This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sunday, 21 July 2013

Hubungan lama menjadi akseptor KB suntik dengan peningkatan berat badan di wilayah kerja Puskesmas



BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang.
Keluarga berencana merupakan salah satu pelayanan kesehatan preventif yang paling dasar dan utama bagi wanita. Peningkatan dan perluasan pelayanan keluarga berencana merupakan salah satu usaha untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu yang demikian tinggi akibat kehamilan yang dialami wanita. Banyak wanita harus menentukan pilihan kontrasepsi yang sulit, tidak hanya karena keterbatas jumlah metode tersedia, tetapi juga karena metode-metode tertentu mungkin tidak dapat diterima sehubungan dengan kebijakan nasional KB (Keluarga Berencana), kesehatan individu dan seksualitas wanita atau biaya untuk memperoleh kontrasepsi (Depkes RI, 2004).
Pelayanan keluarga berencana yang merupakan salah satu didalam paket pelayanan kesehatan reproduksi esensial perlu mendapatkan perhatian yang serius, karena dengan mutu dan pelayanan KB berkualitas diharapkan dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan. Dengan berubahnya paradigma dalam pengelolaan masalah kependudukan dan pembangunan dari pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas menjadi pendekatan yang berfokus pada kesehatan reproduksi serta hak reproduksi. Maka pelayanan KB harus menjadi lebih berkualitas serta memperhatikan hak-hak dari klien masyarakat dalam memilih kontrasepsi yang diinginkan (Saifuddin, 2006).
Salah satu jenis kontrasepsi efektif yang menjadi pilihan handal KB hormonal suntikan (injectables) dan merupakan salah satu alat kontrasepsi yang berdaya kerja panjang (lama) dan tidak membutuhkan pemakaian setiap hari. Kontrasepsi yang baik adalah aman, dapat diandalkan, sederhana, murah, dapat diterima banyak orang dan pemakaian jangka panjang. Namun sampai saat ini Belum tersedia 100 % metode kontrasepsi yang sempurna dan ideal. Begitu juga dengan akseptor KB suntik juga dapat mengalami efek samping seperti gangguan pola haid, kenaikan berat badan sakit kepala dan kenaikan tekanan darah, nyeri perut bagian bawah, pertumbuhan rambut, bahkan sampai penurunan gairah seksual (Hartanto, 2005)
Data dari Wold Health Organitation (WHO) menyebutkan angka pengunaan alat kontrasepsi didunia terus meningkat 85 % pasangan usia subur telah menggunakan alat kontrasepsi dengan berbagai metode, angka akseptor yang mengunakan kontrasepsi suntikan merupakan akseptor terbanyak  65,32 % . Di Indonesia akseptor KB 75,6 % Mengunakan alat kontrasesi suntikan. (www.BKKBN.go.id)
Jenis – jenis kontrasepsi yang dikenal dan di gunakan saat ini di Indonesia adalah Pil Konbinasi, Suntikan Kombinasi, Pil Progestin, Implan, Alat kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) CU, AKDR Progestin, Tubektomi dan vasektomi, dan suntikan DMPA (BKKBN, 2007).
Keberhasilan program Keluarga Berencana selama 3 dasa warsa telah dianggap berhasil ditingkat Internasional. Pencapaian ini memberikan kontribusi nyata dalam penurunan angka laju pertumbuhan penduduk pada tahun 2010. Demikian pula keberhasilan program KB di Indonesia angka cakupan pelayanan KB mencapai 64,3 % pada tahun 2009-2010. Alat kontrasepsi yang digunakan dalam program KB dewasa ini adalah yang mengunakan alat kontrasepsi Pil 31,9 %, IUD 8,9 %, KB suntik 18,4 %, Implan 2,7% dan kondom 38,8 %
Propinsi Nanggoe Aceh pada tahun 2010 memiliki akseptor KB sebanyak 457.671 pasang, sedangkan yang melakukan KB aktif adalah 302.542 (66,1 %) akseptor, jenis kontrasepsi yang digunakan adalah suntikan sebanyak 148.986 (49,2 %) akseptor, Pil 112.625 (33,6 %) akseptor, IUD 29.547 (9,7 %) akseptor, kondom 6.329 (0,7 %) akseptor, Implan 3.165 (0,4 %) akseptor, metode lainnya 1.890 (0,23 %) akseptor

Hubungan Lingkungan Rumah dengan penyakit Pneumonia anak di Wilayah Kerja Puskesmas



