Tuesday, 15 January 2013

Gambaran epidemiologi penyakit diare di Kabupaten



BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang.
Salah satu misi pembangunan kesehatan dalam mewujudkan visi Indonesia sehat 2010, adalah memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat beserta lingkungan. Untuk itu diperlukan terciptanya lingkungan yang sehat termasuk tersedia air yang aman memenuhi syarat kesehatan. Untuk dapat mewujudkan Visi Air Aman Bagi Kesehatan ditetapkan misi penyehatan air yaitu mengamankan air yaitu “Mengamankan Air Untuk Berbagai Kebutuhan dan Kehidupan Manusia” Misi ini akan tercapai apabila tersedia air yang cukup dan memenuhi persyaratan kesehatan (Depkes RI. 2000).
Penyakit diare adalah penyakit yang ditandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja melembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi berak- lebih dari biasanya (tiga kali dalam sehari). Di Indonesia penyakit diare masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama, dimana insidens diare pada tahun 2000 yaitu sebesar 301 per 1000 penduduk, secara proporsional 55 % dari kejadian diare terjadi pada golongan balita dengan episode diare balita sebesar 1,0 – 1,5 kali per tahun. Secara operasional diare balita dapat dibagi 2 klasifikasi, yaitu yang pertama diare akut adalah diare yang ditandai dengan buang air besar lembek/cair bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (3 kali atau lebih sehari) dan berlangsung kurang dari 14 hari, dan yang kedua yaitu diare bermasalah yang terdiri dari disentri berat, diare persisten, diare dengan kurang energi protein (KEP) berat dan diare dengan penyakit penyerta.
Beberapa hasil survei mendapatkan bahwa 76 % kematian diare terjadi pada balita, 15,5 % kematian bayi dan 26,4 % kematian pada balita disebabkan karena penyakit diare murni. Menurut hasil survei rumah tangga pada tahun 1995 didapatkan bahwa setiap tahun terdapat 112.000 kematian pada semua golongan umur, pada balita terjadi kematian 2,5 per 1000 balita.
Hasil Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas) tahun 2002 mendapatkan prevalensi diare balita di perkotaan sebesar 3,3 % dan di pedesaan sebesar 3,2 %, dengan angka kematian diare balita sebesar 23/ 100.000 penduduk pada laki-laki dan 24/100.000 penduduk pada perempuan, dari data tersebut kita dapat mengukur berapa kerugian yang ditimbulkan apabila pencegahan diare tidak dilakukan dengan semaksimal mungkin dengan mengantisipasi faktor risiko apa yang mempengaruhi terjadinya diare pada balita.
Faktor risiko yang sangat berpengaruh untuk terjadinya diare pada balita yaitu status kesehatan lingkungan (penggunaan sarana air bersih, jamban keluarga, pembuangan sampah, pembuangan air limbah) dan perilaku hidup sehat dalam keluarga. Sedangkan secara klinis penyebab diare dapat dikelompokkan dalam enam kelompok besar yaitu infeksi (yang meliputi infeksi bakteri, virus dan parasit), malabsorpsi, alergi, keracunan (keracunan bahan-bahan kimia, keracunan oleh racun yang dikandung dan diproduksi baik jazad renik, ikan, buah-buahan, sayur-sayuran, algae dll), imunisasi, defisiensi dan sebab-sebab lain.
Upaya pemerintah dalam menanggulangi penyakit diare, terutama diare pada balita sudah dilakukan melalui peningkatan kondisi lingkungan baik melalui program proyek desa tertinggal maupun proyek lainnya, namun sampai saat ini belum mencapai tujuan yang diharapkan, karena kejadian penyakit diare masih belum menurun. Apabila diare pada balita ini tidak ditangani secara maksimal dari berbagai sektor dan bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja tetapi masyarakatpun diharapkan dapat ikut serta menanggulangi dan mencegah terjadinya diare pada balita ini, karena apabila hal itu tidak dilaksanakan maka dapat menimbulkan kerugian baik itu kehilangan biaya untuk pengobatan yang cukup besar ataupun dapat pula menimbulkan kematian pada balita yang terkena diare.
