BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.
Salah satu misi
pembangunan kesehatan dalam mewujudkan
visi Indonesia sehat 2010, adalah memelihara dan meningkatkan kesehatan
individu, keluarga dan masyarakat beserta lingkungan. Untuk itu diperlukan
terciptanya lingkungan yang sehat termasuk tersedia air yang aman memenuhi
syarat kesehatan. Untuk dapat mewujudkan Visi Air Aman Bagi Kesehatan
ditetapkan misi penyehatan air yaitu mengamankan air yaitu “Mengamankan Air
Untuk Berbagai Kebutuhan dan Kehidupan Manusia” Misi ini akan tercapai apabila
tersedia air yang cukup dan memenuhi persyaratan kesehatan (Depkes RI. 2000).
Penyakit diare
adalah penyakit yang ditandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja melembek
sampai mencair dan bertambahnya frekuensi berak- lebih dari biasanya (tiga kali dalam
sehari). Di Indonesia penyakit diare masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang utama, dimana insidens diare pada tahun 2000 yaitu sebesar 301 per 1000
penduduk, secara proporsional 55 % dari kejadian diare terjadi pada golongan balita dengan
episode diare balita sebesar 1,0 – 1,5 kali per tahun. Secara
operasional diare balita dapat dibagi 2 klasifikasi, yaitu yang pertama diare akut adalah
diare yang ditandai dengan buang air besar lembek/cair bahkan dapat berupa air saja yang
frekuensinya lebih sering dari biasanya (3 kali atau lebih sehari) dan
berlangsung kurang
dari 14 hari, dan yang kedua yaitu diare bermasalah yang terdiri dari disentri
berat, diare persisten,
diare dengan kurang energi protein (KEP) berat dan diare dengan penyakit penyerta.
Beberapa hasil
survei mendapatkan bahwa 76 % kematian diare terjadi pada balita, 15,5 % kematian
bayi dan 26,4 % kematian pada balita disebabkan karena penyakit diare murni. Menurut
hasil survei rumah tangga pada tahun 1995 didapatkan bahwa setiap tahun terdapat 112.000
kematian pada semua golongan umur, pada balita terjadi kematian 2,5 per 1000 balita.
Hasil Survei
Kesehatan Nasional (Surkesnas) tahun 2002 mendapatkan prevalensi diare balita di
perkotaan sebesar 3,3 % dan di pedesaan sebesar 3,2 %, dengan angka kematian diare
balita sebesar 23/ 100.000 penduduk pada laki-laki dan 24/100.000 penduduk pada
perempuan, dari data tersebut kita dapat mengukur berapa kerugian yang ditimbulkan
apabila pencegahan diare tidak dilakukan dengan semaksimal mungkin dengan mengantisipasi
faktor risiko apa yang mempengaruhi terjadinya diare pada balita.
Faktor risiko
yang sangat berpengaruh untuk terjadinya diare pada balita yaitu status
kesehatan lingkungan (penggunaan sarana air bersih, jamban keluarga, pembuangan
sampah, pembuangan air limbah) dan perilaku hidup sehat dalam keluarga.
Sedangkan secara klinis penyebab diare dapat dikelompokkan dalam enam kelompok
besar yaitu infeksi (yang meliputi infeksi bakteri, virus dan parasit),
malabsorpsi, alergi, keracunan (keracunan bahan-bahan kimia, keracunan oleh
racun yang dikandung dan diproduksi baik jazad renik, ikan, buah-buahan,
sayur-sayuran, algae dll), imunisasi, defisiensi dan sebab-sebab lain.
Upaya pemerintah
dalam menanggulangi penyakit diare, terutama diare pada balita sudah dilakukan
melalui peningkatan kondisi lingkungan baik melalui program proyek desa
tertinggal maupun proyek lainnya, namun sampai saat ini belum mencapai tujuan
yang diharapkan, karena kejadian penyakit diare masih belum menurun. Apabila
diare pada balita ini tidak ditangani secara maksimal dari berbagai sektor dan
bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja tetapi masyarakatpun diharapkan
dapat ikut serta menanggulangi dan mencegah terjadinya diare pada balita ini,
karena apabila hal itu tidak dilaksanakan maka dapat menimbulkan kerugian baik
itu kehilangan biaya untuk pengobatan yang cukup besar ataupun dapat pula
menimbulkan kematian pada balita yang terkena diare.
