BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak
asasi manusia untuk hidup sehat yang dicanangkan oleh masyarakat internasional
sudah tumbuh menjadi tekad bangsa-bangsa di dunia untuk
meyelengarakan kehidupan manusia yang sejahtera, oleh karena itu istilah kesehatan harus diartikan “ Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan,
jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup proaktif
secara sosial dan ekonomi (Depkes
RI, 2011 ).
Sumber
utama dari pernyataan baru tentang kesehatan dalam arti kesejahteraan itu
berakar dari piagam atlantik 1942, piagam PBB 1945, dan deklarasi hak azasi sedunia 1948. Muatan nilai norma hak asasi manusia tertuang
dalam pasal 22, 25 dan 29 yang pada pokoknya” the right to healt care” dan “social
welfare” merupakan azas dari negara yang menyelenggarakan “ the general welfare in a democratic society”.
Ketiga sumber nilai hukum ini ditindak lanjuti melalui
deklarasi Helsinki 1964, deklarasi Libson 1981 dan beberapa kesepakatan
internasional lainya yaitu pelayanan kesehatan yang berunsur hak azasi manusia dan kesejahteraan, hak azasi manusia itupun menjadi dasar utama
pengadaan informed consent, dalam rangka pelayanan kesehatan untuk kemanusiaan (Depkes RI, 2011 ).
Menurut data WHO (World Health
Organization) tahun 2010, lebih dari 195.000 orang Amerika meninggal karena malpraktik atau kesalahan dokter dari 37 juta catatan pasien setiap
tahunnya. Di Indonesia tahun 2012, menurut Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan telah menerima 373 kasus kesehatan dari seluruh
Indonesia, 90 kasus diantaranya malpraktek. Berdasarkan data yang dimiliki LBH
Kesehatan sampai dengan empat tahun terakhir jumlah kasus yang LBH Kesehatan
tangani rata-rata meningkat sekitar 80 persen. Ini baru kasus yang terdokumentasi sedangkan
tahun 2012 untuk Provinsi Aceh tercatat ada 3 kasus dugan malpraktek
(Tempointeraktif, 2013).
Tuntutan
hak asasi manusia dibidang kesehatan mengubah kedudukan pasien (patient rights) yang semula bersifat
asimetris karena kecendrungan professional yang mengutamakan efisiensi
professional, pasien dianggap orang sakit tanpa diperhitungkan dalam arti
dilupakan kedudukannya sebagai manusia yang mempunyai
hak asasi kesehatannya sementara menurut pandangan paternalistik, hubungan
antara dokter dengan pasien, dimana dokter berperan sebagai orang tua dari
pasien dan keluarga, segala informasi, keputusan, dan tindakan medis terhadap
pasien sepenuhnya ditangan dokter.
Hal
ini berkaitan juga kecendrungan penyalahgunaan profesi kesehatan yang didorong
oleh kepentingan sumber mencari nafkah melalui ilmu pengetahuan kesehatan yang
cendrung mengorbankan nilai-nilai etika menyimpang dari dalil hipokrates bahwa ilmu kedokteran adalah
ilmu yang mulia, yang seharusnya kelompok professional altrustik untuk mementingkan kesejahteraan orang lain ditas
kepentingannya sendiri.
Pelaksanaan
informed concent wajib hukumnya bagi
dokter dan perawat, jika kewajiban informed
concent ini diabaikan akan dapat merugikan salah satu pihak, baik dokter
maupun pasien,apabila pasien tidak senang dengan informasi yang diterima
tentang barbagai aspek penyakit mereka atau dokter menganggap informed concent merupakan suatu tugas
yang dianggap sukar untuk dikerjakan maka akan mengakibatkan terjadinya
tuntutan hukum, terhadap dokter selaku penyelenggara pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2011 ).
Informasi informed consent merupakan keharusan
sebelum memberikan tindakan namun saat ini sering dijumpai dalam intansi
kesehatan, informed consent tidak
selalu diberikan dalam setiap tindakan medis, hanya untuk tindakan yang
memiliki resiko tinggi yang informed
consent dibuat. Untuk tindakan sederhana kebiasaan tidak dibuat informed
consent.
Meningkatnya
masalah tuntutan hukum terhadap petugas kesehatan, salah satunya disebabkan oleh belum terpenuhinya
hak pasien, antara lain hak atas informasi dan hak atas persetujuan yang lebih
dikenal dengan informed consent. Hal ini terjadi seiring dengan meningkatnya
kesadaran masyarakat mengenai hak-haknya dalam pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2010).
Berdasarkan hasil
penelitian yang dilaksanakan oleh Radnasari pada tahun 2011 di RSU Sunan
Kalijaga Demak didapat hasil angket dan observasi,
dimana pengetahuan perawat tentang perannya sebagai sumber informasi dalam Informed Consent dapat dikategorikan cukup
baik 8,7 % dan baik 90,3% tetapi dalam pelaksanaan peran sebagai sumber
informasi di Informed Consent
termasuk ke dalam kategori tidak baik 4,3%, kurang baik 60,8% dan cukup baik
30,9 %. Pengetahuan perawat tentang peran sebagai advokator pasien dapat
dikategorikan kurang baik 13 %, cukup baik 30,4 %, dan baik 56,6 % sedangkan pelaksanaan
peran perawat sebagai advokat pasien dapat dikategorikan tidak baik 39,1%,
kurang baik 47,8 % dan cukup baik 13,1 %.
0 komentar:
Post a Comment