Saturday, 29 June 2013
kenakalan remaja
20:31
No comments
2.3.1. Pengertian kenakalan
remaja
Kenakalan remaja meliputi
semua perilaku yang menyimpang dari norma-norma hukum pidana yang dilakukan
oleh remaja. Perilaku tersebut akan merugikan dirinya sendiri dan orang-orang
di sekitarnya. Para ahli pendidikan sependapat bahwa remaja adalah
mereka yang berusia 13-18 tahun. Pada usia tersebut, seseorang sudah melampaui
masa kanak-kanak, namun masih belum cukup matang untuk dapat dikatakan dewasa.
Ia berada pada masa transis.
Kenakalan remaja adalah pelampiasan masalah yang dihadapi oleh
kalangan remaja yang tindakannya menyimpang. Menurut ahli sosiologi Kartono,
istilah kenakalan remaja adalah Juvenile delinquency. Istilah ini merupakan
gejala patolosis sosial pada remaja, yang disebabkan oleh suatu bentuk
pengabaian social. (Romdoni, 2011)
Kenakalan remaja adalah pelampiasan masalah yang dihadapi oleh
kalangan remaja yang tindakannya menyimpang. Kenakalan Remaja atau dalam bahasa
Inggris dikenal dengan istilah juvenile delinquency merupakan gejala patologis
sosial pada remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial.
Akibatnya, mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang (Kartono, 2007)
2.3.2. Penyebab
terjadinya kenakalan remaja
Perilaku
‘nakal’ remaja bisa disebabkan oleh faktor dari remaja itu sendiri (internal) maupun faktor dari luar
(eksternal).
Faktor
internal:
1. Krisis identitas: Perubahan
biologis dan sosiologis pada diri remaja memungkinkan terjadinya dua bentuk
integrasi. Pertama, terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam
kehidupannya. Kedua, tercapainya identitas peran. Kenakalan ramaja
terjadi karena remaja gagal mencapai masa integrasi kedua.
2. Kontrol diri yang
lemah: Remaja yang tidak bisa mempelajari
dan membedakan tingkah laku yang dapat diterima dengan yang tidak dapat
diterima akan terseret pada perilaku ‘nakal’. Begitupun bagi mereka yang telah
mengetahui perbedaan dua tingkah laku tersebut, namun tidak bisa mengembangkan
kontrol diri untuk bertingkah laku sesuai dengan pengetahuannya.
Faktor
eksternal:
1. Keluarga dan Perceraian
orangtua, tidak adanya komunikasi antar anggota keluarga, atau perselisihan
antar anggota keluarga bisa memicu perilaku negatif pada remaja. Pendidikan
yang salah di keluarga pun, seperti terlalu memanjakan anak, tidak memberikan
pendidikan agama, atau penolakan terhadap eksistensi anak, bisa menjadi
penyebab terjadinya kenakalan remaja.
2. Teman sebaya yang kurang
baik
3. Komunitas/lingkungan
tempat tinggal yang kurang baik.
2.3.3. Jenis-Jenis kenakalan remaja
a. Membolos
sekolah
b. Kebut-kebutan di jalanan
c. Penyalahgunaan narkotika
d. Perilaku seksual pranikah
e. Perkelahian
antar pelajar
Friday, 21 June 2013
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.S DENGAN COMPOSIO DI RUANG BEDAH RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN
07:05
No comments
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kulit
adalah organ kompleks yang memberikan pertahanan tubuh pertama
terhadapkemungkinan lingkungan yang merugikan. Kulit melindungi tubuh terhadap
infeksi, mencegahkehilangan cairan tubuh, membantu mengontrol suhu tubuh,
berfungsi sebagai organ eksretoridan sensori, membantu dalam proses aktivasi
vitamin D, dan mempengaruhi citra tubuh. Lukabakar adalah hal yang umum, namun
merupakan bentuk cedera kulit yang sebagian besar dapatdicegah (Swearingen, 2000 )
Luka bakar merupakan jenis
luka,
kerusakan jaringan atau kehilangan jaringan yang diakibatkan sumber panas
ataupun suhu dingin yang tinggi, sumber listrik,
bahan kimiawi, cahaya,
radiasi
dan friksi.