Kejadian Diare juga menpunyai trend yang
semakin naik pada periode tahun 1996-2006. Sedangkan dari tahun 2006 sampai
tahun 2010 terjadi sedikit penurunan angka kesakitan, yaitu dari 423 menjadi
411 per 1000 penduduk. Hasil Survei Morbiditas Diare dari tahun 2000 s.d 2010.
Kejadian Diare juga menpunyai trend yang semakin naik pada periode tahun
1996-2006. Sedangkan dari tahun 2006 sampai tahun 2010 terjadi sedikit
penurunan angka kesakitan, yaitu dari 423 menjadi 411 per 1000 penduduk. Hasil
Survei Morbiditas Diare dari tahun 2000 s.d 2010 Penyakit diare termasuk dalam
10 penyakit yang sering menimbulkan kejadian luar biasa. Berdasarkan laporan
Surveilans Terpadu Penyakit bersumber data KLB (STP KLB) tahun 2010, diare
menempati urutan ke 6 frekuensi KLB terbanyak setelah DBD, Chikungunya,
Keracunan makanan, Difteri dan Campak. Keadaan ini tidak berbeda jauh dengan
tahun 2009, menurut data STP KLB 2009 , KLB diare penyakit ke 7 terbanyak yang
menimbulkan KLB. data STP KLB tahun 2010 menurut provinsi. Sebagian besar
provinsi (82%) sudah memiliki kelengkapan data sebesar 100%, sebagian kecil
memiliki kelengkapan < 90% (3 provinsi dengan kelengkapan data antara 60-89%
dan 1 provinsi dengan kelengkapan data 0,1-59 %). Dua provinsi yang tidak
melaporkan STP KLB yaitu provinsi Jawa Tengah dan provinsi Papua. Beberapa hal
yang diidentifikasi sebagai masalah antara lain tidak adanya format yang sesuai
standar, perbedaan format pelaporan KLB antara provinsi dengan kabupaten dan
lain-lain. Jumlah kasus KLB Diare pada tahun 2010 sebanyak 2.580 dengan kematian
sebesar 77 kasus (CFR 2.98%). Hasil ini berbeda dengan tahun 2009 dimana kasus
pada KLB diare sebanyak 3.037 kasus, kematian sebanyak 21 kasus (CFR 0.69%).
Perbe-daan ini tentu saja perlu dilihat dari berbagai faktor, terutama
kelengkapan laporannya. Selain itu faktor perilaku kesadaran dan pengetahuan
masyarakat, ketersediaan sumber air bersih, ketersediaan jamban keluarga dan
jangkauan layanan kesehatan perlu dipertimbangkan juga sebagai faktor yang
mempengaruhi kejadian luar biasa diare
Dengan memperhatikan
data-data tersebut diatas dimana di wilayah kerja Kabupaten kasus diare masih
tinggi (34.464 kasus, diare balita sebanyak 29,51 % dari seluruh kasus diare),
padahal cakupan sarana kesehatan lingkungan sudah cukup memadai (cakupan air
bersih 64,19 %, cakupan jamban keluarga 87,43 % dan rumah sehat 83,97 %). Untuk
mengetahui kenapa penyakit diare pada balita di wilayah kerja Kabupaten masih
tinggi, maka dilakukan penelitian ini, berdasarkan latar belakang diatas kami
akan mencari faktor risiko apa saja yang mempengaruhi terjadinya penyakit diare
terutama diare balita.
Berdasarkan data diatas maka penulis tertarik meneliti tentang masalah
tersebut dengan judul Gambaran
epidemiologi penyakit diare di Kabupaten.
1.2. Rumusan
Masalah.
Berdasarkan latar
belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka yang menjadi permasalahan
dalam penelitian ini adalah tempat, waktu, golongan usia, jenis kelamin, yang
mengambarkan keadaan epidemiologi penyakit diare.
1.3. Ruang Lingkup
Penelitian.
Mengingat
keterbatasan biaya dan tenaga, maka penelitian ini hanya dibatasi pada Gambaran epidemiologi penyakit diare yang dilihat dari segi tempat, waktu, golongan usia,
jenis kelamin.
1.4. Tujuan
Penelitian.
1.4.1.
Tujuan Umum.
Untuk mengetahui Gambaran epidemiologi penyakit diare.
1.4.2.
Tujuan Khusus.
