliling anak merupakan hasil dari sosialisasi anak dengan lingkungannya.
Di lain pihak, peneliti mengamati bahwa pengembangan literasi yang dilaksanakan di sekolah-sekolah selama ini lebih berarti pada mengajarkan baca-tulis dengan pengertian mengajarkan sistem/mekanisme atau cara membunyikan, menuliskan dan merangkai huruf menjadi kalimat yang diberikan oleh guru atau buku pelajaran membaca/menulis. Dengan demikian kebebasan anak mengembangkan kemampuan berbahasa melalui bacaan yang ada dan mengemukakan perasaan dan pikiran mereka melalui tulisan, sangat terbatas.
Di negara maju, kelas-kelas rendah dan pendidikan pra-sekolah seperti misalnya di Eropa, Amerika dan Australia telah menerapkan cara untuk meningkatkan keterampilan membaca dan menulis siswa dengan cara membacakan sebuah buku cerita kepada anak. Kegiatan membacakan cerita diyakini dapat mengembangkan kemampuan berbahasa, dan mengajarkan baca-tulis. Karena kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan sebuah Big Book (buku besar). Big Book merupakan buku cerita yang berkarakteristik khusus yang dibesarkan, baik teks maupun gambarnya, untuk memungkinkan terjadinya kegiatan membaca bersama (shared reading) antara guru dan murid. Buku ini mempunyai karakteristik khusus seperti penuh dengan warna-warni, gambar yang menarik, mempunyai kata yang dapat diulang-ulang, mempunyai plot yang mudah ditebak, dan memiliki pola teks yang berirama untuk dapat dinyanyikan.
Penelitian berasumsi bila pengajaran membaca dan menulis dapat dilakukan dalam suasana intim seperti dalam membacakan cerita menjelang tidur tersebut, yang ditunjang oleh suasana kondusif, maka kegagalan pengajaran membaca, serta jumlah anak yang buta aksara, akan teratasi. Hal ini mempertimbangkan bahwa pengajaran membaca tidak hanya dapat dilakukan di sekolah saja, namun dapat juga dilakukan di rumah, oleh para orang tua dalam suasana yang menyenangkan dan akrab. Dengan demikian, strategi ini dapat menjadi suatu alternatif pengajaran baca-tulis di sekolah dasar.
 Untuk itu, peneliti melakukan penelitian tindakan kelas (classroom action research) terhadap penerapan strategi Big Book yang berlandaskan akar budaya Indonesia; serta menciptakan Big Book yang sesuai dengan perkembangan mental murid (developmentally appropriate practice) dan materi cerita budaya Indonesia.

UPAYA MENINGKATKAN KINERJA GURU PENDIDIKAN MATEMATIKA MELALUI SUPERVISI AKADEMIK PADA SMA



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
               Pendidikan adalah upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, pandangan hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup baik yang bersifat manual individual maupun sosial (Sagala, 2006 : 1). Upaya sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan siswa tersebut dapat diselenggarakan dalam berbagai bentuk. Ada yang diselenggarakan secara sengaja, terencana, terarah dan sistematis seperti pada pendidikan formal, ada yang diselenggarakan secara sengaja, akan tetapi tidak terencana dan tidak sistematis seperti yang terjadi di lingkungan keluarga (pendidikan informal), dan ada yang diselenggarakan secara sengaja dan berencana, di luar lingkungan keluarga dan lembaga pendidikan formal, yaitu melalui pendidikan non formal.
               Apapun bentuk penyelenggarannya, secara umum pendidikan bertujuan untuk membantu anak-anak atau peserta didik mencapai kedewasaannya masing-masing, sehingga mereka mampu berdiri di lingkungan masyarakatnya. Untuk masyarakat kita, sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 3, pendidikan berfungsi dan bertujuan sebagai berikut:
               Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
              Agar pendidikan bisa berfungsi dan mencapai tujuan seperti dirumuskan dalam undang-undang tersebut, maka pendidikan harus ”diadministrasikan”, atau dikelola dengan mengikuti ilmu administrasi. Yang paling sederhana, administrasi menurut Henry Fayol diartikan sebagai fungsi dalam organisasi yang unsur-unsurnya adalah perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pemberian perintah (commanding), pengkoordinasian (coordinating), dan pengawasan (controlling) (Sagala, 2006 : 23).
              Pada level ujung tombak pendidikan, yaitu pada proses pembelajaran oleh guru di kelas, betapapun administrasinya tidak serumit oraganisasi yang melibatkan banyak personal, fungsi-fungsi administrasi yang disebutkan Henry Fayol tersebut sebaiknya tetap ada, sebab tanpa itu pencapaian tujuan pembelajaran akan susah dicapai. Dalam kaitannnya dengan fungsi-fungsi administrasi ini, lebih spesifik dalam hal proses belajar mengajar, Gage dan Berliner dalam Makmun (2005 : 23) mengemukakan tiga fungsi atau peran guru dalam proses tersebut, yaitu sebagai :
1.      Perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang harus dilakukan di dalam  proses belajar-mengajar (pre-teaching problems).
2.      Pelaksana (organizer) yang harus menciptakan situasi, memimpin, merangsang,  menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana,     bertindak sebagai nara sumber (source person), konsultan kepemimpinan (leader), yang  bijaksana dalam arti demokratis dan humanistik (manusiawi) selama proses berlangsung  (during teaching problems).
3.      Penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisis, menafsirkan dan akhirnya  harus memberikan pertimbangan (judgement) atas tingkat keberhasilan belajar  mengajar tersebut berdasarkan kriteria yang ditetapkan baik mengenai aspek keefektifan  prosesnya, maupun kualifikasi produk (output)-nya.
            Dalam menyoroti salah satu peran guru dalam proses pembelajaran, yaitu sebagai perencana pembelajaran, setiap guru pada satuan pendidikan, termasuk guru Matematika SMA berkewajiban menyusun RPP yang lengkap dan sistematis agar pembelajaran efektif dan bermutu. Pembelajaran yang berlangsung secara efektif dan bermutu akan berimplikasi pada peningkatan mutu proses dan hasil belajar peserta didik.