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pneumonia merupakan penyakit di mana paru-paru terkena infeksi. Infeksi tersebut bisa menyerang salah satu atau kedua paru-paru. Bila infeksi menyerang kedua paru-paru, maka disebut dengan pneumonia ganda. Paru-paru merupakan organ penting pada sistem pernapasan. Udara yang mengandung oksigen disaring oleh paru-paru pada proses pernapasan. Oksigen tersebut diedarkan ke seluruh tubuh bersama dengan aliran darah yang dialirkan dari tabung pernapasan oleh alveolus. Kapiler atau pembuluh darah dikelilingi oleh kantung-kantung udara kecil yang disebut alveolus (Manjsoer, 2008)
Antara 11 sampai 20 juta anak dengan pneumonia butuh rawat inap dan lebih dari 2 juta meninggal. Perlu pula diingat bahwa insidensi pneumonia berkurang seiring dengan bertambahnya usia anak. Tiga perempat kejadian pneumonia pada balita di dunia terjadi di 15 negara dan Indonesia menduduki urutan keenam dengan insidensi per tahunnya sekitar 6 juta (UNICEF/WHO, 2010). Pada tahun 2011, Sistim Kesehatan Nasional (SKN) menyebutkan 22,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit respiratori terutama pneumonia (Said, 2012).
Pneumonia merupakan masalah kesehatan di dunia karena angka kematiannya tinggi, tidak saja dinegara berkembang, tapi juga di negara maju seperti Amirika Serikat, Kanada dan negara-negara Eropa. Di Amirika Serikat misalnya, terdapat dua juta sampai tiga juta kasus pneumonia per tahun dengan jumlah kematian rata-rata 45.000 orang. Di Indonesia, pneumonia merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah kardiovaskuler dan tuberkulosis. Faktor sosial ekonomi yang rendah mempertinggi angka kematian (Said, 2012).
World Pneumonia Day (WPD) dicanangkan oleh hampir 100 organisasi kesehatan internasional dan diadakan pertama kalinya pada tanggal 2 November 2009 dan untuk tahun ini akan diperingati pada tanggal 12 November 2010. Tujuan utama WPD sesuai dengan temanya “Fight pneumonia, save a child” yaitu untuk memerangi dan menyelamatkan anak dari bahaya pneumonia. Pneumonia merupakan pembunuh nomor satu balita di seluruh dunia yaitu telah mengakibatkan kematian pada lebih dari 2 juta bayi atau 1 dari 5 kematian balita di seluruh dunia setiap tahunnya. Sebagai salah satu upaya menanggulangi pneumonia, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) turut memperingati WPD dengan maksud untuk menghimbau masyarakat dalam melakukan deteksi dini dan pencegahan terhadap pneumonia dalam rangka upaya percepatan penanggulangan pneumonia (WHO, 2011).
Menurut Wold Healht Organisation (WHO) (2010), pneumonia merupakan penyebab utama kematian pada anak usia di bawah 5 tahun (balita), yaitu sekitar 19% atau sekitar 1,8 juta balita tiap tahunnya meninggal karena pneumonia. Angka ini melebihi jumlah akumulasi kematian akibat malaria, AIDS, dan campak. Diperkirakan lebih dari 150 juta kasus pneumonia terjadi setiap tahunnya pada balita di negara berkembang, yaitu sekitar 95% dari semua kasus baru pneumonia di dunia (UNICEF/WHO, 2006). Kejadian pneumonia di negara maju jauh lebih kecil (0,026 episode/anak/tahun dibandingkan negara berkembang 0,28 episode/anak /tahun). Hal ini diperkirakan karena peran antibiotik, vaksinasi, dan asuransi kesehatan anak yang berkembang di negara maju (WHO, 2011).
Menurut hasil Riset Kesehatan dasar (RISKESDAS) tahun 2010, yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depertemen Kesehatan Republik Indonesia (Balitbangkes Depkes RI), menyatakan bahwa prevelensi nasional rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat adalah 38,7 %, sebanyak 22 propinsi mempunyai prevalensi dibawah nasional salah satu diantaranya adalah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Depkes RI, 2010).

