This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Saturday, 4 May 2013

Gambaran Pengetahuan Bidan Tentang Penggunaan Liminaria Pada Ibu Pre-Curratage



BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Laminaria telah digunakan dalam penyusunan leher rahim (pembukaan dan pelunakan serviks) selama lebih dari 100 tahun. Mereka pertama kali digunakan di AS dan Jepang, dan telah digunakan di Denmark dan Swedia selama lebih dari 80 tahun. Karena kemampuan hydroscopic nya akan 2-3 milimeter untuk 12-13 mm (0,4 inci). Dengan menempatkan 1-3 Laminaria di leher rahim selama 6 sampai 12 jam, mengurangi insiden harus menggunakan begitu banyak kekuatan untuk membuka leher rahim menyebabkan kerusakan sementara atau permanen pada leher rahim atau organ tubuh lainnya seperti dijelaskan di atas.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penggunaan Laminaria mengurangi insiden komplikasi oleh 1 / 5 sebelum dilator menggunakan (batang digunakan untuk membuka mulut rahim), daripada menggunakan dilator saja. Komplikasi menggunakan Laminaria termasuk kesulitan dengan pemindahan tenda, perpindahan dari tenda ke dalam vagina atau rahim, impactment (terjebak di dalamnya) dari Laminaria di leher rahim, putus dari ujung ke ujung. Komplikasi jarang terjadi jika Laminaria dengan hati-hati ditempatkan langsung di dalam leher rahim. komplikasi lainnya termasuk kram pada penyisipan, dan gejala-menstruasi seperti di sekitar 8 persen pasien.
Ada beberapa kasus yang dilaporkan reaksi anafilaksis setelah penyisipan, dan infeksi. Sebagai kesimpulan, tenda Laminaria telah digunakan sebelum pasien yang menjalani bedah aborsi trimester pertama prosedur (sampai 12 minggu) selama lebih dari 100 tahun di Amerika Serikat Mereka mengurangi kejadian morbiditas (komplikasi) berhubungan dengan prosedur aborsi dan tenda yang terkait dengan minim efek samping.. (Depkes RI, 2010)
World Health Organization (WHO) menentukan bahwa aborsi termasuk dalam masalah kesehatan reproduksi yang perlu mendapatkan perhatian dan merupakan penyebab penderitaan wanita di seluruh dunia. Masalah aborsi ini menjadi suatu pokok perhatian dalam kesehatan masyarakat karena pengaruhnya terhadap morbiditas dan mortalitas maternal. Setiap tahun, kira- kira 79 juta kehamilan yang tidak diinginkan (unintended pregnancy) terjadi. Lebih dari setengah kehamilan tersebut berakhir dengan aborsi. Aborsi spontan merupakan penyebab terbanyak fetal loss. Delapan puluh persen fetal loss disebabkan oleh aborsi spontan.  Sekitar 10- 15 persen kehamilan berakhir dengan aborsi spontan kuretage antara bulan kedua dan kelima kehamilan. Kurang lebih setengahnya disebabkan oleh anomali kromosom pada embrio (Farel, 2011).
Data yang komprehensif tentang kejadian aborsi di Indonesia tidak tersedia. Berbagai  data yang diungkapkan adalah berdasarkan survei dengan cakupan yang relatif terbatas. Diperkirakan tingkat kuretage di Indonesia adalah sekitar 2 sampai dengan 2,6 juta kasus per tahun, atau 43 kuretage untuk setiap 100 kehamilan. Diperkirakan pula bahwa 30 persen di antara kuretage tersebut dilakukan oleh penduduk usia 15-24 tahun (Wilopo, 2005)