Fungsi bermain



Fungsi utama bermain adalah merangsang perkembangan sensoris-motorik, perkembangan intelektual, perkembangan sosial, perkembangan kreativitas, perkembangan kesadaran diri, perkembangan modal dan bermain sebagai terapi
Adapun fungsi bermain adalah
Perkembangan sensorik-motorik
Pada saat melakukan permainan, aktifitas sensorik-motorik merupakan komponen terbesar yang digunakan anak dalam bermain aktif sangat penting untuk perkembangan fungsi otot. Misalnya. Alat permainan yang digunakan untuk bayi mengembangkan kemampuan sensorik-motorik dan alat permainan untuk anak umur todler dan prasekolah yang banyak membantu perkembangan aktifitas motorik baik kasar maupun halus.
a.    Perkembangan intelektual
Pada saat bermain, anak melakukan eksplorasi dan manipulasi terhadap segala sesuatu yang ada di lingkungan sekitarnya, terutama mengenal warna, bentuk, ukuran, tekstur dan membedakan objek. Pada saat bermain pula anak akan melatih diri untuk memecahkan masalah. Pada saat anak bermain mobil-mobilan, kemudian bannya terlepas dan anak dapat memperbaikinya maka ia akan tetap belajar memecahkan masalahnya melalui eksplorasi alat mainannya dan untuk mencapai kemampuan ini, anak menggunakan daya pikir dan imajinasinya semaksimal mungkin. Semakin sering anak melakukan eksplorasi seperti ini, akan semakin terlatih kemampuan intelektualnya.
b.    Perkembangan sosial
Perkembangan sosial ditandai dengan kemampuan berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui kegiatan bermain, anak akan belajar memberi dan menerima. Bermain dengan orang lain akan membantu anak untuk mengembangkan hubungan sosial dan belajar memecahkan masalah dari hubungan tersebut. Pada saat melakukan aktivitas bermain, anak belajar berinteraksi dengan teman, memahami bahasa lawan bicara dan belajar tentang nilai sosial yang ada pada kolompoknya. Hal ini terjadi terutama pada anak umur sekolah dan remaja. Meskipun demikian, anak umur todler dan prasekolah adalah tahapan awal bagi anak untuk meluaskan aktifitas sosialnya di luar lingkungan keluarga.
c.    Perkembangan kreativitas
Berkreasi adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu dan mewujudkannya ke dalam bentuk objek dan/atau kegiatan yang dilakukannya. Melalui kegiatan bermain, anak akan belajar dan mencoba untuk merealisasi ide-idenya. Misalnya, dengan membongkar dan memasang satu alat permainan akan merangsang kreatifitasnya untuk semakin berkembang.
d.   Perkembangan kesadaran diri
Melalui bermain, anak akan mengembangkan kemampuan dalam mengatur tingkah laku. Anak juga akan belajar mengenal kemampuannya dan membandingkannya dengan orang lain dan menguji kemampuannya dan membandingkannya dengan orang lain dan menguji kemampuannya dengan mencoba peran-peran baru dan mengetahui dampak tingkah lakunya terhadap orang lain. Misalnya, jika anak mengambil mainan temannya sehingga temannya menangis, anak akan belajar mengembangkan diri bahwa perilakunya menyakiti teman. Dalam hal ini penting peran orang tua untuk menanamkan nilai moral dan etika, terutama dalam kaitannya dengan kemampuan untuk memahami dampak positif dan negatif dari perilakuknya terhadap orang lain.
e.    Perkembangan moral
Anak mempelajari nilai benar dan salah dari lingkungannya, terutama dari orang tua dan guru. Dengan melakukan aktifitas bermain, anak akan mendapatkan kesempatan untuk menerapkan nilai-nilai tersebut sehingga dapat diterima dilingkungannya. Melalui kegiatan bermain anak akan juga belajar nilai moral dan etika, belajar membedakan mana yang benar dan mana yang salah, serta belajar bertanggung jawab atas segala tindakan yang telah dilakukannya. Misalnya merebut mainan teman merupakan tindakan yang tidak baik dan membereskan mainan setelah bermain adalah pembelajaran anak untuk tanggung jawab terhadap tindakan dan barang yang dimilikinya.