BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan nasional pada
hakikatnya bertujuan untuk menumbuhkan sikap dan tekat kemandirian manusia dan
masyarakat Indonesia dalam rangka meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut bangsa
Indonesia telah melakukan berbagai upaya yang salah satunya adalah upaya dalam
pembangunan kesehatan. Upaya dalam pembangunan Kesehatan bertujuan agar
tercapai kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk dan terwujudnya derajat
kesehatan masyarakat yang optimal. Salah satu sasaran pembangunan kesehatan
adalah mewujudkan generasi muda atau remaja yang sehat. Remaja yang sehat
adalah remaja yang produktif dan mampu berperan serta secara aktif, salah satu
upaya dalam mewujudkan hal tersebut adalah dengan meningkatkan kualitas non
fisik yang meliputi segi intelektual, emosional dan psikososial pada kesehatan
remaja, khususnya dalam segala hal yang
yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi. (Depkes Jakarta, 2010)
Setiap
wanita pastilah memiliki cita-cita untuk menikah, mengandung, melahirkan, dan
menjadi seorang ibu, kelak. Pada mulanya, hati terasan senang dan bahagia
ketika mengetahui bahwa diri kita telah mengandung seorang bayi, apa lagi bayi
pertama yang di nanti-nantikan. Setelah 9 bulan mengandung sang bayi tersebut,
dan melahirkannya, beberapa wanita malahan cenderung bingung dengan apa yang
akan di lakukannya terhadap bayi tersebut. Bayi pada umumnya menangis jika
menginginkan sesuatu, namun sang ibu malahan bingung, di
susui tidak mau, di gendong pun tetap menangis. Lama-kelamaan terjadilah yang
di namakan atau sering di sebut-sebut sebagai sindroma baby blues, di mana sang
ibu merasa tidak menginginkan bayinya tersebut (Suherni dkk, 2009).
Pada kasus wanita yang memiliki
dukungan sosial yang cukup baik dari orang-orang terdekatnya seperti suami atau
keluarga, maka sindrom ini dapat menghilang dalam kurun waktu kurang lebih dua
minggu. Namun, jika seorang wanita yang sudah mengalami sindrom ini tidak
diberikan dukungan sosial yang cukup dari orang-orang terdekatnya, maka tahap
ini akan terus berlanjut menjadi depresi bahkan dapat mencapai tahapan
psikotik, yaitu membunuh bayinya tanpa sadar. Maka dari itu, diharapkan suami
dan keluarga terdekat dari wanita yang baru saja melahirkan harus memberikan
cukup dukungan dan bantuan yang diperlukan bagi wanita tersebut sehingga
sindroma baby blues ini tidak perlu terjadi (Sylvia,
2006)
Wanita pada pasca persalinan perlu
melakukan penyesuaian diri dalam melakukan aktivitas dan peran barunya sebagai
seorang ibu di minggu-minggu pertama atau bulan-bulan pertama setelah
melahirkan. wanita yang telah berhasil melakukan penyesuaian diri dengan
baik dapat melewati gangguan psikologis ini, tetapi sebagian lain yang
tidak berhasil melakukan penyesuaian diri ini akan mengalami gangguan-gangguan psikologis,
inilah yang dinamakan syndrome baby blues (Mansur, 2009).
Prevalensi
kejadian baby blues syndrome dari berbagai penelitian berbeda di tiap negara, berkisar antara 10-34 % dari seluruh persalinan. Penelitian di negara barat menunjukkan kejadian lebih tinggi dibandingkan dengan yang
pernah dilaporkan dari asia, pada penelitia yang dilakukan terhadap 154 wanita
pasca persalinan di Malaysia pada tahun 2009 dilaporkan angka kejadian 3,9% terbanyak dari ras India (8,9%), Melayu
(3,0%), dan tidak adanya kasus pada ras Cina. Penelitian di Singapura
dilaporkan angka kejadiannya sebesar 1%. Sedangkan penelitian yang dilakukan
oleh Jofesson dkk pada tahun 2010 didapatkan
angka baby blues syndrome sekitar 10%-20% (Jofesson A, 2010)
Ibu baru yang tidak
mampu mengurus bayinya mengalami tanda-tanda syndrome baby blues
seperti; sulit berkonsentrasi, kesepian dan perasaan sedih yang mendominasi.
Berdasarkan analisa 43 studi yang melibatkan lebih dari 28.000 responden,
diketahui angka kejadian baby blues di Amerika Serikat pada ibu
baru mencapai 14,1 % lebih tinggi dibandingkan dari negara Eropa, Australia,
Amerika Selatan dan China (Themzee, 2010).
Wanita pada masa postpartum
dianggap kebal terhadap syndrome baby blues. Menurut hasil penelitian
yan dilakukan di Indonesia yaitu di Jakarta yang dilakukan oleh
dr. Irawati Sp.Kj, 25% dari 580 ibu yang menjadi respodennya mengalami sindroma
ini. Dan dari beberapa penelitian yang telah dilakukan di Jakarta,
Yogyakarta, dan Surabaya, ditemukan bahwa angka kejadian syndrome baby blues
terdapat 11-30% ini merupakan jumlah yang tidak sedikit dan tidak mungkin
dibiarkan begitu saja (Pangesti, 2010).
Ibu nifas yang mengalami postpartum
blues atau syndrome baby blues terjadi Rumah Sakit Umum
Daerah Koja Jakarta Utara. Rumah Sakit ini merupakan salah satu tempat
pelayanan kesehatan bagi ibu nifas. Menurut hasil penelitian yang
dilakukan oleh peneliti pada 130 orang ibu nifas pada bulan April-Mei 2010, ibu yang
mengalami gangguan psikologis ringan atau postpartum syndrome baby
blues 30% diantaranya positif mengalami syndrome baby blues ini
(Oryzae, 2011).
Syndrome baby blues
termasuk dalam kategori depresi postpartum ekstrem yang paling ringan,
karena pada keadaan ini ibu mengalami kesedihan sementara yang berlangsung
cepat pada awal postpartum. Depresi postpartum ditemukan pertama kali
oleh Pitt pada tahun 1988. Menurut Pitt tingkat keparahan depresi postpartum
sangat bervariasi. Ekstrem yang paling ringan disebut dengan the
blues atau maternity blues. Gangguan postpartum yang paling berat
disebut psikosis postpartum atau melankolia (Sujiyanti, 2010).
0 komentar:
Post a Comment