1.4.2.1. Mengetahui Gambaran
epidemiologi penyakit diare Tahun 2009-2011 berdasarkan tempat (Puskesmas)
1.4.2.2. Mengetahui Gambaran
epidemiologi penyakit diare berdasarkan waktu (bulanan)
1.4.2.3. Mengetahui Gambaran
epidemiologi penyakit diare berdasarkan golongan usia.
1.4.2.4. Mengetahui Gambaran epidemiologi penyakit diare dari segi
jenis kelamin.
1.5. Manfaat Penelitian.
1.5.1.
Manfaat Praktis.
Sebagai bahan masukan dan tambahan
informasi tentang epidemiologi penyakit diare
bagi Dinas Kesehatan serta Instansi terkait lainnya yang mempunyai kebijakan
dan tanggung jawab terhadap permasalahan kesehatan masyarakat.
1.5.2.
Manfaat Teoritis.
Untuk mengaplikasikan dan memperdalam
ilmu yang telah diperoleh pada serta menambah wawasan penulis dan untuk melatih
penulis dalam melakukan penelitian yang benar. Sebagai
bahan tambahan dalam perpustakaan.
BAB II.
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Epidemiologi
2.1.1.
Pengertian
“Epidemiologi” berasal dari dari kata Yunani
epi= atas, demos= rakyat, populasi manusia, dan logos = ilmu (sains), bicara.
Secara etimologis epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari faktor-faktor yang
berhubungan dengan peristiwa yang banyak terjadi pada rakyat, yakni penyakit
dan kematian yang diakibatkannya yang disebut epidemi. Kata “epidemiologi”
digunakan pertama kali pada awal abad kesembilanbelas (1802) oleh seorang
dokter Spanyol bernama Villalba dalam tulisannya bertajuk EpidemiologÃa
Española (Buck et al., 1998). Tetapi gagasan dan praktik epidemiologi untuk
mencegah epidemi penyakit sudah dikemukakan oleh “Bapak Kedokteran” Hippocrates
sekitar 2000 tahun yang lampau di Yunani. Hippocrates mengemukakan bahwa faktor
lingkungan mempengaruhi terjadinya penyakit. Dengan menggunakan Teori Miasma
Hippocrates menjelaskan bahwa penyakit terjadi karena “keracunan” oleh zat
kotor yang berasal dari tanah, udara, dan air. Karena itu upaya untuk mencegah
epidemi penyakit dilakukan dengan cara mengosongkan air kotor, membuat saluran
air limbah, dan melakukan upaya sanitasi (kebersihan). Teori Miasma terus
digunakan sampai dimulainya era epidemiologi modern pada paroh pertama abad
kesembilanbelas ( Bhisma Murti, 2007).
Mula-mula epidemiologi hanya mempelajari epidemi
penyakit infeksi. Kini epidemiologi tidak hanya mendeskripsikan dan meneliti
kausa penyakit epidemik (penyakit yang “berkunjung” secara mendadak dalam
jumlah banyak melebihi perkiraan normal) tetapi juga penyakit endemik (penyakit
yang “tinggal” di dalam populasi secara konstan dalam jumlah sedikit atau
sedang). Epidemiologi tidak hanya mempelajari penyakit infeksi tetapi juga
penyakit non-infeksi. Menjelang pertengahan abad keduapuluh, dengan
meningkatnya kemakmuran dan perubahan gaya hidup, terjadi peningkatan insidensi
penyakit kronis di negara-negara Barat. Sejumlah riset epidemiologi lalu
dilakukan untuk menemukan kausa epidemi penyakit kronis. Epidemiologi penyakit
kronis menggunakan paradigma “Black box”, yakni meneliti hubungan antara
paparan di tingkat individu (diare, diet) dan risiko terjadinya penyakit
kronis, tanpa perlu mengetahui variabel antara atau patogenesis dalam mekanisme
kausal antara paparan dan terjadinya penyakit. Upaya pencegahan penyakit kronis
dilakukan dengan cara mengontrol faktor risiko, yaitu mengubah perilaku dan
gaya hidup (merokok, diet, olahraga, dan sebagainya) ( Bhisma Murti, 2007).