Kejadian Diare juga menpunyai trend yang semakin naik pada periode tahun 1996-2006. Sedangkan dari tahun 2006 sampai tahun 2010 terjadi sedikit penurunan angka kesakitan, yaitu dari 423 menjadi 411 per 1000 penduduk. Hasil Survei Morbiditas Diare dari tahun 2000 s.d 2010. Kejadian Diare juga menpunyai trend yang semakin naik pada periode tahun 1996-2006. Sedangkan dari tahun 2006 sampai tahun 2010 terjadi sedikit penurunan angka kesakitan, yaitu dari 423 menjadi 411 per 1000 penduduk. Hasil Survei Morbiditas Diare dari tahun 2000 s.d 2010 Penyakit diare termasuk dalam 10 penyakit yang sering menimbulkan kejadian luar biasa. Berdasarkan laporan Surveilans Terpadu Penyakit bersumber data KLB (STP KLB) tahun 2010, diare menempati urutan ke 6 frekuensi KLB terbanyak setelah DBD, Chikungunya, Keracunan makanan, Difteri dan Campak. Keadaan ini tidak berbeda jauh dengan tahun 2009, menurut data STP KLB 2009 , KLB diare penyakit ke 7 terbanyak yang menimbulkan KLB. data STP KLB tahun 2010 menurut provinsi. Sebagian besar provinsi (82%) sudah memiliki kelengkapan data sebesar 100%, sebagian kecil memiliki kelengkapan < 90% (3 provinsi dengan kelengkapan data antara 60-89% dan 1 provinsi dengan kelengkapan data 0,1-59 %). Dua provinsi yang tidak melaporkan STP KLB yaitu provinsi Jawa Tengah dan provinsi Papua. Beberapa hal yang diidentifikasi sebagai masalah antara lain tidak adanya format yang sesuai standar, perbedaan format pelaporan KLB antara provinsi dengan kabupaten dan lain-lain. Jumlah kasus KLB Diare pada tahun 2010 sebanyak 2.580 dengan kematian sebesar 77 kasus (CFR 2.98%). Hasil ini berbeda dengan tahun 2009 dimana kasus pada KLB diare sebanyak 3.037 kasus, kematian sebanyak 21 kasus (CFR 0.69%). Perbe-daan ini tentu saja perlu dilihat dari berbagai faktor, terutama kelengkapan laporannya. Selain itu faktor perilaku kesadaran dan pengetahuan masyarakat, ketersediaan sumber air bersih, ketersediaan jamban keluarga dan jangkauan layanan kesehatan perlu dipertimbangkan juga sebagai faktor yang mempengaruhi kejadian luar biasa diare
Dengan memperhatikan data-data tersebut diatas dimana di wilayah kerja Kabupaten kasus diare masih tinggi (34.464 kasus, diare balita sebanyak 29,51 % dari seluruh kasus diare), padahal cakupan sarana kesehatan lingkungan sudah cukup memadai (cakupan air bersih 64,19 %, cakupan jamban keluarga 87,43 % dan rumah sehat 83,97 %). Untuk mengetahui kenapa penyakit diare pada balita di wilayah kerja Kabupaten masih tinggi, maka dilakukan penelitian ini, berdasarkan latar belakang diatas kami akan mencari faktor risiko apa saja yang mempengaruhi terjadinya penyakit diare terutama diare balita.
Berdasarkan data diatas maka penulis tertarik meneliti tentang masalah tersebut dengan judul Gambaran epidemiologi penyakit diare di Kabupaten.
1.2. Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah tempat, waktu, golongan usia, jenis kelamin, yang mengambarkan keadaan epidemiologi penyakit diare.
1.3. Ruang Lingkup Penelitian.
Mengingat keterbatasan biaya dan tenaga, maka penelitian ini hanya dibatasi pada Gambaran epidemiologi penyakit diare yang dilihat dari segi tempat, waktu, golongan usia, jenis kelamin.
1.4. Tujuan Penelitian.
1.4.1.    Tujuan Umum.
Untuk mengetahui Gambaran epidemiologi penyakit diare.

1.4.2.   Tujuan Khusus.
1.4.2.1.    Mengetahui Gambaran epidemiologi penyakit diare Tahun 2009-2011 berdasarkan tempat (Puskesmas)
1.4.2.2.      Mengetahui Gambaran epidemiologi penyakit diare berdasarkan waktu (bulanan)
1.4.2.3.      Mengetahui Gambaran epidemiologi penyakit diare berdasarkan golongan usia.
1.4.2.4.      Mengetahui Gambaran epidemiologi penyakit diare dari segi jenis kelamin.
1.5.  Manfaat Penelitian.
1.5.1.  Manfaat Praktis.
Sebagai bahan masukan dan tambahan informasi tentang epidemiologi penyakit diare bagi Dinas Kesehatan serta Instansi terkait lainnya yang mempunyai kebijakan dan tanggung jawab terhadap permasalahan kesehatan masyarakat.