Jenis luka dapat beraneka ragam dan memiliki penanganan yang berbeda tergantung
jenis jaringan yang terkena luka bakar, tingkat keparahan, dan komplikasi yang
terjadi akibat luka tersebut. Luka bakar dapat merusak jaringan otot,
tulang,
pembuluh darah
dan jaringan epidermal
yang mengakibatkan kerusakan yang berada di tempat yang lebih dalam dari akhir
sistem persarafan. Seorang korban luka bakar dapat mengalami berbagai macam
komplikasi yang fatal termasuk diantaranya kondisi shock, infeksi,
ketidak seimbangan elektrolit (inbalance elektrolit) dan masalah
distress pernapasan. Selain komplikasi yang berbentuk fisik, luka bakar dapat
juga menyebabkan distress emosional (trauma) dan psikologis
yang berat dikarenakan cacat akibat luka bakar dan bekas luka (scar) (DepKes, 2006)
Luka bakar merupakan cedera yang
cukup sering dihadapi oleh dokter, jenis yang berat memperlihatkan morbiditas
dan derajat cacat yang relatif tinggi dibandingkan dengan cederaoleh sebab lain
.Biaya yang dibutuhkan juga cukup mahal untuk penanganannnya. Penyebab
lukabakar selain karena api ( secara langsung ataupun tidak langsung ), juga
karena pajanan suhutinggi dari matahari, listrik maupun bahan kimia. Luka bakar
karena api atau akibat tidak langsung dari api ( misalnya tersiram panas )
banyak terjadi pada kecelakaan rumah tangga.(Sjamsuhidajat, 2005 )
Prinsip- prinsip dasar resusitasi pada trauma dan penerapannyapada
saat yang tepat diharapkan akan dapat menurunkan sekecil mungkin angka- angka
tersebutdiatas. Prinsip- prinsip dasar tersebut meliputi kewaspadaan akan terjadinya
gangguan jalannafas pada penderita yang mengalami trauma inhalasi,
mempertahankan hemodinamik dalambatas normal dengan resusitasi cairan,
mengetahui dan mengobati penyulit- penyulit yangmungkin terjadi akibat trauma
listrik, misalnya rabdomiolisis dan disritmia jantung.Mengendalikan suhu tubuh
dan menjuhkan / mengeluarkan penderita dari lingkungan traumapanas juga
merupakan prinsip utama dari penanganan trauma termal.( American College
of Surgeon Committee on Trauma, 1997)
Prevalensi luka bakar di AS = 2,5
juta / tahun. 12 000 orang meninggal krn luka bakar dan cedera inhalasi akibat
luka bakar. Populasi yang beresiko terhadap luka bakar: Anak-anak dan usia
lanjut. Remaja laki-laki dan pria usia kerja. Kejadian luka bakar
sering didapat di rumah. Kegiatan yang memberikan resiko luka bakar: Memasak, Memanaskan atau menggunakan
alat-alat listrik, Kecelakaan industri. 75 % kejadian
luka bakar di AS merupakan akibat perbuatan sendiri: Tersiram air mendidih
pada anak-anak yang baru belajar jalan. Bermain korek api pada
anak usia sekolah. Cedera karena arus listrik pada remaja laki-laki. Prediksi
Keberhasilan hidupPenggunaan obat bius, alkohol serta sigaret pda orang dewasa (Tempointeraktif.com)
Menurut World Fire Statistics Centre (2008) pada tahun 2003 hingga 2005 tercatat negara yang
memiliki prevalensi terjadinya luka bakar terendah adalah Singapura sebesar
0,12% per 100.000 orang dan yang tertinggi adalah Hongaria sebesar 1,98
Di Indonesia angka
kejadian luka bakar cukup tinggi, lebih dari 250 jiwa per tahun meninggal akibat
luka bakar. Dikarenakan jumlah anak-anak danlansia cukup tinggi
diIndonesia serta ketidak berdayaan anak-anak danlansia untuk menghindari terjadinya kebakaran, maka usia anak-anak
danlansia menyumbang angka kematian tertinggi akibat luka bakar yang terjadidi Indonesia. Pasien mengalami luka bakar diakibatkan terkena air panasdibagianbokong
luas luka bakar > 15% sehingga Luka bakar yang pasien alami
adalah luka bakar grade II yang
artinya kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis, beupa reaksi inflamasi disertai
proses edukasi, nyeri karena ujung-ujung syaraf
teriritasi. Luka bakar pada
pasien ini termasuk dalam Derajat II dangkal (superfisial) yaitu
kerusakan mengenai bagian superfisial dari dermis, Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea masih utuh, penyembuhan terjadi spontan dalam waktu 10-14 hari
Menurut Riset
Kesehatan Dasar Depkes RI (2007) prevalensi kejadian luka bakar di Indonesia
adalah sebesar 2,2%. Prevalensi tertinggi terdapat di provinsi Nangroe Aceh
Darussalam dan Kepulauan Riau sebesar 3,8%.
