BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Tujuan utama dari keberadaan pemerintah di setiap
daerah adalah untuk menjaga system ketertiban di masyarakat agar tercipta
kehidupan secara wajar. Tugas pemerintah adalah untuk melayani dan mengatur
masyarakat, menekankan upaya mendahulukan kepentingan umum, mempermudah segala
urusan public dan memberikan kepuasaan kepada public. Dengan demikian hakikat
dari kegiatan pemerintah adalah member pelayanan kepada masyarakat dan bukan
melayani dirinya (Laporan Pelaksana dan Progres,2011).
Bergulirnya nuansa kebebasan yang meluas
di masyarakat, serta perubahan factual peran pemerintah daerah yang mulai terbuka dalam sebuah koridor
Undng-Undang No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah, serta tumbuhnya tatanan
praktis terhadap tuntutan layanan yang lebih baik beriring dengan semakin
membaiknya pemahaman masyarakat terhadap hak-haknya sebagai warga Negara yang
memiliki akses langsung kepada pemerintah, menuntut wacana yang lebih luas
terhadap peran pelayanan yang berkualitas oleh pemerintah kepada masyarakat.
Disadari bahwa kondisi penyelenggaraan pelayanan
publik di Aceh masih dihadapkan pada sistem pemerintah yang belum efektif dan
efesien serta kualitas sumber daya aparatur belum memadai. Hal ini terlihat
darri masih banyaknya keluhan dan pengaduan dari masyarakat Aceh baik secara
langsung maupun melalui media massa seperti prosedur yang berbelit,tidak adanya
jangka waktu penyelesaian, biaya yang harus dikeluarkan, persyaratan yang tidak
transparan, sikap petugas yang kurang responsive, kurang ramah, kurang
disiplin, dn lain-lain, sehingga menimbulkan citra yang kurang baik terhadap
citra pemerintah (Qanun Aceh tentang Pelayanan Publik No 8 tahun 2008).
Pelayanan publik
adalah segala kegiatan pelayanan yang
dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan public sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan penerima pelayanan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan (Qanun Aceh tentang
Pelayanan Publik pasal 1 tahun 2008).
Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) memiliki
dasar hokum yang jelas, dan sangat
relevan dengan kondisi social Aceh pasca konflik dan tsunami, yaitu:
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28 ayat (1) memberikan hak keepada
penduduk untuk mendapat pelayanan kesehatan. Hak atas pelayanan kesehatan
tersebut dirumuskan lebih lanjut dalam pasal 34 ayat 2 UUD 1945, dimana ada
kewajiban Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional memberikan iuran jaminan social,
bagi msyarakat yang m ampu.
Rakyat yang tidak mampu berhak mendapatkan bantuan iuaran, yang sifatnya
sementara, hinggaa mereka mampu menanggung iuran jaminan kesehatannya. Amanat
Undang-Undang No 11 Tahun 2006 tentang pemerintah Aceh yang tertuang pada pasal
224, pasal 225 dan pasal 226 yaitu kewajiban Pemerintah Aceh memberikan
pelayanan kesehatan secara menyuluruh kepada penduduk terutama penduduk miskin,
anak yatim dan terlantar.
Kebijakan politik yang lahir
pascaperjanjian damai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka
di Helsinky itu mewajibkan pemerintah Aceh memberikan pelayanan kesehatan secara menyuluruh kepada penduduk Aceh terutama
penduduk miskin, fakir miskin, anak yatim dan anak-anak terlantar. Aceh sebagai
daerah otonomi khusus yang memiliki hak, wewenang dan kewajiban mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengn peraturan perundang-undangan, dalam rangka menyediakan fasilitas dan
pelayanan kesehatan yang bermutu dan berkualitas untuk meningkatkan derajat
yang setinggi-tingginya. Sebagaimana terkatub dalam Undang-Undang No 11 tahun
2006 tentang Pemerintah Aceh, pasal 22 ayat (1) “Setiap penduduk Aceh mempunyai
hak yang sama dalam memperoleh pelayanan kesehatan dalam rangka mewujudkan
pelayanan kesehatan yang bermutu dan
berkualitas bagi seluruh warga Aceh. Pemerintah Aceh menerapkan program Jaminan
Kesehatan Aceh (JKA).
Walaupun penerapan program JKA telah
berhasil meningkatkan minat masyarakat, ditandai dengan kuantitas jumlah masyarakat yang berobat secara signifikan (untuk
menjawab keluhan masyarakat akan mahalnya biaya pengobatan), kan tetapi belum
dirasakan sepenuhnya berjalan secara
efektif. Hal ini dipengaruhi olehg aspek-aspek yang menentukan keberhasilan
program, diantaranya ketersediaan prosedur pelayanan (resources) yang belum
memadai, baik terhadap pedoman pelaksanaan, mekanisme kerja/koordinasi
pengelolaan dan pelayanan JKA. Intensitas frekuensi sosialisasi internal dan
eksternal program. Kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM), baik segi kuantitas
dan kualitas SDM, persepsi dan pemahaman terhadap program JKA, serta
professional/keahlian SDM pelaksana dan intensitas monitoring dan evalusi terhadap pelaksanaam JKA (Laporan
Pelaksaan dan Progres, 2011).