1.5.2.  Manfaat Teoritis.
Untuk mengaplikasikan dan memperdalam ilmu yang telah diperoleh pada serta menambah wawasan penulis dan untuk melatih penulis dalam melakukan penelitian yang benar. Sebagai bahan tambahan dalam perpustakaan.





















BAB II.
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1.  Epidemiologi
2.1.1.      Pengertian
 “Epidemiologi” berasal dari dari kata Yunani epi= atas, demos= rakyat, populasi manusia, dan logos = ilmu (sains), bicara. Secara etimologis epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari faktor-faktor yang berhubungan dengan peristiwa yang banyak terjadi pada rakyat, yakni penyakit dan kematian yang diakibatkannya yang disebut epidemi. Kata “epidemiologi” digunakan pertama kali pada awal abad kesembilanbelas (1802) oleh seorang dokter Spanyol bernama Villalba dalam tulisannya bertajuk Epidemiología Española (Buck et al., 1998). Tetapi gagasan dan praktik epidemiologi untuk mencegah epidemi penyakit sudah dikemukakan oleh “Bapak Kedokteran” Hippocrates sekitar 2000 tahun yang lampau di Yunani. Hippocrates mengemukakan bahwa faktor lingkungan mempengaruhi terjadinya penyakit. Dengan menggunakan Teori Miasma Hippocrates menjelaskan bahwa penyakit terjadi karena “keracunan” oleh zat kotor yang berasal dari tanah, udara, dan air. Karena itu upaya untuk mencegah epidemi penyakit dilakukan dengan cara mengosongkan air kotor, membuat saluran air limbah, dan melakukan upaya sanitasi (kebersihan). Teori Miasma terus digunakan sampai dimulainya era epidemiologi modern pada paroh pertama abad kesembilanbelas ( Bhisma Murti, 2007).
 Mula-mula epidemiologi hanya mempelajari epidemi penyakit infeksi. Kini epidemiologi tidak hanya mendeskripsikan dan meneliti kausa penyakit epidemik (penyakit yang “berkunjung” secara mendadak dalam jumlah banyak melebihi perkiraan normal) tetapi juga penyakit endemik (penyakit yang “tinggal” di dalam populasi secara konstan dalam jumlah sedikit atau sedang). Epidemiologi tidak hanya mempelajari penyakit infeksi tetapi juga penyakit non-infeksi. Menjelang pertengahan abad keduapuluh, dengan meningkatnya kemakmuran dan perubahan gaya hidup, terjadi peningkatan insidensi penyakit kronis di negara-negara Barat. Sejumlah riset epidemiologi lalu dilakukan untuk menemukan kausa epidemi penyakit kronis. Epidemiologi penyakit kronis menggunakan paradigma “Black box”, yakni meneliti hubungan antara paparan di tingkat individu (diare, diet) dan risiko terjadinya penyakit kronis, tanpa perlu mengetahui variabel antara atau patogenesis dalam mekanisme kausal antara paparan dan terjadinya penyakit. Upaya pencegahan penyakit kronis dilakukan dengan cara mengontrol faktor risiko, yaitu mengubah perilaku dan gaya hidup (merokok, diet, olahraga, dan sebagainya) ( Bhisma Murti, 2007).
Epidemiologi merupakan disiplin ilmu inti dari ilmu kesehatan masyarakat (public health). Profesor Sally Blakley dalam kuliah pengantar epidemiologi pada Tulane School of Public Health and Tropical Medicine, New Orleans, pada 1990 menyebut epidemiologi ”the mother science of public health” (Blakley, 1990). Kesehatan masyarakat bertujuan melindungi, memeli-hara, memulihkan, dan meningkatkan kesehatan populasi. Sedang epidemiologi memberikan kontribusinya dengan mendeskripsikan distribusi penyakit pada populasi, meneliti paparan faktor-faktor yang mempengaruhi atau menyebabkan terjadinya perbedaan distribusi penyakit tersebut. Pengetahuan tentang penyebab perbedaan distribusi penyakit selanjutnya digunakan untuk memilih strategi intervensi yang tepat untuk mencegah dan mengendalikan penyakit pada populasi, dengan cara mengeliminasi, menghindari, atau mengubah faktor penyebab tersebut.
