Sunday, 14 April 2013

Pernikahan dini



Perkawinan merupakan suatu perkawinan sepasang mempelai yang dipertemukan secara formal di hadapan penghulu/kepala agama, para saksi dan sejumlah hadirin yang disahkan secara resmi sebagai suami isteri dengan upacara ritual-ritual tertentu. Dimana bentuk proklamasi laki-laki dan wanita bersifat dwi tunggal yakni saling memiliki satu sama lain.
Menikah dapat diartikan secara sederhana sebagai persatuan dua pribadi yang berbeda. Konsekuensinya, akan banyak terdapat perbedaan yang muncul. Mengapa saat pacaran hal itu tidak menjadi soal? Proses pacaran pada intinya adalah mekanisme untuk mempelajari dan menganalisis kepribadian pasangan serta belajar saling menyesuaikan diri dengan perbedaan tersebut. Dalam pacaran, akan dilihat, apakah perbedaan tersebut masih dapat dimengerti atau tidak. Namun masalahnya, selama masa pacaran orang sering mengabaikan realita sehingga kurang peka terhadap permasalahan atau perbedaan yang ada–bahkan seringkali mereka memasang harapan bahwa semua itu “akan berubah” setelah menikah. Yang sering terjadi, banyak pasangan yang kecewa karena harapan mereka tidak terwujud dan tidak ada perubahan yang terjadi, bahkan setelah bertahun-tahun menikah.
Satu hal yang sering kurang disadari oleh orang yang menikah adalah bahwa bersatunya dua pribadi bukanlah persoalan yang sederhana. Setiap orang mempunyai sejarahnya sendiri-sendiri dan punya latar belakang yang seringkali sangat jauh berbeda, entah itu latar belakang keluarga, lingkungan tempat tinggal atau pun pengalaman pribadinya selama ini.
Pernikahan adalah salah satu tanda kekuasaan Allah Ta`ala dan karunia-Nya, sebagaimana disebutkan dalam Firman Allah di dalam Al-Qur`an surah Ar-Rum ayat 21, yang artinya:"Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir

Pernikahan dini dikaitkan dengan waktu, yaitu sangat awal. Bagi orang-orang yang hidup abad 20 atau sebelumnya, pernikahan seorang wanita pada usia 13-16 tahun atau pria berusia 17-18 tahun adalah hal yang biasa. Tetapi bagi masyarakat kini, hal itu merupakan sebuah keanehan. Wanita yang menikah sebelum usia 20 tahun atau pria sebelum 25 tahun dianggap tidak wajar. Tapi hal itu memang benar adanya, remaja yang melakukan pernikahan sebelum usia biologis maupun psikologis yang tepat rentan menghadapi dampak buruknya.

Banyak efek negatif dari pernikahan dini. Pada saat itu pengantinnya belum siap untuk menghadapi tanggung jawab yang harus diemban seperti orang dewasa. Padahal kalau menikah itu kedua belah pihak harus sudah cukup dewasa dan siap untuk menghadapi permasalahan-permasalahan baik itu ekonomi, pasangan, maupun anak. Sementara itu mereka yang menikah dini umumnya belum cukup mampu menyelesaikan permasalahan secara matang.

Remaja yang menikah dini baik secara fisik maupun biologis belum cukup matang untuk memiliki anak. Sehingga kemungkinan anak dan ibu meninggal saat melahirkan lebih tinggi. Idealnya menikah itu pada saat dewasa awal yaitu sekira 20-sebelum 30 tahun untuk wanitanya, sementara untuk pria itu 25 tahun. Karena secara biologis dan psikis sudah matang, sehingga fisiknya untuk memiliki keturunan sudah cukup matang. Artinya risiko melahirkan anak cacat atau meninggal itu tidak besar. Sebenarnya kalau kematangan psikologis itu tidak ditentukan batasan usia, karena ada juga yang sudah berumur tapi masih seperti anak kecil. Atau ada juga yang masih muda tapi pikirannya sudah dewasa. Kondisi kematangan psikologis ibu menjadi hal utama karena sangat berpengaruh terhadap pola asuh anak di kemudian hari.

0 komentar:

Post a Comment