Sunday, 16 June 2013
Hubungan Kejadian Baby Blues Syndrom Pada Ibu Post Partum Terhadap Usia Pernikahan Di Bidan Praktek Swasta (BPS)
09:57
No comments
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan nasional pada
hakikatnya bertujuan untuk menumbuhkan sikap dan tekat kemandirian manusia dan
masyarakat Indonesia dalam rangka meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut bangsa
Indonesia telah melakukan berbagai upaya yang salah satunya adalah upaya dalam
pembangunan kesehatan. Upaya dalam pembangunan Kesehatan bertujuan agar
tercapai kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk dan terwujudnya derajat
kesehatan masyarakat yang optimal. Salah satu sasaran pembangunan kesehatan
adalah mewujudkan generasi muda atau remaja yang sehat. Remaja yang sehat
adalah remaja yang produktif dan mampu berperan serta secara aktif, salah satu
upaya dalam mewujudkan hal tersebut adalah dengan meningkatkan kualitas non
fisik yang meliputi segi intelektual, emosional dan psikososial pada kesehatan
remaja, khususnya dalam segala hal yang
yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi. (Depkes Jakarta, 2010)
Setiap
wanita pastilah memiliki cita-cita untuk menikah, mengandung, melahirkan, dan
menjadi seorang ibu, kelak. Pada mulanya, hati terasan senang dan bahagia
ketika mengetahui bahwa diri kita telah mengandung seorang bayi, apa lagi bayi
pertama yang di nanti-nantikan. Setelah 9 bulan mengandung sang bayi tersebut,
dan melahirkannya, beberapa wanita malahan cenderung bingung dengan apa yang
akan di lakukannya terhadap bayi tersebut. Bayi pada umumnya menangis jika
menginginkan sesuatu, namun sang ibu malahan bingung, di
susui tidak mau, di gendong pun tetap menangis. Lama-kelamaan terjadilah yang
di namakan atau sering di sebut-sebut sebagai sindroma baby blues, di mana sang
ibu merasa tidak menginginkan bayinya tersebut (Suherni dkk, 2009).
Pada kasus wanita yang memiliki
dukungan sosial yang cukup baik dari orang-orang terdekatnya seperti suami atau
keluarga, maka sindrom ini dapat menghilang dalam kurun waktu kurang lebih dua
minggu. Namun, jika seorang wanita yang sudah mengalami sindrom ini tidak
diberikan dukungan sosial yang cukup dari orang-orang terdekatnya, maka tahap
ini akan terus berlanjut menjadi depresi bahkan dapat mencapai tahapan
psikotik, yaitu membunuh bayinya tanpa sadar. Maka dari itu, diharapkan suami
dan keluarga terdekat dari wanita yang baru saja melahirkan harus memberikan
cukup dukungan dan bantuan yang diperlukan bagi wanita tersebut sehingga
sindroma baby blues ini tidak perlu terjadi (Sylvia,
2006)
Wanita pada pasca persalinan perlu
melakukan penyesuaian diri dalam melakukan aktivitas dan peran barunya sebagai
seorang ibu di minggu-minggu pertama atau bulan-bulan pertama setelah
melahirkan. wanita yang telah berhasil melakukan penyesuaian diri dengan
baik dapat melewati gangguan psikologis ini, tetapi sebagian lain yang
tidak berhasil melakukan penyesuaian diri ini akan mengalami gangguan-gangguan psikologis,
inilah yang dinamakan syndrome baby blues (Mansur, 2009).