Pada 1983 International Epidemiological Association mendefinisikan epidemiologi "the study of the distribution and determinants of health-related states or events in specified populations, and the application of this study to control of health problems” - Epidemiologi adalah “studi tentang distribusi dan determinan keadaan dan peristiwa terkait kesehatan pada populasi, dan penerapannya untuk mengendalikan masalah kesehatan” (Last, 2001).
Epidemiologi merupakan sains. Sains berkembang untuk 3 tujuan utama: menjelaskan (explanation), memprediksi (prediction), dan mengendalikan (control) (Strevens, 2011). Jadi bukan sains jika tidak bertujuan untuk menjelaskan terjadinya fenomena, meramalkan fenomena, mengontrol fenomena tersebut agar bermanfaat bagi manusia dan tidak merugikan manusia. Untuk menjelaskan, memprediksi, dan mengontrol fenomena, sains menggunakan metode ilmiah (scientific method). Demikian pula sebagai sebuah sains, epidemiologi menggunakan metode ilmiah untuk menjelaskan distribusi dan determinan penyakit, meramalkan terjadinya penyakit, dan menemukan
strategi yang tepat untuk mengontrol terjadinya penyakit pada populasi sehingga tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat yang penting (Slattery, 2002). Metode ilmiah meliputi perumusan masalah penelitian, pengujian hipotesis, pengumpulan data melalui pengamatan dan eksperimentasi, penafsiran data, dan penarikan kesimpulan yang logis. Metode ilmiah berguna untuk menarik kesimpulan yang benar (valid) dan dapat diandalkan dalam jangka panjang (reliable, consistent, reproducible).
2.1.2. Keadaan dan peristiwa terkait kesehatan.
Epidemiologi mempelajari tidak hanya penyakit tetapi juga aneka keadaan dan peristiwa terkait kesehatan, meliputi status kesehatan, cedera (injuries), dan berbagai akibat penyakit seperti kematian, kesembuhan, penyakit kronis, kecacatan, disfungsi sisa, komplikasi, dan rekurensi. Keadaan terkait kesehatan meliputi pula perilaku, penyediaan dan penggunaan pelayanan kesehatan.
2.1.3. Distribusi.
Distribusi (penyebaran) penyakit pada populasi dideskripsikan menurut orang (person), tempat (place), dan waktu (time). Artinya, epidemiologi mendeskripsikan penyebaran penyakit pada populasi menurut faktor sosio-ekonomi-demografi-geografi, seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, jenis pekerjaan, pendapatan, ras, keyakinan agama, pola makan, kebiasaan, gaya hidup, tempat tinggal, tempat bekerja, tempat sekolah, dan waktu terjadinya penyakit.
Studi epidemiologi yang mempelajari distribusi penyakit pada populasi disebut epidemiologi deskriptif. Dengan epidemiologi deskriptif dapat diketahui besarnya beban penyakit (disease burden) pada populasi tertentu, yang berguna untuk menentukan diagnosis masalah kesehatan pada populasi dan menetapkan prioritas masalah kesehatan. Pengetahuan itu selanjutnya dapat digunakan untuk membuat rencana alokasi sumber daya yang diperlukan untuk mengatasi masalah kesehatan. Studi epidemiologi deskriptif juga berguna untuk merumuskan hipotesis tentang determinan penyakit.
2.1.4. Determinan.
Epidemiologi mempelajari determinan penyakit pada populasi, disebut epidemiologi analitik. Determinan merupakan faktor, baik fisik, biologis, sosial, kultural, dan perilaku, yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit. Determinan merupakan istilah yang inklusif, mencakup faktor risiko dan kausa penyakit. Faktor risiko adalah semua faktor yang berhubungan dengan meningkatnya probabilitas (risiko) terjadinya penyakit. Untuk bisa disebut faktor risiko, sebuah faktor harus berhubungan dengan terjadinya penyakit, meskipun hubungan itu tidak harus bersifat kausal (sebab-akibat) (Last, 2001). Contoh, tekanan darah tinggi, kadar kolesterol tinggi, dan kebiasaan merokok tembakau, merupakan faktor risiko penyakit jantung koroner, karena faktor-faktor tersebut berhubungan dengan meningkatnya risiko terjadinya penyakit jantung koroner. Usia muda merupakan faktor risiko campak, karena populasi berusia muda belum memiliki imunitas yang dibentuk dari paparan dengan epidemi campak sebelumnya, sehingga memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami campak. 