Berdasarkan sosialisasi dan Monitoring
dalam pelaksanaan JKA tidak semuanya berjalan lancer ada beberapa
permasalahan yang terjadi, seperti
distribusi fasilitas kesehatan (faskes) dan tenaga kesehatan (Nakes) yang tidak
merata, kondisi geografis yang sulit d jangkau
oleh petugas kesehatan, dan ada beberapa permasalahan lain yang timbul
seperti pada Badan Pengelola Jaminan Kesehatan Aceh (BPJK), karena belum semua
staf PT Askes (Persero) memahami pedoman pelaksana, sosialisasi kurang,
kesiapan petugas di lapangan, pada Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) belum
memiliki pemahaman yang cukup terhadap
Pedoman Pelaksanaan (ManLak), system bridging, intergrasi dengan jakesmas,
renumerasi, kesiapan medis dan paramedis dan petugas lain (kenaikan pas
signifikan), belum optimal system rujukan, kesiapan petugas dan permasalah yang
terjadi di masyarakat sosialisasi belum optimal dan beberapa
masyarakat menggunakan JKA dan permasalahan yang timbul di Dinas Kesehatan seperti
sosilisasi belum optimal (Sosialisasi
dan Monitoring, 2010).
Jumlah penduduk Aceh hasil Sensus tahun
2010 sebanyak 4.486.570 jiwa. data ini menunjukkan penambahan jumlah penduduk
dibandingkan jumlah penduduk tahun 2008, pada saat JKA direncanakan, berjumlah
4.371.081 jiwa. Upaya pemerintah menjamin penduduk miskin dan kurang mampu
melalui program jamkesmas yang mencapai 61% penduduk masih terbatas pada
fasilitas kesehatan publik. Masih ada 29% penduduk Aceh yang tidak
memiliki jaminan sama sekali, meskipun sebagian dri mereka mampu membayar biaya
berobat yang relatif murah
terutama untuk rawat jalan, namun sebagian besar mereka tidak mampu membayar biaya rawat inap yang dapat
melampaui kemampuan bayarnya (Keputusan Gubernur Aceh No:420/483, 2010).
Pelayanan
kesehatan di rumah sakit merupakan bentuk pelayanan yang diberikan kepada klien
oleh suatu tim multi disiplin. Pelayanan kesehatan pada masa kini sudah
merupakan industri jasa kesehatan utama dimana setiap rumah sakit bertanggung
gugat terhadap penerima jasa pelayanan kesehatan. Keberadaan dan kualitas
pelayanan kesehatan yang diberikan ditentukan oleh nilai-nilai dan harapan dari
penerima jasa pelayanan tersebut. Disamping itu, penekanan pelayanan kepada
kualitas yang tinggi tersebut harus dapat dicapai dengan biaya yang dapat
dipertanggungjawabkan (Indarjati, 2001).
Pelayanan
Penunjang Diagnostik adalah pelayanan penunjang untuk penegakan diagnosis dan
terapi antara lain berupa pelayanan laboratorium klinik, laboratorium patologi
anatomi, laboratorium mikrobiologi, radiologi diagnostik, elektromedik
diagnostik dan tindakan/pemeriksaan penunjang diagnostik lainnya (Indarjati,
2001).
Radiologi
adalah cabang ilmu kedokteran yang berhubungan dengan penggunaan semua
modalitas yang menggunakan radiasi untuk diagnosis dan prosedur terapi dengan
menggunakan panduan radiologi, termasuk teknik pencitraan dan penggunaan
radiasi dengan sinar-X dan radioaktif. Berdasarkan modalitas yang digunakan
berupa pesawat sinar-X maka layanan radiologi terdiri atas radiologi diagnostik dan radiologi
intervensional (Marpaung, 2010)
Dalam memberikan pelayanan Instalasi Radiologi
Rumah sakit Umum memberlakukan penarikan dana atas pasien yang belum mampu
memberikan persyaratan administrasi asuransi. Beragam respon yang diberikan
pasien terhadap pemberlakukan ini. Di satu sisi pihak penyelenggara rumah sakit
dituntut untuk memberikan pelayanan yang optimal, dengan tetap memenuhi semua
persyarakat yang disyaratkan asuransi. Disisi lain masyarakat/pasien yang
umumnya datang dalam keadaan darurat tidak membawa persyaratan yang di
syaratkan, sehingga kebijakan penarikan dana talanganpun menjadi pilihan
terbaik (http://www.depkes.com.id,
2005).
Fenomina penarikan dana jaminan merupakan suatu kebijakan untuk
menjembatani suatu kebutuhan mendesak, demi pemenuhan suatu sistim
administrasi, sistim meminta setiap dilakukan klain selalu harus dilengkapi
dengan beberapa bukti fisik, namun dalan kasus-kasus tertentu dimana pasien
dilarikan ke RSU tanpa dilengkap surat mengakibatkan klein JKA tidak terpenuhi,
maka di tempuh kebijakan penarikan dana jaminan dan setelah terpenuhinya persyaratan
administrasi maka dana jaminan dikembalikan dengan waktu tenggang 3 kali 24
jam.
0 komentar:
Post a Comment