Saturday, 17 May 2014

respon pasien terhadap penarikan dana jaminan atas pemberlakuan JKA di Instalasi Radiologi RSUD



BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Tujuan utama dari keberadaan pemerintah di setiap daerah adalah untuk menjaga sistem ketertiban di masyarakat agar tercipta kehidupan secara wajar. Tugas pemerintah adalah untuk melayani dan mengatur masyarakat, menekankan upaya mendahulukan kepentingan umum, mempermudah segala urusan publik dan memberikan kepuasaan kepada publik. Dengan demikian hakikat dari kegiatan pemerintah adalah memberi pelayanan kepada masyarakat dan bukan melayani dirinya (Laporan Pelaksana dan Progres,2011).
Bergulirnya nuansa kebebasan yang meluas di masyarakat, serta perubahan factual peran pemerintah daerah yang  mulai terbuka dalam sebuah koridor Undang-undang No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah, serta tumbuhnya tatanan praktis terhadap tuntutan layanan yang lebih baik beriring dengan semakin membaiknya pemahaman masyarakat terhadap hak-haknya sebagai warga Negara yang memiliki akses langsung kepada pemerintah, menuntut wacana yang lebih luas terhadap peran pelayanan yang berkualitas oleh pemerintah kepada masyarakat.
Disadari bahwa kondisi penyelenggaraan pelayanan publik di Aceh masih dihadapkan pada sistem pemerintah yang belum efektif dan efesien serta kualitas sumber daya aparatur belum memadai. Hal ini terlihat dari masih banyaknya keluhan dan pengaduan dari masyarakat Aceh baik secara langsung maupun melalui media massa seperti prosedur yang berbelit,tidak adanya jangka waktu penyelesaian, biaya yang harus dikeluarkan, persyaratan yang tidak transparan, sikap petugas yang kurang responsive, kurang ramah, kurang disiplin, dn lain-lain, sehingga menimbulkan citra yang kurang baik terhadap citra pemerintah (Qanun Aceh tentang Pelayanan Publik No 8 tahun 2008).
Pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang  dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan sesuai dengan ketentuan  perundang-undangan (Qanun Aceh tentang Pelayanan Publik pasal 1 tahun 2008).
Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) memiliki dasar hukum yang jelas, dan sangat  relevan dengan kondisi sosial Aceh pasca konflik dan tsunami, yaitu: Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28 ayat (1) memberikan hak keepada penduduk untuk mendapat pelayanan kesehatan. Hak atas pelayanan kesehatan tersebut dirumuskan lebih lanjut dalam pasal 34 ayat 2 UUD 1945, dimana ada kewajiban Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional memberikan iuran jaminan sosial, bagi msyarakat yang m            ampu. Rakyat yang tidak mampu berhak mendapatkan bantuan iuaran, yang sifatnya sementara, hingga mereka mampu menanggung iuran jaminan kesehatannya. Amanat Undang-Undang No 11 Tahun 2006 tentang pemerintah Aceh yang tertuang pada pasal 224, pasal 225 dan pasal 226 yaitu kewajiban Pemerintah Aceh memberikan pelayanan kesehatan secara menyuluruh kepada penduduk terutama penduduk miskin, anak yatim dan terlantar.
Kebijakan politik yang lahir pascaperjanjian damai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinky itu mewajibkan pemerintah Aceh memberikan pelayanan kesehatan  secara menyuluruh kepada penduduk Aceh terutama penduduk miskin, fakir miskin, anak yatim dan anak-anak terlantar. Aceh sebagai daerah otonomi khusus yang memiliki hak, wewenang dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengn peraturan perundang-undangan, dalam rangka menyediakan fasilitas dan pelayanan kesehatan yang bermutu dan berkualitas untuk meningkatkan derajat yang setinggi-tingginya. Sebagaimana terkatub dalam Undang-Undang No 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, pasal 22 ayat (1) “Setiap penduduk Aceh mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pelayanan kesehatan dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan yang bermutu  dan berkualitas bagi seluruh warga Aceh. Pemerintah Aceh menerapkan program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA).
Walaupun penerapan program JKA telah berhasil meningkatkan minat masyarakat, ditandai   dengan kuantitas jumlah masyarakat  yang berobat secara signifikan (untuk menjawab keluhan masyarakat akan mahalnya biaya pengobatan), kan tetapi belum dirasakan sepenuhnya berjalan  secara efektif. Hal ini dipengaruhi olehg aspek-aspek yang menentukan keberhasilan program, diantaranya ketersediaan prosedur pelayanan (resources) yang belum memadai, baik terhadap pedoman pelaksanaan, mekanisme kerja/koordinasi pengelolaan dan pelayanan JKA. Intensitas frekuensi sosialisasi internal dan eksternal program. Kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM), baik segi kuantitas dan kualitas SDM, persepsi dan pemahaman terhadap program JKA, serta profesional/keahlian SDM pelaksana dan intensitas monitoring  dan evalusi terhadap pelaksanaam JKA (Laporan Pelaksaan dan Progres, 2011).