Faktor risiko dapat dibedakan menjadi faktor risiko yang dapat diubah (modifiable risk factor) dan faktor risiko yang tak dapat diubah (unmodifiable risk factor). Contoh, kebersihan merupakan faktor risiko penyakit diare yang dapat diubah, karena kebisaan kotor bisa dihentikan. Usia merupakan faktor risiko diare yang tidak dapat diubah. Orang berusia dibawah 5 tahun memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami diare daripada usia lebih dari 5 tahun, tetapi usia tidak bisa diubah.
Sebaliknya, semua faktor yang berhubungan dengan berkurangnya risiko untuk terjadinya penyakit disebut faktor protektif. Contoh, vaksin, kolesterol HDL, kebersihan, merupakan faktor protektif.
Kedekatan (proximity) individu dengan suatu determinan penyakit sehingga individu dapat berisiko mengalami penyakit disebut paparan (exposure). Epidemiologi analitik mempelajari hubungan kausal (sebab-akibat) antara paparan suatu determinan dan terjadinya penyakit. Paparan merupakan konsep yang penting dalam epidemiologi, karena paparan merupakan prasyarat bagi determinan penyakit untuk bisa mulai menyebabkan penyakit, atau memulai terjadinya infeksi pada penyakit infeksi. Jika terdapat determinan, faktor risiko, dan kausa penyakit, tetapi tidak terdapat paparan (kedekatan) individu dengan determinan itu, maka individu tidak akan mengalami penyakit. Pengetahuan tentang paparan suatu faktor sebagai kausa penyakit berguna untuk mencegah dan mengendalikan penyakit pada populasi, dengan cara mengeliminasi, menghindari, atau mengubah kausa.
Dua asumsi digunakan dalam epidemiologi deskriptif dan analiitik. Pertama, penyakit tidak terjadi secara random (acak) melainkan secara selektif terkait dengan faktor penyebab penyakit. Artinya, penyakit pada populasi tidak terjadi secara kebetulan, melainkan berhubungan dengan faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit, disebut determinan penyakit. Kedua, faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit dapat diubah sehingga dapat dilakukan upaya pengendalian dan pencegahan penyakit pada populasi (Hennekens dan Buring, 1987).
2.2.   Studi Deskriptif  Epidemiologi.
Menurut (Budiarto, 2005) analisa deskriptif epidemiologi  dibagi berdasarkan variavel orang, tempat dan waktu.
2.2.1. Variabel orang
Untuk mengidentifisi seseorang dengan variabel yang tak terhingga banyaknya, tetapi hendaknya dipilih variabel yang dapat digunakan sebagai indikator. Untuk menentikan ciri seseorang. Untuk menentukan indikator maka hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan, kemampuan serta sarana yang tersedia. Variabel orang adalah umur, jenis kelamin, suku bangsa, sosial ekonomi, budaya/agama, pekerjaan, status marital, dan golongan darah (Budiarto, 2005) dalam penelitian ini peneliti hanya meneliti variabel umur dan jenis kelamin.

a.       Umur
Variabel umur merupakan hal yang penting karena semua rate morbilitas dan rate mortalitas yang dilaporkan hampis selalu berhubungan dengan umur.
Walaupun secara umum kematian dapat terjadi pada semua golongan umur, tetapi dari berbagai catatan diketahui bahwa frekuensi kematian pada setiap golongan umur berbeda-beda, yaitu kematian tertinggi terjadi pada golongan umur 0-5 tahun dan kematian terendah berada pada golongan umur 15-25 tahun dan meningkat kembali pada usia diatas 40 tahun.
Hubungan antara umur dan penyakit tidak hanya  pada frekuensinya saja, tetapi pada tingkat beratnya penyakit, misalnya strepcocos dan e coli akan menjadi lebih berat bila menyerang bayi dari pada golongan umur lain karena bayi masih sangat rentan terhadap inifeksi.
b.      Jenis kelamin
Secara umum setiap penyakit dapat menyerang manusia baik laki-laki maupun perempuan, tetapi pada beberapa penyakit terdapat perbedaan frekuensi antara laki-laki dengan perempuan.
Hal ini antara lain disebabkan perbedaan pekerjaan, kebiasaan hidup, genetika atau kondisi fisiologis. Penyekit-penyakit yang lebih banyak menyerang perempuan dari pada laki-laki antara lain, diabetes militus, obesitas dan remation artitis.