Epidemiologi merupakan disiplin ilmu
inti dari ilmu kesehatan masyarakat (public health). Profesor Sally Blakley
dalam kuliah pengantar epidemiologi pada Tulane School of Public Health and
Tropical Medicine, New Orleans, pada 1990 menyebut epidemiologi ”the mother
science of public health” (Blakley, 1990). Kesehatan masyarakat bertujuan
melindungi, memeli-hara, memulihkan, dan meningkatkan kesehatan populasi.
Sedang epidemiologi memberikan kontribusinya dengan mendeskripsikan distribusi
penyakit pada populasi, meneliti paparan faktor-faktor yang mempengaruhi atau
menyebabkan terjadinya perbedaan distribusi penyakit tersebut. Pengetahuan tentang
penyebab perbedaan distribusi penyakit selanjutnya digunakan untuk memilih
strategi intervensi yang tepat untuk mencegah dan mengendalikan penyakit pada
populasi, dengan cara mengeliminasi, menghindari, atau mengubah faktor penyebab
tersebut.
Pada 1983 International Epidemiological
Association mendefinisikan epidemiologi "the study of the distribution and
determinants of health-related states or events in specified populations, and
the application of this study to control of health problems” - Epidemiologi
adalah “studi tentang distribusi dan determinan keadaan dan peristiwa terkait
kesehatan pada populasi, dan penerapannya untuk mengendalikan masalah
kesehatan” (Last, 2001).
Epidemiologi merupakan sains. Sains
berkembang untuk 3 tujuan utama: menjelaskan (explanation), memprediksi
(prediction), dan mengendalikan (control) (Strevens, 2011). Jadi bukan sains
jika tidak bertujuan untuk menjelaskan terjadinya fenomena, meramalkan
fenomena, mengontrol fenomena tersebut agar bermanfaat bagi manusia dan tidak
merugikan manusia. Untuk menjelaskan, memprediksi, dan mengontrol fenomena,
sains menggunakan metode ilmiah (scientific method). Demikian pula sebagai
sebuah sains, epidemiologi menggunakan metode ilmiah untuk menjelaskan
distribusi dan determinan penyakit, meramalkan terjadinya penyakit, dan
menemukan
strategi yang tepat untuk mengontrol terjadinya penyakit pada
populasi sehingga tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat yang penting
(Slattery, 2002). Metode ilmiah meliputi perumusan masalah penelitian,
pengujian hipotesis, pengumpulan data melalui pengamatan dan eksperimentasi,
penafsiran data, dan penarikan kesimpulan yang logis. Metode ilmiah berguna
untuk menarik kesimpulan yang benar (valid) dan dapat diandalkan dalam jangka
panjang (reliable, consistent, reproducible).
2.1.2. Keadaan dan peristiwa terkait kesehatan.
Epidemiologi mempelajari tidak hanya penyakit tetapi juga
aneka keadaan dan peristiwa terkait kesehatan, meliputi status kesehatan,
cedera (injuries), dan berbagai akibat penyakit seperti kematian, kesembuhan,
penyakit kronis, kecacatan, disfungsi sisa, komplikasi, dan rekurensi. Keadaan
terkait kesehatan meliputi pula perilaku, penyediaan dan penggunaan pelayanan
kesehatan.
2.1.3. Distribusi.
Distribusi
(penyebaran) penyakit pada populasi dideskripsikan menurut orang (person),
tempat (place), dan waktu (time). Artinya, epidemiologi mendeskripsikan
penyebaran penyakit pada populasi menurut faktor
sosio-ekonomi-demografi-geografi, seperti umur, jenis kelamin, pendidikan,
jenis pekerjaan, pendapatan, ras, keyakinan agama, pola makan, kebiasaan, gaya
hidup, tempat tinggal, tempat bekerja, tempat sekolah, dan waktu terjadinya
penyakit.
Studi epidemiologi yang mempelajari
distribusi penyakit pada populasi disebut epidemiologi deskriptif. Dengan
epidemiologi deskriptif dapat diketahui besarnya beban penyakit (disease
burden) pada populasi tertentu, yang berguna untuk menentukan diagnosis masalah
kesehatan pada populasi dan menetapkan prioritas masalah kesehatan. Pengetahuan
itu selanjutnya dapat digunakan untuk membuat rencana alokasi sumber daya yang
diperlukan untuk mengatasi masalah kesehatan. Studi epidemiologi deskriptif
juga berguna untuk merumuskan hipotesis tentang determinan penyakit.
