Saturday, 4 May 2013
Gambaran Pengetahuan Bidan Tentang Penggunaan Liminaria Pada Ibu Pre-Curratage
15:47
No comments
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Laminaria telah digunakan dalam
penyusunan leher rahim (pembukaan dan pelunakan serviks) selama lebih dari 100
tahun. Mereka pertama kali digunakan di AS dan Jepang, dan telah digunakan di
Denmark dan Swedia selama lebih dari 80 tahun. Karena kemampuan hydroscopic nya
akan 2-3 milimeter untuk 12-13 mm (0,4 inci). Dengan menempatkan 1-3 Laminaria
di leher rahim selama 6 sampai 12 jam, mengurangi insiden harus menggunakan
begitu banyak kekuatan untuk membuka leher rahim menyebabkan kerusakan
sementara atau permanen pada leher rahim atau organ tubuh lainnya seperti
dijelaskan di atas.
Penelitian sebelumnya menunjukkan
bahwa penggunaan Laminaria mengurangi insiden komplikasi oleh 1 / 5 sebelum
dilator menggunakan (batang digunakan untuk membuka mulut rahim), daripada
menggunakan dilator saja. Komplikasi menggunakan Laminaria termasuk kesulitan
dengan pemindahan tenda, perpindahan dari tenda ke dalam vagina atau rahim,
impactment (terjebak di dalamnya) dari Laminaria di leher rahim, putus dari
ujung ke ujung. Komplikasi jarang terjadi jika Laminaria dengan hati-hati
ditempatkan langsung di dalam leher rahim. komplikasi lainnya termasuk kram
pada penyisipan, dan gejala-menstruasi seperti di sekitar 8 persen pasien.
Ada beberapa kasus yang dilaporkan
reaksi anafilaksis setelah penyisipan, dan infeksi. Sebagai kesimpulan, tenda
Laminaria telah digunakan sebelum pasien yang menjalani bedah aborsi trimester
pertama prosedur (sampai 12 minggu) selama lebih dari 100 tahun di Amerika
Serikat Mereka mengurangi kejadian morbiditas (komplikasi) berhubungan dengan
prosedur aborsi dan tenda yang terkait dengan minim efek samping.. (Depkes RI, 2010)
World Health Organization (WHO)
menentukan bahwa aborsi termasuk dalam masalah kesehatan reproduksi yang perlu
mendapatkan perhatian dan merupakan penyebab penderitaan wanita di seluruh
dunia. Masalah aborsi ini menjadi suatu pokok perhatian dalam kesehatan
masyarakat karena pengaruhnya terhadap morbiditas dan mortalitas maternal.
Setiap tahun, kira- kira 79 juta kehamilan yang tidak diinginkan (unintended
pregnancy) terjadi. Lebih dari setengah kehamilan tersebut berakhir dengan
aborsi. Aborsi spontan merupakan penyebab terbanyak fetal loss. Delapan puluh
persen fetal loss disebabkan oleh aborsi spontan. Sekitar 10- 15 persen
kehamilan berakhir dengan aborsi spontan kuretage
antara bulan kedua dan kelima kehamilan. Kurang lebih setengahnya disebabkan
oleh anomali kromosom pada embrio (Farel,
2011).
Data yang komprehensif tentang
kejadian aborsi di Indonesia tidak tersedia. Berbagai data yang
diungkapkan adalah berdasarkan survei dengan cakupan yang relatif terbatas.
Diperkirakan tingkat kuretage
di Indonesia adalah sekitar 2 sampai dengan 2,6 juta kasus per tahun, atau 43 kuretage untuk setiap 100
kehamilan. Diperkirakan pula bahwa 30 persen di antara kuretage tersebut dilakukan
oleh penduduk usia 15-24 tahun (Wilopo,
2005)
Gambaran Pengetahuan Bidan Tentang Informed Consent Di Puskesmas
10:29
No comments
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak
asasi manusia untuk hidup sehat yang dicanangkan oleh masyarakat internasional
sudah tumbuh menjadi tekad bangsa-bangsa di Dunia untuk meyelengarakan
kehidupan manusia yang sejahtera, oleh karena itu istilah keseahtan harus
diartikan “ Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan social yang
memungkinkan setiap orang hidup proaktif secara social dan ekonomi. (Depkes RI, 2011 ).