Konsep Diabetes Melitus



1.      Pengertian Diabetes Melitus
Diabetes Melitus adalah keadaan hyperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolic akibat ganguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah, disertai lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop electron (Mansjoer 2005).
Diabetes Melitus adalah suatu kondisi metabolic dimana tubuh tidak dapat mempertahankan kadar gula dalam darah secara fisiologis. Peningkatan kadar gula darah yang kronis akan memicu angiopati dan menyebabkan kecacatan, jika tidak ditangani dengan cepat. Penyulit utama adalah terjadinya malfungsi micro dan macrovaskuler (Ami, 2009)
Diabetes Melitus adalah Penyakit darah manis dapat merupakan kelainan hereditas dengan ciri insufisiensi atau absennya insulin dalam sirkulasi  darah, konsentrasi gula darah tinggi, berkurangnya glikogenesis (Muchtar, 2000)
2.      Etiologi
Insulin Dependen Diabetes Millitus (IDDM) atau diabetes melitus tergantung insulin (DMTI) disebabkan oleh destruksi sel β pulau Langerhans akibat proses autoimun. Sedangkan Non Insulin Dependen Diabetes Melitus (NIDDM) atau diabetes mellitus tidak tergantung insulin (DMTTI) disebabkan oleh kegagalan relative sel β dan resistensi insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel β tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya. artinya terjadi defisiensi relative insulin. Ketidak mampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin. Berarti sel β pancreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa  (Mansjoer 2005).
3. Klasifikasi Diabetes Melitus
a. Tidak tergantung insulin (TTI) Non Insulin Dependent Diebetes Mellitus (NIDDM) yaitu kasus yang tidak memerlukan insulin untuk pengendalian kadar gula darah.
b. Tergantung insulin (TI) Insulin dependent diabetes Melitus yaitu kasus yang memerlukan insulin dalam pengendalian kadar gula darah.
  Klasifikasi Diabetes Melitus menurut White adalah sebagai berikut :
Kelas A. Diabetes kimiawi disebut juga diabetes laten, subklinis atau diabetes kehamilan, tes toleransi glukosa tidak normal, penderita tidak memerlukan insulin, cukup diobati dengan diet saja. Prognosis bagi ibu dan anak baik.
Kelas B. Diabetes Dewasa, diketahui secara klinis setelah umur 19 tahun dan berlangsung kurang daripada 10 tahun dan tidak disertai kelainan pembuluh darah.
Kelas C.  Diabetes yang diderita antara umur 10 – 19 tahun, atau timbul pada umur antara 10 – 19 tahun dan tanpa kelainan pembuluh darah.
Kelas D. Diabetes telah diderita lama, 20 tahun atau lebih, atau telah diderita sebelum umur 10 tahun, atau disertai kelainan pembuluh darah, termasuk arteriosklerosis pada retina dan tungkai, dan retinitis.
Kelas E. Diabetes yang diserta perkapuran pada pembuluh – pembuluh darah panggul, termasuk arteria uteria.
Kelas F Diabetes dengan nefropatia, termasuk glomerulonefritis dan pielonefritis. Diabetes anak remaja (juvenilis), diabetes yang diderita sejak anak-anak atau remaja. Karena sedikit atau tidak ada insulin endogen, cenderung menimbulkan keto-asidosis.
1.      Diagnosa Diabetes Melitus
Keluhan dan gejala yang khas ditambah dengan hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu  > 200 mg/dl atau glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl sudah cukup untuk menengakan diagnose Diabetes Millitus. Bila hasil pemeriksaan glukosa darah meragukan, pemeriksaan TTGO diperlukan untuk memastikan diagnosis Diabetes mellitus. Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa lainnya diperlukan glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa. Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk konformasi diagnose DM pada hari yang lain atau TTGO yang abnormal. Konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan khas hiperglikemi dengan dekompensasi metabolic akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat. (Mansjoer 2005).

Gambaran Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Diet Pada Pasien Diabetes Melitus Di Wilayah Kerja Puskesmas



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.
Visi Kementerian Kesehatan adalah “Masyarakat Sehat yang mandiri dan berkeadilan. Sedangkan misinya adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani; melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan; menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya kesehatan; dan menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik. Salah satu strateginya adalah “Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu dan berkeadilan serta berbasis bukti dengan mengutamakan pada upaya promotif dan preventif” (Depkes RI, 2010).
Pada tahun 2005 ada lebih dari 150 juta kasus diabetes didunia dan jumlah ini akan meningkat dua kali lipat di tahun 2025, (WHO, 2006) dalam Pembawa pesan kesehatan Juni 2008.
Prevalensi Nasional Penyakit Diabetes Melitus adalah 1,1% (berdasarkan diagnosa tenaga kesehatan dan gejala) Sebanyak 17 Propinsi mempunyai prevalensi peyakit Diabetes Mellitus diatas angka prevalensi Nasional, yaitu Propinsi Nanggro Aceh Darussalam, Sumatra Barat, Riau, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yokjakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Golontalo dan Papua Barat. (Riskesdas, 2010)
Diabetes Melitus adalah keadaan hyperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolic akibat ganguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah, disertai lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop electron (Mansjoer 2005).
Penyakit diabetes melitus mengakibatkan banyak komplikasi seperti misalnya impotensi, penyakit jantung, stroke (resiko 2-4 kali), hipertensi kerusakan ginjal dan penghancuran sistim syaraf adalah hal yang  sangat penting bagi penderita diabetes untuk menjaga makanan mereka karena makanan yang mereka makan sangat berpengaruh terhadap kadar glukosa dalam darah (Ami, 2008).
Diet merupakan kebiasaan dalam hal jumlah dan jenis makanan dan minuman yang dimakan seseorang dari hari ke hari, terutama makanan yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan individu yang spesifik, mencakup atau tidak mencakup makanan tertentu, diet yang dianjurkan bagi penderia diabetes melitus biasanya terbatas jumlah gulanya atau karbohidrat yang mudah diserap (Dorlend, 2011).