2.1.4. Determinan.
Epidemiologi mempelajari determinan
penyakit pada populasi, disebut epidemiologi analitik. Determinan merupakan
faktor, baik fisik, biologis, sosial, kultural, dan perilaku, yang dapat
mempengaruhi terjadinya penyakit. Determinan merupakan istilah yang inklusif,
mencakup faktor risiko dan kausa penyakit. Faktor risiko adalah semua faktor
yang berhubungan dengan meningkatnya probabilitas (risiko) terjadinya penyakit.
Untuk bisa disebut faktor risiko, sebuah faktor harus berhubungan dengan terjadinya
penyakit, meskipun hubungan itu tidak harus bersifat kausal (sebab-akibat)
(Last, 2001). Contoh, tekanan darah tinggi, kadar kolesterol tinggi, dan
kebiasaan merokok tembakau, merupakan faktor risiko penyakit jantung koroner,
karena faktor-faktor tersebut berhubungan dengan meningkatnya risiko terjadinya
penyakit jantung koroner. Usia muda merupakan faktor risiko campak, karena
populasi berusia muda belum memiliki imunitas yang dibentuk dari paparan dengan
epidemi campak sebelumnya, sehingga memiliki kemungkinan lebih besar untuk
mengalami campak.
Faktor risiko dapat dibedakan menjadi
faktor risiko yang dapat diubah (modifiable risk factor) dan faktor risiko yang
tak dapat diubah (unmodifiable risk factor). Contoh, kebersihan merupakan
faktor risiko penyakit diare yang dapat diubah, karena kebisaan kotor bisa
dihentikan. Usia merupakan faktor risiko diare yang tidak dapat diubah. Orang
berusia dibawah 5 tahun memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami diare
daripada usia lebih dari 5 tahun, tetapi usia tidak bisa diubah.
Sebaliknya, semua faktor yang
berhubungan dengan berkurangnya risiko untuk terjadinya penyakit disebut faktor
protektif. Contoh, vaksin, kolesterol HDL, kebersihan, merupakan faktor
protektif.
Kedekatan (proximity) individu dengan
suatu determinan penyakit sehingga individu dapat berisiko mengalami penyakit
disebut paparan (exposure). Epidemiologi analitik mempelajari hubungan kausal
(sebab-akibat) antara paparan suatu determinan dan terjadinya penyakit. Paparan
merupakan konsep yang penting dalam epidemiologi, karena paparan merupakan
prasyarat bagi determinan penyakit untuk bisa mulai menyebabkan penyakit, atau
memulai terjadinya infeksi pada penyakit infeksi. Jika terdapat determinan,
faktor risiko, dan kausa penyakit, tetapi tidak terdapat paparan (kedekatan)
individu dengan determinan itu, maka individu tidak akan mengalami penyakit.
Pengetahuan tentang paparan suatu faktor sebagai kausa penyakit berguna untuk
mencegah dan mengendalikan penyakit pada populasi, dengan cara mengeliminasi,
menghindari, atau mengubah kausa.
Dua asumsi digunakan dalam epidemiologi
deskriptif dan analiitik. Pertama, penyakit tidak terjadi secara random (acak)
melainkan secara selektif terkait dengan faktor penyebab penyakit. Artinya,
penyakit pada populasi tidak terjadi secara kebetulan, melainkan berhubungan
dengan faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit, disebut determinan
penyakit. Kedua, faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit dapat diubah
sehingga dapat dilakukan upaya pengendalian dan pencegahan penyakit pada
populasi (Hennekens dan Buring, 1987).
2.2.
Studi Deskriptif Epidemiologi.
Menurut (Budiarto,
2005) analisa deskriptif epidemiologi
dibagi berdasarkan variavel orang, tempat dan waktu.
2.2.1. Variabel orang
Untuk
mengidentifisi seseorang dengan variabel yang tak terhingga banyaknya, tetapi
hendaknya dipilih variabel yang dapat digunakan sebagai indikator. Untuk
menentikan ciri seseorang. Untuk menentukan indikator maka hendaknya
disesuaikan dengan kebutuhan, kemampuan serta sarana yang tersedia. Variabel
orang adalah umur, jenis kelamin, suku bangsa, sosial ekonomi, budaya/agama,
pekerjaan, status marital, dan golongan darah (Budiarto, 2005) dalam penelitian
ini peneliti hanya meneliti variabel umur dan jenis kelamin.
a. Umur
Variabel umur merupakan hal yang penting karena semua rate morbilitas dan
rate mortalitas yang dilaporkan hampis selalu berhubungan dengan umur.