Sumber
utama dari pernyataan baru tentang kesehatan dalam arti kesejahteraan itu
berakar dari piagam atlantik 1942, piagam PBB 1945, dan deklarasi Hak azasi
sedunia 1948. Muatan nilai norma hak asasi manusia tertuang dalam pasal 22, 25
,dan 29 yang pada pokoknya” the right to healt care” dan “social welfare”
merupakan azas dari Negara yang menyelenggarakan “ the general welfare in a
democratic society”. Ketiga sumber nilai hukum ini ditindaklanjuti melalui
deklarasi Helsinki 1964, deklarasi Libson 1981 dan beberapa kesepakatan
internasional lainya yaitu pelayanan kesehatan yang berunsur Hak Azasi manusi
dan kesejahteraan, hak azasi manusia itupun menjadi dasar utama pengadaan
informed consent, dalam rangka pelayanan kesehatan untuk kemanusiaan. (Depkes RI, 2011 ).
Tuntutan
hak asasi manusia dibidang kesehatan mengubah kedudukan pasien (patient rights) yang semula bersifat
asimetris karena kecendrungan professional yang mengutamakan efesiensi
professional, pasien dianggap orang sakit tanpa diperhitungkan dalam arti
dilupakan kedudukanya sebagai manusia yang mempunyai hak asasi kesehatannya,
sementara Menurut pandangan paternalistik, hubungan anatara dokter dengan
pasien, dimana dokter berperan sebagai orang tua dari pasien dan keluarga,
segala informasi, keputusan, dan tindakan medis terhadap pasien sepenuhnya
ditangan dokter.
Hal
ini berkaitan juga kecendrungan penayalahgunaan profesi kesehatan yang didorong
oleh kepentingan sumber mencari nafkah melalui ilmu pengetahuan kesehatan yang
cendrung mengorbankan nilai-nilai etika menyimpang dari dalil hipokrates bahwa
ilmu kedokteran adalah ilmu yang mulia, yang seharusnya kelompok professional
altrustik untuk mementingkan kesejahteraan orang lain ditas kepentingannya
sendiri. .
Pelaksanaan
informed concent wajib hukumnya bagi dokter dan perawat, jika kewajiban
informed concent ini diabaikan akan dapat merugikan salah satu pihak, baik
dokter maupun pasien, apa bila pasien tidak puas dengan informasi yang diterima
tentang barbagai aspek penyakit mereka, atau dokter menganggap informed concent
merupakan suatu tugas yang dianggap sukar untuk dikerjakan, maka akan
mengakibatkan terjadinya tuntutan hukum, terhadap dokter selaku penyelenggara
pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2011 ).
Informasi informed
consent merupakan keharusan sebelum memberikan tindakan namun saat ini sering
dijumpai dalam intansi kesehatan, informed consent tidak selalu diberikan dalam
setiap tindakan medis, hanya untuk tindakan yang memiliki resiko tinggi yang
informed consent dibuat. Untuk tindakan sederhana kebiasaan tidak dibuat
informed consent.
Meningkatnya
masalah tuntutan hukum terhadap petugas kesehatan, salah satunya disebabkan oleh belum terpenuhinya
hak pasien, antara lain hak .atas informasi dan hak atas persetujuan yang lebih
dikenal dengan Informed Consent. Hal ini terjadi seiring dengan meningkatnya
kesadaran masyarakat mengenai hak-haknya dalarn peiayanan kesehatan (Depkes RI, 2010)
Berdasarkan hasil
penelitian yang dilaksanakan oleh Dewi Radnasari pada tahun 2011 di RSU Sunan
Kalijaga Demak didapat hasil angket dan observasi,
dimana pengetahuan perawat tentang perannya sebagai sumber informasi dalam
Informed Consent dapat dikategorikan cukup baik 8,7 % dan baik 90,3%, tetapi
dalam pelaksanaan peran sebagai sumber informasi di Informed Consent termasuk
ke dalam kategori tidak baik 4,3%, kurang baik 60,8%, dan cukup baik 30,9 %.
Pengetahuan perawat tentang peran sebagai advokator pasien dapat dikategorikan
kurang baik 13 %, cukup baik 30,4 %, dan baik 56,6 %, sedangkan pelaksanaan
peran perawat sebagai advokat pasien dapat dikategorikan tidak baik 39,1%,
kurang baik 47,8 %, dan cukup baik 13,1 %.br. (Radnasari, 2011)
Subscribe to:
Posts (Atom)