Sunday, 21 July 2013
Hubungan lama menjadi akseptor KB suntik dengan peningkatan berat badan di wilayah kerja Puskesmas
12:39
No comments
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.
Keluarga
berencana merupakan salah satu pelayanan kesehatan preventif yang paling dasar
dan utama bagi wanita. Peningkatan dan perluasan pelayanan keluarga berencana
merupakan salah satu usaha untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu
yang demikian tinggi akibat kehamilan yang dialami wanita. Banyak wanita harus
menentukan pilihan kontrasepsi yang sulit, tidak hanya karena keterbatas jumlah
metode tersedia, tetapi juga karena metode-metode tertentu mungkin tidak dapat
diterima sehubungan dengan kebijakan nasional KB (Keluarga Berencana),
kesehatan individu dan seksualitas wanita atau biaya untuk memperoleh kontrasepsi
(Depkes RI, 2004).
Pelayanan
keluarga berencana yang merupakan salah satu didalam paket pelayanan kesehatan
reproduksi esensial perlu mendapatkan perhatian yang serius, karena dengan mutu
dan pelayanan KB berkualitas diharapkan dapat meningkatkan kesehatan dan
kesejahteraan. Dengan berubahnya paradigma dalam pengelolaan masalah
kependudukan dan pembangunan dari pendekatan pengendalian populasi dan
penurunan fertilitas menjadi pendekatan yang berfokus pada kesehatan reproduksi
serta hak reproduksi. Maka pelayanan KB harus menjadi lebih berkualitas serta
memperhatikan hak-hak dari klien masyarakat dalam memilih kontrasepsi yang
diinginkan (Saifuddin, 2006).
Salah satu
jenis kontrasepsi efektif yang menjadi pilihan handal KB hormonal suntikan (injectables) dan merupakan salah satu
alat kontrasepsi yang berdaya kerja panjang (lama) dan tidak membutuhkan
pemakaian setiap hari. Kontrasepsi yang baik adalah aman, dapat diandalkan,
sederhana, murah, dapat diterima banyak orang dan pemakaian jangka panjang.
Namun sampai saat ini Belum tersedia 100 % metode kontrasepsi yang sempurna dan
ideal. Begitu juga dengan akseptor KB suntik juga dapat mengalami efek samping
seperti gangguan pola haid, kenaikan berat badan sakit kepala dan kenaikan
tekanan darah, nyeri perut bagian bawah, pertumbuhan rambut, bahkan sampai
penurunan gairah seksual (Hartanto, 2005)
Data dari Wold Health Organitation (WHO)
menyebutkan angka pengunaan alat kontrasepsi didunia terus meningkat 85 %
pasangan usia subur telah menggunakan alat kontrasepsi dengan berbagai
metode, angka akseptor yang mengunakan kontrasepsi suntikan merupakan akseptor
terbanyak 65,32 % . Di Indonesia
akseptor KB 75,6 % Mengunakan alat kontrasesi suntikan. (www.BKKBN.go.id)
Jenis –
jenis kontrasepsi yang dikenal dan di gunakan saat ini di Indonesia adalah Pil
Konbinasi, Suntikan Kombinasi, Pil Progestin, Implan, Alat kontrasepsi Dalam
Rahim (AKDR) CU, AKDR Progestin, Tubektomi dan vasektomi, dan suntikan DMPA
(BKKBN, 2007).