Walaupun secara umum kematian dapat terjadi pada semua golongan umur,
tetapi dari berbagai catatan diketahui bahwa frekuensi kematian pada setiap
golongan umur berbeda-beda, yaitu kematian tertinggi terjadi pada golongan umur
0-5 tahun dan kematian terendah berada pada golongan umur 15-25 tahun dan
meningkat kembali pada usia diatas 40 tahun.
Hubungan antara umur dan penyakit tidak hanya pada frekuensinya saja, tetapi pada tingkat
beratnya penyakit, misalnya strepcocos dan e coli akan menjadi lebih berat bila
menyerang bayi dari pada golongan umur lain karena bayi masih sangat rentan
terhadap inifeksi.
b. Jenis kelamin
Secara umum setiap penyakit dapat menyerang manusia baik laki-laki maupun
perempuan, tetapi pada beberapa penyakit terdapat perbedaan frekuensi antara
laki-laki dengan perempuan.
Hal ini antara lain disebabkan perbedaan pekerjaan, kebiasaan hidup,
genetika atau kondisi fisiologis. Penyekit-penyakit yang lebih banyak menyerang
perempuan dari pada laki-laki antara lain, diabetes militus, obesitas dan
remation artitis.
Selain itu terdapat pula penyakit yang hanya menyerang perempuan seperti
karsioma mamae, karsioma serviks. Penyakit-panyakit yang lebih banyak menyerang
laki-laki dari pada perempuan antara lain penyakit jantung, infark miokar,
karsioma paru dan hernia, sedangkan penyakit yang hanya menyerang laki-laki
seperti karsioma penis, ortitis dan karsioma prostat.
2.2.2. Variabel tempat
Variabel tempat
merupakan salah satu variabel yang penting dalam epidemiologi deskriptif karena
pengetahuan tentang tempat atu kejadian penyakit atau tempat-tempat lokasi
penyakit endemis sangat dibutuhkan ketika melakukan penelitian dan sebaran
berbagai penyakit diwilayah tertentu berdasarkan:
a. Geografis,
yang ditentukan berdasarkan alamiah, administratif atau fisik, institusi.
Dengan batas alamiah dapat dibedakan negara yang beriklim tropis, subtropis dan
negara yang beriklim empat. Batas administrasi dapat ditentukan batas propinsi,
kabupaten, kecamatan dan desa.
b. Batas institusi dapat berupa industri, sekolah atau kantor dan lain
sebagainya.
2.2.3. Variabel waktu
Variabel waktu merupakan
hal yang harus diperhatikan ketika melkukan analisa morbilitas dalam studi
epidemiologi karena pencatatan dan pelaporan insiden dan prevalensi selalu
didasarkan pada waktu, apakah mingguan, bulanan atau tahunan.
Laporan
morbiditas ini menjadi sangat penting artinya dalam epidemiologi didasarkan
pada kejadian yang nyata dan bukan berdasarkan perkiraan atau estimasi. Selain
itu, dengan pencatatan dari laporan morbilitas dapat diketahui adanya
perubahan-perubahan insidensi dan prevalensi penyakit hingga hasilnya dapat
digunakan untuk menyusun perencanaan dan penanggulangan masalah kesehatan.
Mempelajari
morbilitas berdasarkan waktu juga penting untuk mengetahui hubungan antara
waktu dan insiden penyakit atau fenomena lain. Fluktuasi insiden penyakit terdiri
dari:
a. Kecendrungan sekuler
b. Variasi siklik
c. Variasi musim, dan
d. Variasi random.
2.3. Penyakit
Diare
2.3.1.
