a.
Denyut Jantung Janin (DJJ)
Dellinger
dkk (2000) secara retrospektif menganalisis pola frekuensi denyut jantung janin
intrapartum pada kehamilan dengan menggunakan suatu sistem klasifikasi yang
mereka rancang sendiri. Pola frekuensi denyut jantung janin selarna persalinan
sebelum kelahiran diklasifikasikan sebagai
“normal”, “stres”, atau “gawat”. “Gawat” janin Hasil akhir seperti seksio
sesarea, asidemia janin, dan rawat inap di ruang perawatan intensif secara
bermakna berkaitan dengan pola frekuensi denyut jantung janin. Para penulis ini
menyimpulkan bahwa sistem klasifikasi mereka secara akurat dapat memprediksi
hasil akhir normal bagi janin serta membedakan gawat janin yang sesungguhnya (Hornbuckle
dkk., 2000).
Singkatnya,
setelah lebih dari 30 tahun pengalaman dengan interpretasi pola frekuensi
denyut jantung janin, akhirnya ditemukan bukti bahwa beberapa kombinasi pola
frekuensi denyut jantung janin dapat digunakan untuk mengidentifikasi janin
normal dan abnormal parah. Pola gawat janin yang sejati tampaknya berupa tidak
adanya variabilitas denyut-demi-denyut disertai deselerasi berat atau perubahan
frekuensi basal persisten atau keduanya. Salah satu penjelasan mengapa manfaat
pemantauan frekuensi denyut jantung sulit dibuktikan secara ilmiah adalah gawat
janin semacam itu jarang terjadi sehingga sulit dilakukan uji klinis yang sahih
(Hornbuckle dkk., 2000).
Pemantauan
dan pencatatan denyut jantung janin yang segera dan kontinyu dalam hubungan
dengan kontraksi uterus memberikan sutu penilaian kesehatan janin yang sangat
membantu selama persalinan. Akselerasi periodik pada gerakan janin merupakan
keterangan dari reaktifitas janin yang normal (Hornbuckle dkk., 2000).
Indikasi-indikasi
kemungkinan gawat janin:
1. Bradikardi.
Denyut jantung janin kurang dari 120 denyut per menit.
2.Takikardi.
Akselerasi denyut
jantung janin yang memanjang (>160) dapat dihubungkan dengan demam pada ibu
yang sekunder terhadap infeksi intrauterine. Prematuritas atropine juga
dihubungkan dengan denyut jantung janin yang meningkat.
3.Variabilitas denyut jantung dasar yang menurun.
Yang berarti depresi
system saraf otonom janin oleh medikasi ibu (atropine , skopolamin, diazepam,
fenobarbital, magnesium dan analgesic narkotik).
4.Pola deselerasi.
Deselerasi lanjut
menunjukkan hipoksia janin yang disebabkan oleh insufisiensi uteriplasenter.
Deselerasi yang bervariasi tidak berhubungan dengan kontraksi uterus adalah
lebih sering dan muncul untuk menunjukkan kompresi sementara waktu saja dari
pembuluh darah umbilicus. Peringatan tentang peningkatan hipoksia janin adalah
deselerasi lanjut, penurunan atau tiadanya variabilitas, bradikardia yang
menetap dan pola gelombang sinus.
b.
