BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam lima tahun ke depan fokus
pembangunan nasional kesehatan diarahkan pada pencapaian kesehatan diarahkan
pada pencapaian sasaran Pembangunan Millineum (MDG`s) tahun 2015, yaitu
menurunkan Angka Kematian Ibu dari 228 pada
tahun 2007 menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup; Angka kematian bayi dari 34
pada tahun 2007 menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup, serta penurunan
prevalensi Gizi Kurang pada Balita 18,4% pada tahun 2007 menjadi
setinggi-tingginya 15% (Depkes RI, 2008).
Selama ini pemerintah telah melakukan
berbagai upaya, antara lain berupa perbaikan sarana dan fasilitas kesehatan
yang ditandai dengan meningkatkan jumlah rumah sakit dan Puskesmas,
ditempatkannya tenaga bidan di desa, tersedianya obat-obatan esensial dan alat
kesehatan, serta adanya mekanisme pembiayaan kesehatan melalui JAMKESMAS bagi
kesehatan miskin (Depkes RI, 2009).
Kurang
Energi Protein (KEP) sampai saat ini masih merupakan salah
satu masalah gizi utama di Indonesia. Balita disebut KEP bila berat badan Balita di bawah normal dibandingkan
dengan rujukan (WHO-NCHS). Kurang energi protein dikelompokkan menjadi 2, yaitu
gizi kurang (bila berat badan menurun umur
di bawah – 2 SD), dan gizi buruk (bila berat badan menurun umur -3 SD)
(Dinkes Prov. NAD, 2006).
Pravelensi nasional Gizi Buruk pada
balita adalah 5,4%, dan gizi kurang pada balita adalah 13,0%. Keduanya
menunjukkan bahwa baik target rencana pembangunan jangka menengah untuk
pencapaian program perbaikan gizi (20%), maupun target Millenium
Development Goals pada 2015, (18,5%) telah tercapai pada 2007. Namun
demikian, sebanyak 19 provinsi mempunyai prevelensi gizi buruk dan gizi kurang
di atas prevelensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Riau, Jambi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Timur,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku
Utara, Papua Barat dan Papua (Depkes RI, 2009).
Posyandu adalah salah satu bentuk dan
upaya kesehatan dan bersumber daya masyarakat (UKBM) yang dikelola dan
diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan
pembangunan kesehatan, guna mem berdayakan masyarakat dan memberikan kemudahan kepada masyarakat
dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar untuk mempercepat penurunan angka
kematian ibu dan bayi (Depkes RI, 2006).
Meskipun Posyandu bersumber daya
masyarakat, pemerintah tetap ikut andil terutama dalam hal penyediaan bantuan
teknis dan kebijakan. Kebijakan terkait Posyandu terbaru adalah Surat Edaran
Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah tanggal 13 Juni 2001 tentang Pedoman
Umum Revitalisasi Posyandu. Salah satu indikator keberhasilan revitalisasi
Posyandu adalah meningkatnya status gizi anak sehingga jumlah anak yang berat
badannya tidak naik semakin menurun. Kasus kurang gizi dan gizi buruk
terkadang sulit di temukan dimasyarakat,
salah satu penyebabnya adalah karena si ibu tidak membawa anaknya ke pusat pelayanan kesehatan. Akibat
bermunculan berbagai kasus kesehatan masyarakat bermula dari kekurangan gizi
yang terlambat terdeteksi pada balita, seperti diare, anemia pada anak, dan
lain-lain di beberapa provinsi di Indonesia (Makmur dan Hatang, 2008).
Kegiatan bulanan di Posyandu
merupakan kegaitan rutin yang bertujuan untuk memantau pertumbuhan berat badan
balita dengan menggunakan Kartu Menuju Sehat (KMS), memberikan konseling gizi,
dan memberikan pelayanan gizi dan kesehatan dasar. Untuk tujuan pemantauan pertumbuhan balita
dilakukan penimbangan balita setiap bulan. Berdasarkan garis pertumbuhan pada
KMS dapat dinilai apakah berat badan anak hasil penimbangan dua bulan
berturut-turut: Naik (N) atau Tidak Naik (T) (Agustina, 2008).