Prevalensi
kejadian baby blues syndrome dari berbagai penelitian berbeda di tiap negara, berkisar antara 10-34 % dari seluruh persalinan. Penelitian di negara barat menunjukkan kejadian lebih tinggi dibandingkan dengan yang
pernah dilaporkan dari asia, pada penelitia yang dilakukan terhadap 154 wanita
pasca persalinan di Malaysia pada tahun 2009 dilaporkan angka kejadian 3,9% terbanyak dari ras India (8,9%), Melayu
(3,0%), dan tidak adanya kasus pada ras Cina. Penelitian di Singapura
dilaporkan angka kejadiannya sebesar 1%. Sedangkan penelitian yang dilakukan
oleh Jofesson dkk pada tahun 2010 didapatkan
angka baby blues syndrome sekitar 10%-20% (Jofesson A, 2010)
Ibu baru yang tidak
mampu mengurus bayinya mengalami tanda-tanda syndrome baby blues
seperti; sulit berkonsentrasi, kesepian dan perasaan sedih yang mendominasi.
Berdasarkan analisa 43 studi yang melibatkan lebih dari 28.000 responden,
diketahui angka kejadian baby blues di Amerika Serikat pada ibu
baru mencapai 14,1 % lebih tinggi dibandingkan dari negara Eropa, Australia,
Amerika Selatan dan China (Themzee, 2010).
Wanita pada masa postpartum
dianggap kebal terhadap syndrome baby blues. Menurut hasil penelitian
yan dilakukan di Indonesia yaitu di Jakarta yang dilakukan oleh
dr. Irawati Sp.Kj, 25% dari 580 ibu yang menjadi respodennya mengalami sindroma
ini. Dan dari beberapa penelitian yang telah dilakukan di Jakarta,
Yogyakarta, dan Surabaya, ditemukan bahwa angka kejadian syndrome baby blues
terdapat 11-30% ini merupakan jumlah yang tidak sedikit dan tidak mungkin
dibiarkan begitu saja (Pangesti, 2010).
Ibu nifas yang mengalami postpartum
blues atau syndrome baby blues terjadi Rumah Sakit Umum
Daerah Koja Jakarta Utara. Rumah Sakit ini merupakan salah satu tempat
pelayanan kesehatan bagi ibu nifas. Menurut hasil penelitian yang
dilakukan oleh peneliti pada 130 orang ibu nifas pada bulan April-Mei 2010, ibu yang
mengalami gangguan psikologis ringan atau postpartum syndrome baby
blues 30% diantaranya positif mengalami syndrome baby blues ini
(Oryzae, 2011).
Syndrome baby blues
termasuk dalam kategori depresi postpartum ekstrem yang paling ringan,
karena pada keadaan ini ibu mengalami kesedihan sementara yang berlangsung
cepat pada awal postpartum. Depresi postpartum ditemukan pertama kali
oleh Pitt pada tahun 1988. Menurut Pitt tingkat keparahan depresi postpartum
sangat bervariasi. Ekstrem yang paling ringan disebut dengan the
blues atau maternity blues. Gangguan postpartum yang paling berat
disebut psikosis postpartum atau melankolia (Sujiyanti, 2010).
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Orang Tua Menikahkan Anaknya Pada Usia Dini Di Desa
09:06
No comments
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1/1974)
Kehidupan perkawinan adalah kehidupan dari pasangan pria dan wanita
yang disahkan secara hukum dan agama dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia. Untuk menjadi pasangan yang bahagia, suami-istri harus saling mengenal
dan menerima pasangannya, saling mencintai, saling memiliki komitmen terhadap
pasangannya, tetap bersama dalam senang dan susah, saling membantu dan
mendukung, memiliki komunikasi yang lancar dan terbuka, serta menerima keluarga
pasangannya sebagaikeluargannya sendiri (Feldman, 2002).