Keberhasilan
program Keluarga Berencana selama 3 dasa warsa telah dianggap berhasil
ditingkat Internasional. Pencapaian ini memberikan kontribusi nyata dalam
penurunan angka laju pertumbuhan penduduk pada tahun 2010. Demikian pula keberhasilan program KB di Indonesia angka cakupan
pelayanan KB mencapai 64,3 % pada tahun 2009-2010. Alat kontrasepsi yang digunakan dalam program KB dewasa ini adalah yang
mengunakan alat kontrasepsi Pil 31,9 %, IUD 8,9 %, KB suntik 18,4 %, Implan
2,7% dan kondom 38,8 %
Propinsi
Nanggoe Aceh pada tahun 2010 memiliki akseptor KB sebanyak 457.671
pasang, sedangkan yang melakukan KB aktif adalah 302.542 (66,1 %) akseptor, jenis
kontrasepsi yang digunakan adalah suntikan sebanyak 148.986 (49,2 %) akseptor,
Pil 112.625 (33,6 %) akseptor, IUD 29.547 (9,7 %) akseptor, kondom 6.329 (0,7
%) akseptor, Implan 3.165 (0,4 %) akseptor, metode lainnya 1.890 (0,23 %)
akseptor
Hubungan Lingkungan Rumah dengan penyakit Pneumonia anak di Wilayah Kerja Puskesmas
11:04
No comments
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pneumonia
merupakan penyakit di mana paru-paru terkena infeksi. Infeksi tersebut bisa
menyerang salah satu atau kedua paru-paru. Bila infeksi menyerang kedua
paru-paru, maka disebut dengan pneumonia ganda. Paru-paru merupakan organ
penting pada sistem pernapasan. Udara yang mengandung oksigen disaring oleh
paru-paru pada proses pernapasan. Oksigen tersebut diedarkan ke seluruh tubuh
bersama dengan aliran darah yang dialirkan dari tabung pernapasan oleh
alveolus. Kapiler atau pembuluh darah dikelilingi oleh kantung-kantung udara
kecil yang disebut alveolus (Manjsoer, 2008)
Antara 11 sampai 20 juta anak dengan
pneumonia butuh rawat inap dan lebih dari 2 juta meninggal. Perlu pula diingat
bahwa insidensi pneumonia berkurang seiring dengan bertambahnya usia anak. Tiga perempat
kejadian pneumonia pada balita di dunia terjadi di 15 negara dan Indonesia
menduduki urutan keenam dengan insidensi per tahunnya sekitar 6 juta
(UNICEF/WHO, 2010). Pada tahun 2011, Sistim Kesehatan
Nasional (SKN) menyebutkan 22,6% kematian bayi dan 22,8%
kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit respiratori terutama
pneumonia (Said, 2012).
Pneumonia merupakan masalah kesehatan
di dunia karena angka kematiannya tinggi, tidak saja dinegara berkembang, tapi
juga di negara maju seperti Amirika
Serikat, Kanada dan negara-negara Eropa. Di Amirika Serikat misalnya,
terdapat dua juta sampai tiga juta kasus pneumonia per tahun dengan jumlah
kematian rata-rata 45.000 orang. Di Indonesia, pneumonia merupakan penyebab
kematian nomor tiga setelah kardiovaskuler dan tuberkulosis. Faktor sosial
ekonomi yang rendah mempertinggi angka kematian (Said, 2012).
World Pneumonia Day (WPD) dicanangkan
oleh hampir 100 organisasi kesehatan internasional dan diadakan pertama kalinya
pada tanggal 2 November 2009 dan untuk tahun ini akan diperingati pada tanggal
12 November 2010. Tujuan utama WPD sesuai dengan temanya “Fight pneumonia, save a child” yaitu untuk memerangi dan
menyelamatkan anak dari bahaya pneumonia. Pneumonia merupakan pembunuh nomor
satu balita di seluruh dunia yaitu telah mengakibatkan kematian pada lebih dari
2 juta bayi atau 1 dari 5 kematian balita di seluruh dunia setiap tahunnya.
Sebagai salah satu upaya menanggulangi pneumonia, Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI) turut memperingati WPD dengan maksud untuk menghimbau masyarakat dalam
melakukan deteksi dini dan pencegahan terhadap pneumonia dalam rangka upaya
percepatan penanggulangan pneumonia (WHO, 2011).
