Monday, 8 July 2013

Gambaran Pengetahuan Bidan Tentang Informed Consent Di Puskesmas



BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Hak asasi manusia untuk hidup sehat yang dicanangkan oleh masyarakat internasional sudah tumbuh menjadi tekad bangsa-bangsa di dunia untuk meyelengarakan kehidupan manusia yang sejahtera, oleh karena itu istilah kesehatan harus diartikan “ Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup proaktif secara sosial dan ekonomi (Depkes RI, 2011 ).
Sumber utama dari pernyataan baru tentang kesehatan dalam arti kesejahteraan itu berakar dari piagam atlantik 1942, piagam PBB 1945, dan deklarasi hak azasi sedunia 1948. Muatan nilai norma hak asasi manusia tertuang dalam pasal 22, 25 dan 29 yang pada pokoknya” the right to healt care” dan “social welfare” merupakan azas dari negara yang menyelenggarakan “ the general welfare in a democratic society”. Ketiga sumber nilai hukum ini ditindak lanjuti melalui deklarasi Helsinki 1964, deklarasi Libson 1981 dan beberapa kesepakatan internasional lainya yaitu pelayanan kesehatan yang berunsur hak azasi manusia dan kesejahteraan, hak azasi manusia itupun menjadi dasar utama pengadaan informed consent, dalam rangka pelayanan kesehatan untuk kemanusiaan (Depkes RI, 2011 ).
Menurut data WHO (World Health Organization) tahun 2010, lebih dari 195.000 orang Amerika meninggal karena malpraktik atau kesalahan dokter dari 37 juta catatan pasien setiap tahunnya. Di Indonesia tahun 2012, menurut Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan telah menerima 373 kasus kesehatan dari seluruh Indonesia, 90 kasus diantaranya malpraktek. Berdasarkan data yang dimiliki LBH Kesehatan sampai dengan empat tahun terakhir jumlah kasus yang LBH Kesehatan tangani rata-rata meningkat sekitar 80 persen. Ini baru kasus yang terdokumentasi sedangkan tahun 2012 untuk Provinsi Aceh tercatat ada 3 kasus dugan malpraktek (Tempointeraktif, 2013).
Tuntutan hak asasi manusia dibidang kesehatan mengubah kedudukan pasien (patient rights) yang semula bersifat asimetris karena kecendrungan professional yang mengutamakan efisiensi professional, pasien dianggap orang sakit tanpa diperhitungkan dalam arti dilupakan kedudukannya sebagai manusia yang mempunyai hak asasi kesehatannya sementara menurut pandangan paternalistik, hubungan antara dokter dengan pasien, dimana dokter berperan sebagai orang tua dari pasien dan keluarga, segala informasi, keputusan, dan tindakan medis terhadap pasien sepenuhnya ditangan dokter.
Hal ini berkaitan juga kecendrungan penyalahgunaan profesi kesehatan yang didorong oleh kepentingan sumber mencari nafkah melalui ilmu pengetahuan kesehatan yang cendrung mengorbankan nilai-nilai etika menyimpang dari dalil hipokrates bahwa ilmu kedokteran adalah ilmu yang mulia, yang seharusnya kelompok professional altrustik untuk mementingkan kesejahteraan orang lain ditas kepentingannya sendiri. 
Pelaksanaan  informed concent wajib hukumnya bagi dokter dan perawat, jika kewajiban informed concent ini diabaikan akan dapat merugikan salah satu pihak, baik dokter maupun pasien,apabila pasien tidak senang dengan informasi yang diterima tentang barbagai aspek penyakit mereka atau dokter menganggap informed concent merupakan suatu tugas yang dianggap sukar untuk dikerjakan maka akan mengakibatkan terjadinya tuntutan hukum, terhadap dokter selaku penyelenggara pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2011 ).
Informasi informed consent merupakan keharusan sebelum memberikan tindakan namun saat ini sering dijumpai dalam intansi kesehatan, informed consent tidak selalu diberikan dalam setiap tindakan medis, hanya untuk tindakan yang memiliki resiko tinggi yang informed consent dibuat. Untuk tindakan sederhana kebiasaan tidak dibuat informed consent.
Meningkatnya masalah tuntutan hukum terhadap petugas kesehatan, salah satunya disebabkan oleh belum terpenuhinya hak pasien, antara lain hak atas informasi dan hak atas persetujuan yang lebih dikenal dengan informed consent. Hal ini terjadi seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat mengenai hak-haknya dalam pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2010).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Radnasari pada tahun 2011 di RSU Sunan Kalijaga Demak didapat hasil angket dan observasi, dimana pengetahuan perawat tentang perannya sebagai sumber informasi dalam Informed Consent dapat dikategorikan cukup baik 8,7 % dan baik 90,3% tetapi dalam pelaksanaan peran sebagai sumber informasi di Informed Consent termasuk ke dalam kategori tidak baik 4,3%, kurang baik 60,8% dan cukup baik 30,9 %. Pengetahuan perawat tentang peran sebagai advokator pasien dapat dikategorikan kurang baik 13 %, cukup baik 30,4 %, dan baik 56,6 % sedangkan pelaksanaan peran perawat sebagai advokat pasien dapat dikategorikan tidak baik 39,1%, kurang baik 47,8 % dan cukup baik 13,1 %.

0 komentar:

Post a Comment