Pengertian
Diare atau
penyakit diare (Diarrheal disease) berasal dari bahasa Yunani yaitu “diarroi”
yang berarti mengalir terus, merupakan keadaan abnormal dari pengeluaran tinja yang terlalu frekuen.8,9,42 Terdapat
beberapa pendapat tentang
definisi penyakit diare. Menurut Hippocrates definisi diare yaitu sebagai
suatu keadaan abnormal dari frekuensi dan kepadatan tinja, Menurut Ikatan
Dokter Anak Indonesia, diare atau penyakit diare adalah bila tinja mengandung
air lebih banyak dari normal. Menurut WHO diare adalah berak cair lebih
dari tiga kali dalam 24 jam, dan lebih menitik beratkan pada konsistensi
tinja dari pada menghitung frekuensi berak. Ibu-ibu biasanya sudah tahu kapan
anaknya menderita diare, mereka biasanya mengatakan bahwa berak anaknya encer
atau cair. Menurut Direktur Jenderal PPM dam PLP, diare adalahnpenyakit dengan
buang air besar lembek/ cair bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya
lebih sering dari biasanya (biasanya 3 kali atau lebih dalam sehari)
Diare disebabkan oleh infeksi atau
penyakit-penyakit yang menyebabkan kelebihan produksi cairan atau mencegah
asupan cairan, karena bakteri (E.Coli,
Shigella, Salmonella, Vibrio, Yersinia dan Campylobakter), Virus (Rotavirus, Norwalk virus, Adenovirus)
atau parasit (Amuba, Giardia lambii) bisa juga disebabkan oleh
-
Alergi protein air susu
sapi
-
Intoleransi karbohidrat
-
Malabsobsi
korbohidrat, lemak dan protein
-
Keracunan makanan, Zat
kimia beracun, toksin mikroorganisme, Clostridium
perfringent, stafilokokus.
-
Imunodefisiensi.
Komplikasi
terhadap diare dapat terjadi: Dehidrasi gangguan keseimbangan asam basa,
gangguan keseimbangan elektrolit, ketidak teratruran nutrisi dan anemia. (Rosa,
2004)
2.3.2. Klasifikasi Diare
Sebahagian besar
diare yang menyebabkan dehidrasi adalah diare yang sangat encer, klasifikasi
Diare adalah sebagai berikut:
-
Bakteri penyebab
diare di sebabkan oleh kolera.
-
Diare Persisten adalah
diare yang berlangsung lebih dari 14 hari, sekitar 20% diare berlanjut menjadi
diare persisten yang sering kali menyebabkan kurang gizi dan kematian.
-
Disentri adalah diare
yang disertai darah dalam tinja terkadang diserta dengan lendir. Pada umumnya
disentri disebabkan oleh Shigela.
Disentri amuba biasanya tidak terjadi
pada anak kecil. Seorang anak bisa saja sekaligus menderita diare cair dan
disentri (Depkes RI,2005)
2.3.3.
Penilaian
Diare
Anak yang
menderita diare dinilai dalam hal :
-
Berapa lama anak menderita
diare
-
Adakah darah dalam
tinja untuk menentukan apakah anak menderita disentri.
-
Adakah tanda-tanda
dehidrasi (Depkes RI, 2005)
2.3.4.
Faktor resiko diare
Secara umum
faktor risiko Diare pada dewasa yang sangat berpengaruh terjadinya penyakit Diare yaitu
faktor lingkungan (tersedianya air bersih ,
jamban keluarga, pembuangan sampah, pembuangan air limbah), perilaku hidup bersih dan sehat, kekebalan
tubuh, infeksi saluran pencernaan, alergi,
malabsorpsi, keracunan, immuno defisiensi serta sebab-sebab lain. Sedangkan pada balita faktor risiko
terjadinya Diare selain factor intrinsik
dan ekstrinsik juga sangat dipengaruhi oleh prilaku ibu atau pengasuh balita karena balita masih belum bisa
menjaga dirinya sendiri dan sangat tergantung
pada lingkungannya, jadi apabila ibu balita atau pengasuh balita tidak bisa mengasuh balita dengan baik dan
sehat maka kejadian Diare pada balita
tidak dapat dihindari.
Penularan
penyakit Diare pada balita biasanya melalui jalur fecal oral terutama karena :
1. Menelan
makanan yang terkontaminasi (makanan sapihan dan air)
2. Kontak
dengan tangan yang terkontaminasi
3. Beberapa
faktor yang berkaitan dengan peningkatan kuman perut :
a. Tidak
memadainya penyediaan air bersih
b.
Kekurangan sarana kebersihan dan pencemaran air oleh tinja
c.
Penyiapan dan penyimpanan makanan tidak secara semestinya.
4. Tindakan penyapihan yang jelek
(penghentian ASI yang terlalu dini, susu botol, pemberian ASI yang diselang-seling
dengan susu botol pada 4-6 bulan
pertama).