Berdasarkan sosialisasi dan Monitoring dalam pelaksanaan JKA tidak semuanya berjalan lancar ada beberapa permasalahan  yang terjadi, seperti distribusi fasilitas kesehatan (faskes) dan tenaga kesehatan (Nakes) yang tidak merata, kondisi geografis yang sulit dijangkau oleh petugas kesehatan, dan ada beberapa permasalahan lain yang timbul seperti pada Badan Pengelola Jaminan Kesehatan Aceh (BPJK), karena belum semua staf  PT Askes (Persero) memahami  pedoman pelaksana, sosialisasi kurang, kesiapan petugas di lapangan, pada Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) belum memiliki  pemahaman yang cukup terhadap Pedoman Pelaksanaan (ManLak), sistem bridging, intergrasi dengan jakesmas, renumerasi, kesiapan medis dan paramedis dan petugas lain (kenaikan pas signifikan), belum optimal sistem rujukan, kesiapan petugas dan permasalah yang terjadi  di masyarakat  sosialisasi belum optimal dan beberapa masyarakat menggunakan JKA dan permasalahan yang timbul di Dinas Kesehatan seperti sosilisasi belum optimal  (Sosialisasi dan Monitoring, 2010).
Jumlah penduduk Aceh hasil Sensus tahun 2010 sebanyak 4.486.570 jiwa. data ini menunjukkan penambahan jumlah penduduk dibandingkan jumlah penduduk tahun 2008, pada saat JKA direncanakan, berjumlah 4.371.081 jiwa. Upaya pemerintah menjamin penduduk miskin dan kurang mampu melalui program jamkesmas yang mencapai 61% penduduk masih terbatas pada fasilitas kesehatan publik. Masih ada 29% penduduk Aceh yang tidak memiliki jaminan sama sekali, meskipun sebagian dari mereka mampu membayar biaya berobat yang relatif murah  terutama untuk rawat jalan, namun sebagian besar mereka tidak mampu  membayar biaya rawat inap yang dapat melampaui kemampuan bayarnya (Keputusan Gubernur Aceh No:420/483, 2010).
Pelayanan kesehatan di rumah sakit merupakan bentuk pelayanan yang diberikan kepada klien oleh suatu tim multi disiplin. Pelayanan kesehatan pada masa kini sudah merupakan industri jasa kesehatan utama dimana setiap rumah sakit bertanggung jawab terhadap penerima jasa pelayanan kesehatan. Keberadaan dan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan ditentukan oleh nilai-nilai dan harapan dari penerima jasa pelayanan tersebut. Disamping itu, penekanan pelayanan kepada kualitas yang tinggi tersebut harus dapat dicapai dengan biaya yang dapat dipertanggungjawabkan (Indarjati, 2001).
Pelayanan Penunjang Diagnostik adalah pelayanan penunjang untuk penegakan diagnosis dan terapi antara lain berupa pelayanan laboratorium klinik, laboratorium patologi anatomi, laboratorium mikrobiologi, radiologi diagnostik, elektromedik diagnostik dan tindakan/pemeriksaan penunjang diagnostik lainnya (Indarjati, 2001).
Radiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang berhubungan dengan penggunaan semua modalitas yang menggunakan radiasi untuk diagnosis dan prosedur terapi dengan menggunakan panduan radiologi, termasuk teknik pencitraan dan penggunaan radiasi dengan sinar-X dan radioaktif. Berdasarkan modalitas yang digunakan berupa pesawat sinar-X maka layanan radiologi terdiri atas  radiologi diagnostik dan radiologi intervensional (Marpaung, 2010)
Dalam memberikan pelayanan Instalasi Radiologi Rumah sakit Umum memberlakukan penarikan dana atas pasien yang belum mampu memberikan persyaratan administrasi asuransi. Beragam respon yang diberikan pasien terhadap pemberlakukan ini. Di satu sisi pihak penyelenggara rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan yang optimal, dengan tetap memenuhi semua persyaratan yang disyaratkan asuransi. Disisi lain masyarakat/pasien yang umumnya datang dalam keadaan darurat tidak membawa persyaratan yang di syaratkan, sehingga kebijakan penarikan dana jaminanpun menjadi pilihan terbaik (http://www.depkes.com.id, 2005).
Fenomena penarikan dana jaminan merupakan suatu kebijakan untuk menjembatani suatu kebutuhan mendesak, demi pemenuhan suatu sistim administrasi, sistim meminta setiap dilakukan klien selalu harus dilengkapi dengan beberapa bukti fisik, namun dalan kasus-kasus tertentu dimana pasien dilarikan ke RSU tanpa dilengkap surat mengakibatkan klien JKA tidak terpenuhi, maka di tempuh kebijakan penarikan dana jaminan dan setelah terpenuhinya persyaratan administrasi maka dana jaminan dikembalikan dengan waktu tenggang 3 kali 24 jam.

0 komentar:

Post a Comment