Air Ketuban Hijau Dan Kental (mekonium)
Mekonium
akan keluar dari usus pada keadaan stres hipoksia, telah terbukti bahwa pasase
mekonium disebabkan karena rangsangan saraf dari saluran pencernaan yang sudah
matur. Pada saat janin aterm, saluran pencernaan menjadi matur, terjadi
stimulasi vagal dari kepala atau kompresi tali pusat yang akan menyebabkan
timbulnya peristaltik dan relaksasi dari spinkter ani yang menyebabkan
keluarnya mekonium. Walaupun etiologinya belum dipahami dengan baik, namun efek
dari mekonium telah diketahui (Manuaba, 2008)
Pasase
mekonium pada janin yang matur difasilitasi oleh myelinisasi serabut saraf, peningkatan tonus
parasimpatis dan bertambahnya konsentrasi motilin (suatu peptida yang
merangsang kontraksi usus). Ditemukan adanya hubungan antara kejadian gawat
jain dengan peningkatan kadar motilin (Manuaba, 2008)
Mekonium
secara langsung merubah air ketuban, menekan efek antibakteri dan selanjutnya
meningkatkan risiko infeksi perinatal, juga dapat mengiritasi kulit janin
sehingga meningkatkan kejadian erythema toksikum. Namun komplikasi yang paling
berbahaya dari keluarnya mekonium in utero adalah aspirasi air ketuban yang
mengandung mekonium sebelum, selama dan sesudah persalinan (Manuaba, 2008)
Mekonium
menyebabkan inflamasi dan obstruksi jalan nafas. Mekonium yang teraspirasi ke
jalan nafas akan menimbulkan fenomena katup bola dimana udara yang melewati
mekonium pada saat inspirasi akan terperangkap di bagian distal pada saat
ekspirasi, menyebabkan peningkatan resistensi ekspirasi paru, kapasitas residu
fungsional dan diameter anteroposterior rongga dada (Manuaba, 2008)
Ramin
dan rekan (2006) berhipotesis bahwa patofisiologi
sindrom aspirasi mekonium melibatkan, tetapi tidak terbatas pada: hiperkarbia
janin-yang merangsang respirasi janin sehingga terjadi aspirasi mekonium ke
dalam alveolus, dan kerusakan parenkim paru akibat asidemia yang memicu
kerusakan sel alveolus. Dalam skenario patofisiologi ini, mekonium dalam cairan
amnion lebih merupakan suatu bahaya potensial yang terdapat di lingkungan janin
daripada menjadi penanda sudah terjadinya suatu gangguan. Rangkaian proses
patofisiologi yang dihipotesiskan ini tidak bersifat menyeluruh, karena tidak
memperhitungkan sekitar separuh kasus sindrom aspirasi mekonium dengan janin
yang tidak mengalami asidemia saat lahir (Manuaba, 2008)
Disimpulkan
bahwa tingginya insiden ditemukannya mekonium dalam cairan amnion selama
persalinan sering mencerminkan pengeluaran isi saluran cerna janin yang
merupakan proses fisiologis normal. Namun, mekonium ini dapat menjadi suatu
bahaya potensial lingkungan apabila disertai asidemia janin. Yang penting,
asidemia janin tersebut terjadi secara akut sehingga aspirasi mekonium tidak
dapat diperkirakan dan besar kemungkinannya tidak dapat dicegah (Ramin dan rekan, 2006)
c.
Pemeriksaan pH darah janin
Contoh
darah janin memberikan informasi yang objektif tentang status asam basa janin.
Pemantauan janin secara elektronik dapat menjadi begitu sensitive terhadap
perubahan-perubahan dalam denyut jantung janin dimana gawat janin dapat diduga
bahkan bila janin itu dalam keadaan sehat dan hanya memberi reaksi terhadap
stress dari kontraksi uterus selama persalinan. Oleh karena itu, pengukuran pH
kapiler janin dikombinasikan dengan pemantauan denyut jantung janin memberikan
informasi kesehatan janin yang dapat dipercaya dibandingkan jika hanya melakukan
pemantauan denyut jantung janin saja (Ranin, 2006)
Pengambilan
contoh darah janin diindikasikan bilamana pola denyut jantung janin abnormal
atau kacau. Jika pH kulit kepala yang lebih besar dari 7,25, hal ini menandakan
pH normal. Sedangkan pH kulit kepala yang kurang dari 7,20 menandakan
hipoksia janin dengan asidosis. Jika hal ini terdeteksi maka persiapan
kelahiran segera dilakukan. Sksiosesaria dianjurkan, kecuali jika kelahiran
pervaginam sudah dekat. (Ranin, 2006)
0 komentar:
Post a Comment