Menurut Wold Healht Organisation
(WHO) (2010),
pneumonia merupakan penyebab utama kematian pada anak usia di bawah 5 tahun
(balita), yaitu sekitar 19% atau sekitar 1,8 juta balita tiap tahunnya
meninggal karena pneumonia. Angka ini melebihi jumlah akumulasi kematian akibat
malaria, AIDS, dan campak. Diperkirakan lebih dari 150 juta kasus pneumonia
terjadi setiap tahunnya pada balita di negara berkembang, yaitu sekitar 95%
dari semua kasus baru pneumonia di dunia (UNICEF/WHO, 2006). Kejadian pneumonia
di negara maju jauh lebih kecil (0,026 episode/anak/tahun dibandingkan negara
berkembang 0,28 episode/anak /tahun). Hal ini diperkirakan karena peran
antibiotik, vaksinasi, dan asuransi kesehatan anak yang berkembang di negara
maju (WHO, 2011).
Menurut hasil Riset Kesehatan dasar
(RISKESDAS) tahun 2010, yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Depertemen Kesehatan Republik Indonesia (Balitbangkes Depkes RI),
menyatakan bahwa prevelensi nasional rumah tangga berperilaku hidup bersih dan
sehat adalah 38,7 %, sebanyak 22 propinsi mempunyai prevalensi dibawah nasional salah
satu diantaranya adalah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Depkes RI, 2010).
Konsep Diabetes Melitus
08:39
No comments
1. Pengertian Diabetes Melitus
Diabetes Melitus adalah
keadaan hyperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolic akibat
ganguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata,
ginjal, saraf dan pembuluh darah, disertai lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan dengan
mikroskop electron (Mansjoer 2005).
Diabetes Melitus adalah
suatu kondisi metabolic dimana tubuh tidak dapat mempertahankan kadar gula dalam
darah secara fisiologis. Peningkatan kadar gula darah yang kronis akan memicu
angiopati dan menyebabkan kecacatan, jika tidak ditangani dengan cepat.
Penyulit utama adalah terjadinya malfungsi micro dan macrovaskuler (Ami, 2009)
Diabetes Melitus
adalah Penyakit darah manis dapat merupakan kelainan hereditas dengan ciri insufisiensi
atau absennya insulin dalam
sirkulasi darah, konsentrasi gula darah
tinggi, berkurangnya glikogenesis (Muchtar,
2000)
2. Etiologi
Insulin Dependen
Diabetes Millitus (IDDM) atau diabetes melitus tergantung insulin (DMTI)
disebabkan oleh destruksi sel β pulau Langerhans akibat proses autoimun.
Sedangkan Non Insulin Dependen Diabetes Melitus (NIDDM) atau diabetes mellitus
tidak tergantung insulin (DMTTI) disebabkan oleh kegagalan relative sel β dan
resistensi insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk
merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat
produksi glukosa oleh hati. Sel β tidak mampu mengimbangi resistensi insulin
ini sepenuhnya. artinya terjadi defisiensi relative insulin. Ketidak mampuan
ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun
pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin. Berarti sel β
pancreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa (Mansjoer 2005).
3.
Klasifikasi Diabetes Melitus
a.
Tidak tergantung insulin (TTI) Non Insulin Dependent Diebetes Mellitus
(NIDDM) yaitu kasus yang tidak memerlukan insulin
untuk pengendalian kadar gula darah.
b.
Tergantung insulin (TI) Insulin dependent diabetes Melitus yaitu kasus yang memerlukan insulin dalam pengendalian kadar gula
darah.
Klasifikasi Diabetes Melitus menurut White adalah
sebagai berikut :
Kelas A. Diabetes kimiawi disebut juga diabetes laten, subklinis atau diabetes
kehamilan, tes toleransi glukosa
tidak normal, penderita tidak memerlukan insulin,
cukup diobati dengan diet saja. Prognosis
bagi ibu dan anak baik.
Kelas B. Diabetes Dewasa, diketahui secara klinis
setelah umur 19 tahun dan berlangsung kurang daripada 10 tahun dan tidak disertai
kelainan pembuluh darah.
Kelas C. Diabetes
yang diderita antara umur 10 – 19 tahun, atau timbul pada umur antara 10 – 19
tahun dan tanpa kelainan pembuluh darah.
