2.2.1 Minat Baca
Minat baca merupakan ciri
kemajuan suatu bangsa atau masyarakat. Bangsa atau masyarakat yang maju selalu
menempatkan kebiasaan membaca sebagai salah satu kebiasaan hidupnya sehingga
tercipta masyarakat yang senang membaca.
Minat baca sering
dikaitkan dengan mutu buku. Padahal buku-buku terjemahan, buku-buku bernahasa
asing pun saat ini telah banyak beredar di Indonesia. Kalau dulu memang
penerbitan buku di Indonesia hanya 5.000 judul per tahun, tapi saat sekarang
ini telah hampir 10.000 judul per tahun.
Kita menyadari bahwa
kurikulum kita sudah sarat dengan berbagai mata pelajaran. Tapi mengapa
Depertemen Pendidikan tidak mewajibkan kepada “Murid” untuk membaca satu buku
saja dalam satu minggu, dan di murid diminta untuk menuliskan synopsis dari
buku yang dibacanya. Hal ini dilakukan di Malaysia beberapa tahun lalu,
sehingga satu anak dalam satu tahun harus membaca 54 buku bacaan. Akhirnya
bukan mustahil penulis remaja akan tumbuh dimasa yang akan datang (Sanjaya,
2001: 221).
Untuk meningkatkan minat
baca pemerintah telah mencanangkan bulan Mei ada peringatan Hari Buku Nasional.
Dan tiap bulan September diperingati sebagai
bulan Gemar Membaca dan Hari Kunjungan Perpustakaan. Melalui kedua peringatan
ini diharapkan masyarakat menjadi gemar membaca. Persoalan membaca yang selalu
mengemuka, terutama dikalangan pelajar kita. Adalah bagaimana cara menimbulkan
minat baca dan cara membaca yang baik.
Memupuk minat baca
merupakan proses pelatihan yang dilakukan secara terus-menerus. Oleh sebab itu
permulaan pelatihan membaca harus dilakukan sejak anak usia dini, usia
pra-sekolah. Tugas orang tua adalah bagaimana membuat lingkungan rumah penuh
dengan bahan bacaan. Di Negara-negara maju, memiliki perpustakaan pribadi sudah
merupakan tradisi dan kebanggaan.
Minat baca yang rendah
mempengaruhi kemampuan anak didik dan secara tidak langsung berakibat pada
rendahnya daya saing mereka dalam percaturan internasional. Sejarah belum
mencatat ada orang pintar dan hebat yang tidak banyak mambaca. Saying hal ini
belum menjadi perhatian serius kebanyakan para orang tua. Gerakan pemberantasan
buta huruf yang sudah lama dicanangkan pemerintah tidak akan berhasil dengan
baik tanpa dukungan dari orang tua sebagai ujung tombak pendidikan anak dalam
keluarga. Bahkan Hari Buku Nasional pun terlewatkan begitu saja (Sanjaya, 2001:
223).
Dengan timbulnya minat
baca yang tinggi dan didorong tersedianya bahan bacaan yang bagus dan murah,
adalah gerbang pengetahuan yang dapat mengantarkan kepada kehidupan masyarakat
yang mencerahkan.
Mengapa seseorang tidak memiliki minat baca ? Jawabannya ada tiga
macam:
1) Karena
memang sudah warisan dari orang tua. Mulai dari kakek-nenek memang tidak suka
membaca dan itu sudah ada dalam DNA anda sampai hari ini. Sifat ini deteruskan
dari generasi ke generasi berikutnya dan anda mewarisinya. Inilah yang disebut
dengan determinisme genetis.
2) Tidak
sedang membaca, karena memang sejak kecil dibesarkan oleh oleh orang tua yang
tidak pernah mendekatkan diri anda dengan bacaan. Saya tidak sedang membaca
memang tidak diberi teladan oleh orang tua malah orang tua Anda selalu
mengatakan bahwa membaca itu perbuatan yang hanya buang waktu saja. Pengasuhan
anda, pengalaman masa kanak-kanak anda pada dasarnya membentuk kecenderungan
pribadi dan sususan karakter anda. Itulah sebabnya anda tidak senang
membaca.Inilah yang disebut dengan determinisme psikis.
3) Determinisme lingkungan pada
dasarnya mengatakan bahwa anda tidak senang membaca karena atasan atau bawahan,
teman-teman, dan guru atau dosen ada juga tidak senang membaca; di samping itu
juga di rumah, di kantor, di sekolah tidak disediakan perpustakaan; serta tidak
ada peraturan perusahaan yang mengharuskan anda untuk membaca; situasi ekonomi
yang kurang mendukung dan tidak adanya kebijakan nasional tentang minat baca.
Seseorang atau sesuatu di lingkungan andalah yang bertanggung jawab atas tidak
adanya minat baca pada diri anda.
