BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada
abad 21 ini, kita perlu menelaah kembali praktik-praktik pembelajaran di sekolah-sekolah.
Peranan yang harus dimainkan oleh dunia pendidikan dalam mempersiapkan akan
didik untuk berpartisipasi secara utuh dalam kehidupan bermasyarakat di abad 21
akan sangat berbeda dengan peranan tradisional yang selama ini dipegang oleh
sekolah-sekolah.
Ada
persepsi umum yang sudah berakar dalam dunia pendidikan dan juga sudah menjadi
harapan masyarakat. Persepsi umum ini menganggap bahwa sudah merupakan tugas
guru untuk mengajar dan menyodori siswa dengan muatan-muatan informasi dan
pengetahuan. Guru perlu bersikap atau setidaknya dipandang oleh siswa sebagai
yang mahatahu dan sumber informasi. Lebih celaka lagi, siswa belajar dalam
situasi yang membebani dan menakutkan karena dibayangi oleh tuntutan-tuntutan
mengejar nilai-nilai tes dan ujian yang tinggi.
Ada
beberapa alasan penting mengapa sistem pengajaran ini perlu dipakai lebih
sering di sekolah-sekolah. Seiring dengan proses globalisasi, juga terjadi
transformasi sosial, ekonomi, dan demografis yang mengharuskan sekolah untuk
lebih menyiapkan anak didik dengan keterampilan-keterampilan baru untuk bisa
ikut berpartisipasi dalam dunia yang berubah dan berkembang pesat.
Sesungguhnya,
bagi guru-guru di negeri ini metode gotong royong tidak terlampau asing dan
mereka telah sering menggunakannya dan mengenalnya sebagai metode kerja kelompok. Memang tidak
bisa disangkal bahwa banyak guru telah sering menugaskan para siswa untuk
bekerja dalam kelompok.
Sayangnya,
metode kerja kelompok sering dianggap kurang efektif. Berbagai sikap dan kesan
negative memang bermunculan dalam pelaksaan metode kerja kelompok. Jika kerja
kelompok tidak berhasil, siswa cenderung saling menyalahkan. Sebaliknya jika
berhasil, muncul perasaan tidak adil. Siswa yang pandai/rajin merasa rekannya
yang kurang mampu telah membonceng pada hasil kerja mereka. Akibatnya, metode
kerja kelompok yang seharusnya bertujuan mulia, yakni menanamkan rasa
persaudaraan dan kemampuan bekerja sama, justru bisa berakhir dengan
ketidakpuasaan dan kekecewaaan. Bukan hanya guru dan siswa yang merasa pesimis
mengenai penggunaan metode kerja kelompok, bahkan kadang-kadang orang tua pun
merasa was-was jika anak mereka dimasukkan dalam satu kelompok dengan siswa
lain yang dianggap kurang seimbang.
Berbagai
dampak negatif dalam menggunakan metode kerja kelmpok tersebut seharusnya bisa
dihindari jika saja guru mau meluangkan lebih banyak waktu dan perhatian dalam
mempersiapkan dan menyusun metode kerja kelompok. Yang diperkanalkan dalam
metode pembelajaran cooperative learning
bukan sekedar kerja kelompok, melainkan pada penstrukturannya. Jadi, sistem
pengajaran cooperative learning bisa
didefinisikan sebagai kerja/belajar kelompok yang terstruktur. Yang termasuk di
dalam struktur ini adalah lima unsru pokok, yaitu saling ketergantungan
positif, tanggung jawab individual, interaksi personal, keahlian bekerja sama,
dan proses kelompok.
Kekawatiran
bahwa semangat siswa dalam mengembangkan diri secara individual bisa terancam
dalam penggunaan metode kerja kelompok bisa dimengerti karena dalam penugasan
kelompok yang dilakukan secara sembarangan, siswa bukannya belajar secara
maksimal, melainkan belajar mendominasi ataupun melempar tanggung jawab. Metode
pembelajaran gotong royong distruktur sedemikian rupa sehingga masing-masing
anggota dalam satu kelompok melaksanakan taanggung jawab pribadinya karena ada
sistem akuntabilitas individu. Siswa tidak bisa begitu saja membonceng jerih
payah rekannya dan usaha setiap siswa akan dihargai sesuai dengan poin-poin
perbaikannya.
Dari
latar belakang masalah tersebut, maka peneliti merasa terdorong untuk melihat
pengaruh pembelajaran media puzzle
terhadap prestasi belajar siswa dengan mengambil judul “PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN KOSA KATA
BAHASA INGGRIS DI KELAS VII SMP NEGERI
0 komentar:
Post a Comment