Kelas D. Diabetes telah diderita lama, 20 tahun
atau lebih, atau telah diderita sebelum umur 10 tahun, atau disertai kelainan
pembuluh darah, termasuk arteriosklerosis
pada retina dan tungkai, dan retinitis.
Kelas E. Diabetes yang diserta perkapuran pada
pembuluh – pembuluh darah panggul, termasuk arteria
uteria.
Kelas F Diabetes dengan
nefropatia, termasuk glomerulonefritis dan pielonefritis. Diabetes anak remaja (juvenilis),
diabetes yang diderita sejak
anak-anak atau remaja. Karena sedikit atau tidak ada insulin endogen, cenderung menimbulkan keto-asidosis.
1. Diagnosa
Diabetes Melitus
Keluhan dan gejala yang
khas ditambah dengan hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl atau glukosa darah puasa ≥ 126
mg/dl sudah cukup untuk menengakan diagnose Diabetes Millitus. Bila hasil
pemeriksaan glukosa darah meragukan, pemeriksaan TTGO diperlukan untuk
memastikan diagnosis Diabetes mellitus. Untuk diagnosis DM dan gangguan
toleransi glukosa lainnya diperlukan glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa.
Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk
konformasi diagnose DM pada hari yang lain atau TTGO yang abnormal. Konfirmasi
tidak diperlukan pada keadaan khas hiperglikemi dengan dekompensasi metabolic
akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat. (Mansjoer 2005).
Gambaran Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Diet Pada Pasien Diabetes Melitus Di Wilayah Kerja Puskesmas
07:29
No comments
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang.
Visi Kementerian Kesehatan adalah “Masyarakat Sehat yang mandiri dan
berkeadilan. Sedangkan misinya adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan
masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani; melindungi kesehatan
masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata,
bermutu, dan berkeadilan; menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya
kesehatan; dan menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik. Salah
satu strateginya adalah “Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata,
terjangkau, bermutu dan
berkeadilan serta berbasis bukti dengan mengutamakan pada upaya promotif dan preventif”
(Depkes RI, 2010).
Pada tahun 2005 ada lebih dari 150 juta kasus
diabetes didunia dan jumlah ini akan meningkat dua kali lipat di tahun 2025,
(WHO, 2006) dalam Pembawa
pesan kesehatan Juni 2008.
Prevalensi Nasional Penyakit Diabetes Melitus adalah 1,1% (berdasarkan diagnosa tenaga kesehatan
dan gejala) Sebanyak 17 Propinsi mempunyai prevalensi
peyakit Diabetes Mellitus diatas
angka prevalensi Nasional, yaitu
Propinsi Nanggro Aceh Darussalam, Sumatra Barat, Riau, Bangka Belitung,
Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yokjakarta, Jawa
Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi
Utara, Sulawesi Tengah, Golontalo dan Papua Barat. (Riskesdas, 2010)
Diabetes Melitus
adalah keadaan hyperglikemia kronik
disertai berbagai kelainan metabolic akibat ganguan hormonal, yang menimbulkan
berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah,
disertai lesi pada membran
basalis dalam pemeriksaan
dengan mikroskop electron (Mansjoer 2005).
Penyakit diabetes melitus mengakibatkan banyak
komplikasi seperti misalnya impotensi, penyakit jantung, stroke (resiko 2-4
kali), hipertensi kerusakan ginjal dan penghancuran sistim syaraf adalah hal
yang sangat penting bagi penderita
diabetes untuk menjaga makanan mereka karena makanan yang mereka makan sangat
berpengaruh terhadap kadar glukosa dalam darah (Ami, 2008).
Diet merupakan kebiasaan dalam hal jumlah dan jenis
makanan dan minuman yang dimakan seseorang dari hari ke hari, terutama makanan
yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan individu yang spesifik, mencakup atau
tidak mencakup makanan tertentu, diet yang dianjurkan bagi penderia diabetes melitus biasanya terbatas
jumlah gulanya atau karbohidrat yang mudah diserap (Dorlend, 2011).
Subscribe to:
Posts (Atom)