Ketiga macam determinan di
atas dilandasi oleh teori stimulus/respons yang sering kita hubungkan dengan
eksperimen Pavlov dengan anjingnya. Gagasan dasarnya adalah bahwa kita
dikondisikan untuk berespons dengan cara tertentu terhadap stimulus tertentu
(Covey, 1997: 215)
Masalah minat baca ini
akan menjadi malapetaka bagi bangsa jika tidak segera diatasi bersama. Dan
mengatasinya pun tidak dengan tampal sulam. Keluarga harus menjadikan membaca
sebagai kegemaran sejak dini. Sekolah harus menetapkan sistim pendidikan yang
mengairahkan minat membaca. Dan pemerintah harus menyediakan dana cukup bagi
perpustakaan serta mendorong tumbuhnya budaya membaca.
2.2.2 Budaya Baca
Budaya baca nasional kini
masih menghadapi tantangan besar, terutama karena banyaknya akses budaya pop
barat masuk Indonesia yang tidak mencerminkan nilai budaya, karakter serta
identitas bangsa.
Budaya pop barat yang
mendunia, menurut mantan rector ITB Iskandar Alisjahbana, merupakan dampak dari
gelombang peradapan teknilogi dan informasi ang melahirkan era industry
rekreasi dan hiburan. Budaya pop barat ini telah merusak mental kaum muda kita.
Sebagai eksesnya adalah aksi vandalism, anarkisme, narkoba, tawuran dan seks
bebas (Omar, 2007).
Timbulnya masalah krusial,
hal ini terkait dengan kebiasaan membaca (reading habit) buku bermutu di
Indonesia yang belum membudaya, sehingga kita tidak siap membendung akses budaya
pop barat. Jadi jelas tesis pemikiran Neil Postman bahwa dunia hiburan dapat
membangkrutkan budaya sebuah bangsa, nampaknya lebih ditujukan kepada bangsa
dengan tradisi membaca yang lemah.
Dibandingkan negara maju
yang tingkat budaya bacanya, generasi muda kita masih ketinggalan jauh dalam kualitas SDM, karena
kualitas SDM suatu bangsa berbanding lurus dengan tingkat budaya bacanya.
Negara maju seperti Jepang dan Inggris, sudah lepas landas ke fase masyarakat
belajar (learning society) (Omar, 2007).
Sedangkan kita dalam hal
budaya baca saja masih lemah. Akibatnya, etos belajar generasi muda kita serta
kualitas SDM-nya lemah, sampai-sampai mereka lalai terhadap masa depan bangsa.
Minat membaca siswa dan
budaya membaca siswa tidak terlepas dari motivasi yang dimiliki anak untuk
membaca, motivasi merupakan dasar yang sangat baik untuk menumbuhkan minat
membaca dan akhirnya menjadi budaya membaca siswa yang akan tetap dibawa sampai
desawa dan sampai waktunya mengajarkan budaya baca ini pada anak-anaknya kelak (Kartono,
2006).
Bahkan dalam Al-Quran
surat Ar-Ra’d ayat 11 dengan jelas mengisyaratkan Sesungguhnya Allah tidak
mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri. Dari ayat ini jelas hanya motivasi yang tinggi yang dapat
menimbulkan budaya baca.
2.2.3 Motivasi membaca
Motivasi adalah keadaan
dalam diri individu yang memunculkan, mengarahkan, dan mempertahankan perilaku.
Dengan kata lain menurut Kartini Kartono motivasi adalah dorongan terhadap
seseorang agar mau melaksanakan sesuatu. Dengan dorongan (driving force)
di sini dimaksudkan: desakan yang alami untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan
hidup dan merupakan kecenderungan untuk mempertahankan hidup (Kartono, 2006).
Sesungguhnya upaya
menumbuhkan motivasi membaca dapat bersumber dari
empat dimensi manusia (mental, emosional, spiritual, dan fisik). Dengan
menghidupkan satu atau lebih dimensi manusia tersebut seseorang dapat
termotivasi dalam membaca. Keempat dimensi tersebut apabila diartikulasikan
kedalam bentuk kegiatan manusia maka akan seperti berikut: Visualisasi (visualitation)
untuk dimensi mental; Tanggung jawab (responsibility) untuk dimensi
spiritual; Kenyamanan dan kesukaan (excited) untuk dimensi emosional;
Gerakan (move) untuk dimensi fisik. Manusia pada dasarnya memiliki
kemampuan memotivasi diri untuk membaca yang tidak terbatas. Semakin besar
upaya untuk menyalakan sumber pemicu motivasi semakin besar motivasi yang
dihasilkan. Akan tetapi untuk memulainya, langkah yang paling awal dan paling
penting adalah melakukan penyadaran (Kartono, 2006).
0 komentar:
Post a Comment