Beberapa
ahli berpendapat bahwa kejadian diare disamping dipengaruhi oleh faktor-faktor diatas juga
dapat dipengaruhi oleh factor lain
diantaranya adalah :
1) Faktor infeksi.
Faktor
infeksi penyebab diare dapat dibag dalam infeksi parenteral dan infeksi enteral. Di Negara berkembang
campak yang disertai dengan
diare merupakan faktor yang sangat penting pada morbiditas dan mortalitas anak. Walaupun
mekanisme sinergik antara
campak dan diare pada anak belum diketahui, diperkirakan kemungkinan virus campak sebagai penyebab
diare secara enteropatogen.
Walaupun diakui pada umumnya bahwa enteropatogen
tersebut biasanya sangat kompleks dan dipengaruhi oleh faktor-faktor umur, tempat, waktu dan
keadaan sosio ekonomi.
2) Faktor umur
Semakin
muda umur balita semakin besar kemungkinan terkena diare, karena semakin muda umur balita
keadaan integritas mukosa usus masih
belum baik, sehingga daya tahan tubuh masih belum sempurna. Kejadian diare terbanyak menyerang anak
usia 7 – 24 bulan, hal ini terjadi
karena :
- Bayi usia
7 bulan ini mendapat makanan tambahan diluar ASI dimana risiko ikut sertanya kuman pada
makanan tambahan
adalah tinggi (terutama jika sterilisasinya kurang).
- Produksi
ASI mulai berkurang, yang berarti juga anti bodi yang masuk bersama ASI berkurang. Setelah usia 24 bulan tubuh anak mulai
membentuk sendiri anti bodi dalam
jumlah cukup (untuk defence mekanisme), sehingga serangan virus berkurang.
3) Faktor status gizi.
Pada
penderita kurang gizi serangan diare terjadi lebih sering terjadi. Semakin buruk keadaan gizi anak,
semakin sering dan berat diare yang
diderita. Diduga bahwa mukosa penderita malnutrisi sangat peka terhadap infeksi karena daya
tahan tubuh yang kurang. Status gizi
ini sangat dipengaruhi oleh kemiskinan, ketidak tahuan dan penyakit. Begitu pula rangkaian antara
pendapatan, biaya pemeliharaan
kesehatan dan penyakit, keadaan sosio ekonomi yang kurang, hygiene sanitasi yang jelek,
kepadatan penduduk rumah,
pendidikan tentang pengertian penyakit, cara penanggulangan penyakit serta pemeliharaan
kesehatan
4) Faktor lingkungan
Penularan
penyakit diare sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dimana sebagian besar penularan melalui faecal
oral yang sangat dipengaruhi
oleh ketersediaan sarana air bersih dan jamban keluarga yang memenuhi syarat kesehatan
serta perilaku hidup sehat dari
keluarga
Oleh karena
itu dalam usaha mencegah timbulnya diare yaitu dengan melalui penyediaan fasilitas jamban
keluarga yang disertai dengan
penyediaan air yang cukup, baik kuantitas maupun kualitasnya. Upaya tersebut harus diikuti
dengan peningkatan pengetahuan
dan sosial ekonomi masyarakat, karena tingkat pendidikan dan ekonomi seseorang dapat
berpengaruh pada upaya perbaikan
lingkungan.
5) Faktor susunan makanan
Faktor
susunan makanan berpengaruh terhadap terjadinya diare disebabkan karena kemampuan usus untuk
menghadapi kendala baik itu
yang berupa :
a. Antigen : susunan makanan
mengandung protein yang tidak
homolog sehingga dapat berlaku sebagai antigen. Lebih-lebih pada bayi dimana kondisi
ketahanan local usus belum
sempurna sehingga terjadi migrasi molekul makro.
b. Osmolaritas : susunan makanan
baik berupa formula susu maupun
makanan padat yang memberikan osmolaritas yang tinggi sehingga dapat menimbulkan
diare.
c. Malabsorpsi : kandungan nutrient
makanan yang berupa karbohidrat,
lemak maupun protein dapat menimbulkan intoleransi,
malabsorpsi maupun alergi sehingga terjadi diare pada balita.
d. Mekanik : kandungan serat yang
berlebihan dalam susunan
makanan secara mekanik dapat merusak fungsi usus sehingga timbul diare.
2.4.
Kerangka
Teoritis.
0 komentar:
Post a Comment