A. Latar
belakang masalah
Pendidikan merupakan
bagian penting dari proses pembangunan nasional yang ikut menentukan
pertumbuhan ekonomi suatu negara. Pendidikan juga merupakan investasi dalam
pengembangan sumber daya manusia, dimana peningkatan kecakapan dan kemampuan
diyakini sebagai faktor pendukung upaya manusia dalam mengarungi kehidupan yang
penuh ketidakpastian. Dalam kerangka inilah pendidikan diperlukan dan dipandang
sebagai kebutuhan dasar bagi masyarakat yang ingin maju.
Dalam Undang-Undang nomor 25 tahun 2000 tentang
Program Pembangunan Nasional (PROPENAS), dinyatakan bahwa tiga tantangan besar
dalam bidang pendidikan di Indonesia, yaitu (1) mempertahankan hasil-hasil
pembangunan pendidikan yang dicapai; (2) mempersiapkan sumber daya manusia yang
kompeten dan mampu bersaing dalam pasar
kerja global; dan (3) sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah system
pendidikan nasional dituntut untuk melakukan perubahan dan penyesuaian sehingga
dapat diwujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memerhatikan
keberagaman, memerhatikan kebutuhan dan peserta didik, serta mendorong
peningkatan partisipasi masyarakat (Hasbullah, 2007).
Dalam
konteks pelaksanaan otonomi daerah
ditegaskan bahwa sistem pendidikan nasional yang bersifat sentralistis selama
ini kurang mendorong terjadinya demokratisasi dan desentralisasi
penyelenggaraan pendidikan. Dalam pasal 1 ayat (7) UU nomor 32 tahun 2004
(Hasbullah, 2007:9) disebutkan bahwa desentralisasi diartikan sebagai
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk
mengatur dan megurus urusan pemerintahan dalam sistem negara kesatuan Republik
Indonesia.
Meskipun
desentralisasasi pendidikan merupakan sebuah keharusan, namun dalam
realitasnya, pelaksanaan desentralisasi
pendidikan terkesan satu tindakan yang agak tergesa-gesa dan tidak siap. Hal
ini bisa dilihat dari belum memadainya sumber daya manusia (SDM) daerah, sarana
dan prasarana yang kurang memadai, manajemen pendidikan yang belum optimal.
Dalam upaya memaksimalisasikan
penyelenggaraan pendidikan tersebut, maka perlu dikembangkan konsep Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS), yang berupaya meningkatkan peran sekolah dan masyarakat
sekitar (stakeholder) dalam penyelenggaraan pendidikan sehingga penyelenggaraan
pendidikan menjadi lebih baik dan mutu lulusan semakin bisa ditingkatkan. MBS
memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar pada sekolah, disertai
seperangkat tanggung jawab
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat
bangsa dalam pengusaan ilmu dan tehnologi, yang ditunjukan dengan pernyataan
politik dalam Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Hal tersebut diharapkan
dapat dijadikan dalam pengembangan pendidikan di Indonesia yang berkualitas dan
berkelanjutan.
Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional Nomor 20 Tahun 2003 yang mengharuskan semua sekolah melaksanakan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah)
dalam pengelolaannya manajemen pendidikan. MBS adalah bentuk pengelolaan sekolah
yang diberikan kewenangan lebih besar kepada sekolah untuk
merencanakan,melaksankan,dan menilai program sekolah.Kewenangan tersebut
anatara lain (1) menentukan program sekolah (2) merencanakan bagaimana sekolah memeperoleh
dana serta bagai mana pengggunaannya, (3)
mengatur jadwal belajar (4) menentukan jumlah siswa baru yang diterima di awal tahun (5) menentukan
jumlah tenaga guru yang diperlukan.
Depdiknas (2001) ”Sekolah yang
melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah adalah partisifasi warga sekolah dan
masyarakat merupakan bagian kehidupan, hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa
makin tinggi tingkat partisifasi, makin besar pula rasa memiliki, makin besar
rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggung jawab, dan makin besar pula
tingkat dedikasi”.
Dari kutipan diatas
dapat menunjukan bahwa transparan, partisipatif dan akuntabel cukup menentukan
untuk peningkatan mutu pendidikan. Sekolah
yang melaksanakan MBS, kepala sekolah memilki peran yang kuat dalam
mengkoordinasi, menggerakkan, dan menyerasikan semua sumber daya pendidikan
yang tersedia. Kepala sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong
sekolah untuk dapat mewujutkan Visi, Misi tujuan dan sasaran sekolahnya melalui
program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap.
Keterbukaan
kepala sekolah melibatkan semua warga sekolah (stakeholder) dalam merumuskan
Visi, Misi serta tujuan, penyusunan program kerja sekolah, penyusunan RAPBS melibatkan agar warga sekolah mengetahui jumlah dana masuk dana keluar, sehingga tidak timbul polemik
baik dipihak guru atau masyarakat terhadap kepala sekolah.
Segi pembelajaran sekolah yang
melaksanakan MBS memilki efektifitas Proses Belajar Mengajar (PBM) yang tinggi yaitu
menekankan pada Pembelajaraan peserta didik. PBM bukan sekedar penekanan pengusaan pengetahuan
tentang apa yang diajarkan, akan tetapi lebih menekankan pada internalisasi
tentang apa yang diajarkan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan
nurani dan dihayati serta dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari oleh peserta
didik.
0 komentar:
Post a Comment