Gambaran Pengetahuan Bidan Tentang Informed Consent Di Puskesmas



BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Hak asasi manusia untuk hidup sehat yang dicanangkan oleh masyarakat internasional sudah tumbuh menjadi tekad bangsa-bangsa di Dunia untuk meyelengarakan kehidupan manusia yang sejahtera, oleh karena itu istilah keseahtan harus diartikan “ Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan social yang memungkinkan setiap orang hidup proaktif secara social dan ekonomi. (Depkes RI, 2011 ).
Sumber utama dari pernyataan baru tentang kesehatan dalam arti kesejahteraan itu berakar dari piagam atlantik 1942, piagam PBB 1945, dan deklarasi Hak azasi sedunia 1948. Muatan nilai norma hak asasi manusia tertuang dalam pasal 22, 25 ,dan 29 yang pada pokoknya” the right to healt care” dan “social welfare” merupakan azas dari Negara yang menyelenggarakan “ the general welfare in a democratic society”. Ketiga sumber nilai hukum ini ditindaklanjuti melalui deklarasi Helsinki 1964, deklarasi Libson 1981 dan beberapa kesepakatan internasional lainya yaitu pelayanan kesehatan yang berunsur Hak Azasi manusi dan kesejahteraan, hak azasi manusia itupun menjadi dasar utama pengadaan informed consent, dalam rangka pelayanan kesehatan untuk kemanusiaan. (Depkes RI, 2011 ).
Tuntutan hak asasi manusia dibidang kesehatan mengubah kedudukan pasien (patient rights) yang semula bersifat asimetris karena kecendrungan professional yang mengutamakan efesiensi professional, pasien dianggap orang sakit tanpa diperhitungkan dalam arti dilupakan kedudukanya sebagai manusia yang mempunyai hak asasi kesehatannya, sementara Menurut pandangan paternalistik, hubungan anatara dokter dengan pasien, dimana dokter berperan sebagai orang tua dari pasien dan keluarga, segala informasi, keputusan, dan tindakan medis terhadap pasien sepenuhnya ditangan dokter.
Hal ini berkaitan juga kecendrungan penayalahgunaan profesi kesehatan yang didorong oleh kepentingan sumber mencari nafkah melalui ilmu pengetahuan kesehatan yang cendrung mengorbankan nilai-nilai etika menyimpang dari dalil hipokrates bahwa ilmu kedokteran adalah ilmu yang mulia, yang seharusnya kelompok professional altrustik untuk mementingkan kesejahteraan orang lain ditas kepentingannya sendiri.  .
Pelaksanaan  informed concent wajib hukumnya bagi dokter dan perawat, jika kewajiban informed concent ini diabaikan akan dapat merugikan salah satu pihak, baik dokter maupun pasien, apa bila pasien tidak puas dengan informasi yang diterima tentang barbagai aspek penyakit mereka, atau dokter menganggap informed concent merupakan suatu tugas yang dianggap sukar untuk dikerjakan, maka akan mengakibatkan terjadinya tuntutan hukum, terhadap dokter selaku penyelenggara pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2011 ).
Informasi informed consent merupakan keharusan sebelum memberikan tindakan namun saat ini sering dijumpai dalam intansi kesehatan, informed consent tidak selalu diberikan dalam setiap tindakan medis, hanya untuk tindakan yang memiliki resiko tinggi yang informed consent dibuat. Untuk tindakan sederhana kebiasaan tidak dibuat informed consent.
Meningkatnya masalah tuntutan hukum terhadap petugas kesehatan, salah satunya disebabkan oleh belum terpenuhinya hak pasien, antara lain hak .atas informasi dan hak atas persetujuan yang lebih dikenal dengan Informed Consent. Hal ini terjadi seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat mengenai hak-haknya dalarn peiayanan kesehatan (Depkes RI, 2010)
Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Dewi Radnasari pada tahun 2011 di RSU Sunan Kalijaga Demak didapat hasil angket dan observasi, dimana pengetahuan perawat tentang perannya sebagai sumber informasi dalam Informed Consent dapat dikategorikan cukup baik 8,7 % dan baik 90,3%, tetapi dalam pelaksanaan peran sebagai sumber informasi di Informed Consent termasuk ke dalam kategori tidak baik 4,3%, kurang baik 60,8%, dan cukup baik 30,9 %. Pengetahuan perawat tentang peran sebagai advokator pasien dapat dikategorikan kurang baik 13 %, cukup baik 30,4 %, dan baik 56,6 %, sedangkan pelaksanaan peran perawat sebagai advokat pasien dapat dikategorikan tidak baik 39,1%, kurang baik 47,8 %, dan cukup baik 13,1 %.br. (Radnasari, 2011)