Kelompok
umur yang rentan terhadap penyakit-penyakit kekurang gizi adalah kelompok bayi
dan balita. Oleh karena itu, indikator yang paling baik untuk mengukur status
gizi masyarakat adalah melalui gizi balita. Selama ini telah banyak dihasilkan
berbagai pengukuran status gizi tersebut masing-masing ahli mempunyai pendapat
sendiri dalam mengembangkan pengukuran tersebut (Notoadmodjo, 2003).
Cara paling
tepat untuk menentukan status gizi adalah berdasarkan berat badan menurut
tinggi badan anak, namun karena
keterbatasan sarana di lapangan maka saat ini masih menggunakan berat
badan menurut umur (Kartu Menuju Sehat) di tambah dengan gejala klinis (Depkes
RI, & WHO, 2005).
Kartu
Menuju Sehat (KMS) adalah kartu pedoman untuk memantau pertumbuhan dan
perkembangan balita secara menyeluruh,
baik kesehatan maupun pertumbuhan fisiknya termasuk memantau pemberian
imunisasi. Dengan KMS, dapat mengetahui perkembangan yang harus dicapai oleh
balita, mulai dari gerakan kasar, gerakan halus, pengamatan, bicara aktif
sampai sosialisasi sesuai dengan perkembangan usianya. Melalui KMS juga ibu
dapat memantau pertumbuhan fisik balita, terutama berat badannya (Depkes RI,
2005).
Pertumbuhan
anak dapat diamati secara cermat dengan menggunakan Kartu Menuju Sehat (KMS)
balita kartu menuju sehat berfungsi sebagai alat bantu pemantauan gerak
pertumbuhan, bukan menilai status gizi. KMS yang diedarkan departemen Kesehatan
tahun 2000, garis merah pada KMS bukan merupakan pertanda gizi buruk, melainkan
kewaspadaan. Manakala berat badan balita tergelincir di bawah garis ini,
petugas kesehatan harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap indikator
antrometrik lain (Arisman, 2004).
KMS sudah cukup lama beredar di Indonesia,
akan tetapi penggunaannya sebagai home
based record masih perlu dipertanyakan. Pada obervasi di bangsal rawat inap
anak RSU Dr. Soetomo dan unit rawat jalan (1997 – 2000), sekitar 90% ibu-ibu
penderita malnutrisi menyatakan punya KMS tetapi tidak di bawa, dengan alasan ada
Posyandu atau tertinggal di rumah. Pada pelatihan manajemen terpadu balita sakit,
penekanan KMS dengan konseling yang baik perlu dibudayakan oleh setiap petugas
kesehatan bila menghadapi anak balita sakit (Muslihatun, 2010).
Dari penelitian Mudjianto, (2001) menyimpulkan
bahwa KMS anak balita sudah efektif sebagai alat pemantau pertumbuhan anak
balita tetapi belum efektif sebagai sarana penyuluh gizi di Posyandu karena
rendahnya pemahaman kader dan ibu balita terhadap arti grafik pertumbuhan anak.
Di samping itu sedikit sekali kader yang tahu nasehat gizi yang harus diberikan
pada ibu balita.
Perilaku keluarga yang membawa
balitanya setiap bulan juga berhubungan dengan pengetahuan keluarga, di mana
keluarga yang memiliki pengetahuan
tentang kesehatan, tanda, dan gejala sehubungan dengan pertumbuhan anggota
keluarganya, maka keluarga akan segera melakukan tindakan untuk meminimalkan
dampak yang lebih buruk lagi terhadap kondisi anggota keluarganya. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh Anggraeni (2006)
tentang pengetahuan ibu dengan keteraturan menimbangkan balitanya ke Posyandu
yang menunjukkan hasil signifikan dengan hubungan yang bersifat positif.
Menurut Suparman dan Sihombing (1990) keluarga merupakan faktor penting dalam
memotitor keadaan gizi balita melalui KMS
(Octaviani, 2008).
Sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Puslitbang gizi Bogor (2007) dan Djukarni (2001) bahwa
penimbangan balita secara rutin dan diimbangi dengan penyuluhan serta pemberian
makanan tambahan pada setiap bulan penimbangan di Posyandu dalam kurun waktu 3
bulan dapat menurunkan angka kasus gizi buruk dan gizi kurang (Octaviani, 2008).
0 komentar:
Post a Comment