Masa dewasa muda adalah masa bagi kehidupan seseorang yang berusia
antara 20 – 40 tahun. Pada masa ini, keadaan fisik berada pada kondisi puncak
dan kemudian menurun secara perlahan. Dalam sisi perkembangan psikososial,
terjadi proses pemantapan kepribadian dan gaya hidup serta merupakan saat
membuat keputusan tentang hubungan yang intim. Pada saat ini, kebanyakan orang
menikah dan menjadi orang tua (Feldman, 2010).
Di Indonesia satu dari lima penduduk berada dalam rentan usia
remaja, menurut data profil Kesehatan Indonesia tahun 2012, 21 % populasi penduduk
Indonesia berusia remaja 10 – 19 tahun, dan separuh dari jumlah itu adalah
remaja putri dan banyak dari mereka yang harus mengalami resiko kehamilan
diusia muda, baik yang diinginkan maupun tidak. (Depkes RI, 2012).
Diperkirakan 70.000 orang remaja putri umur antara 15 sampai 19
tahun meninggal setiap tahun karena selama kehamilan dan persalinan. Lebih dari
1.000.000 orang bayi yang dilahirkan oleh remaja putri meninggal sebelum ulang
tahu pertamanya ( sebelum berusia 1 tahun). sedangkan remaja umur 15 – 19 tahun
setiap tahunnya melahirkan sebanyak 15 juta orang, (BKKBN, 2011)
Data survey kesehatan ibu dan anak tahun 2010 menunjukan usia
rata-rata ibu yang hamil untuk pertama kali adalah 18 tahun. 46 % perempuan di
Indonesia hamil dibawah usia 20 tahun, dimana daerah pedesaan memiliki angka
lebih tinggi (51 %) dibandingkan perkotaan (37 %). Perkawinan usia dini
memberikan kontribusi terhadap angka ini terutama didaerah pedesaan. (Depkes
RI, 2010).
Pernikahan dini merupakan fenomena social yang sering
terjadi khususnya di Indonesia. Fenomena pernikahan anak di bawah umur bila
diibaratkan seperti fenomena gunung es, sedikit di permukaan atau terekspos dan
sangat marak di dasar atau di tengah masyarakat luas. Dalih utama yang
digunakan untuk memuluskan jalan melakukan pernikahan dengan anak di bawah umur
adalah mengikuti sunnah Nabi SAW. Namun, dalih seperti ini biasa jadi
bermasalah karena masih terdapat banyak pertentangan di kalangan umat muslim
tentang kesahihan informasi mengenai pernikahan anak di bawah umur yang
dilakukan Nabi SAW dengan Aisyah r.a. Selain itu, peraturan perundang –
undangan yang belaku di Indonesia dengan sangat jelas menentang keberadaan
pernikahan anak di bawah umur. Jadi tidak ada alasan lagi pihak – pihak
tertentu untuk melegalkan tindakan mereka yang berkaitan dengan pernikahan anak
di bawah umur (Jayadiningrat, 2010)
Banyak efek negatif dari pernikahan dini. Pada saat itu pengantinnya belum siap untuk menghadapi tanggung jawab yang harus diemban seperti orang dewasa. Padahal kalau menikah itu kedua belah pihak harus sudah cukup dewasa dan siap untuk menghadapi permasalahan-permasalahan baik itu ekonomi, pasangan, maupun anak. Sementara itu mereka yang menikah dini umumnya belum cukup mampu menyelesaikan permasalahan secara matang. Remaja yang menikah dini baik secara fisik maupun biologis belum cukup matang untuk memiliki anak. Sehingga kemungkinan anak dan ibu meninggal saat melahirkan lebih tinggi (BKKBN, 2007)
Subscribe to:
Posts (Atom)