Selain itu terdapat pula penyakit yang hanya menyerang perempuan seperti karsioma mamae, karsioma serviks. Penyakit-panyakit yang lebih banyak menyerang laki-laki dari pada perempuan antara lain penyakit jantung, infark miokar, karsioma paru dan hernia, sedangkan penyakit yang hanya menyerang laki-laki seperti karsioma penis, ortitis dan karsioma prostat.
2.2.2. Variabel tempat
Variabel tempat merupakan salah satu variabel yang penting dalam epidemiologi deskriptif karena pengetahuan tentang tempat atu kejadian penyakit atau tempat-tempat lokasi penyakit endemis sangat dibutuhkan ketika melakukan penelitian dan sebaran berbagai penyakit diwilayah tertentu berdasarkan:
a.       Geografis, yang ditentukan berdasarkan alamiah, administratif atau fisik, institusi. Dengan batas alamiah dapat dibedakan negara yang beriklim tropis, subtropis dan negara yang beriklim empat. Batas administrasi dapat ditentukan batas propinsi, kabupaten, kecamatan dan desa.
b.      Batas institusi dapat berupa industri, sekolah atau kantor dan lain sebagainya.
2.2.3. Variabel waktu
Variabel waktu merupakan hal yang harus diperhatikan ketika melkukan analisa morbilitas dalam studi epidemiologi karena pencatatan dan pelaporan insiden dan prevalensi selalu didasarkan pada waktu, apakah mingguan, bulanan atau tahunan.
Laporan morbiditas ini menjadi sangat penting artinya dalam epidemiologi didasarkan pada kejadian yang nyata dan bukan berdasarkan perkiraan atau estimasi. Selain itu, dengan pencatatan dari laporan morbilitas dapat diketahui adanya perubahan-perubahan insidensi dan prevalensi penyakit hingga hasilnya dapat digunakan untuk menyusun perencanaan dan penanggulangan masalah kesehatan.
Mempelajari morbilitas berdasarkan waktu juga penting untuk mengetahui hubungan antara waktu dan insiden penyakit atau fenomena lain. Fluktuasi insiden penyakit terdiri dari:
a.       Kecendrungan sekuler
b.      Variasi siklik
c.       Variasi musim, dan
d.      Variasi random.
2.3. Penyakit Diare
2.3.1. Pengertian
Diare atau penyakit diare (Diarrheal disease) berasal dari bahasa Yunani yaitu “diarroi” yang berarti mengalir terus, merupakan keadaan abnormal dari pengeluaran tinja yang terlalu frekuen.8,9,42 Terdapat beberapa pendapat tentang definisi penyakit diare. Menurut Hippocrates definisi diare yaitu sebagai suatu keadaan abnormal dari frekuensi dan kepadatan tinja, Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia, diare atau penyakit diare adalah bila tinja mengandung air lebih banyak dari normal. Menurut WHO diare adalah berak cair lebih dari tiga kali dalam 24 jam, dan lebih menitik beratkan pada konsistensi tinja dari pada menghitung frekuensi berak. Ibu-ibu biasanya sudah tahu kapan anaknya menderita diare, mereka biasanya mengatakan bahwa berak anaknya encer atau cair. Menurut Direktur Jenderal PPM dam PLP, diare adalahnpenyakit dengan buang air besar lembek/ cair bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (biasanya 3 kali atau lebih dalam sehari)
Diare disebabkan oleh infeksi atau penyakit-penyakit yang menyebabkan kelebihan produksi cairan atau mencegah asupan cairan, karena bakteri (E.Coli, Shigella, Salmonella, Vibrio, Yersinia dan Campylobakter), Virus (Rotavirus, Norwalk virus, Adenovirus) atau parasit (Amuba, Giardia lambii) bisa juga disebabkan oleh
-          Alergi protein air susu sapi
-          Intoleransi karbohidrat
-          Malabsobsi korbohidrat, lemak dan protein
-          Keracunan makanan, Zat kimia beracun, toksin mikroorganisme, Clostridium perfringent, stafilokokus.
-          Imunodefisiensi.
Komplikasi terhadap diare dapat terjadi: Dehidrasi gangguan keseimbangan asam basa, gangguan keseimbangan elektrolit, ketidak teratruran nutrisi dan anemia. (Rosa, 2004)
     2.3.2. Klasifikasi Diare
Sebahagian besar diare yang menyebabkan dehidrasi adalah diare yang sangat encer, klasifikasi Diare adalah sebagai berikut:
-          Bakteri penyebab diare di sebabkan oleh kolera.
-          Diare Persisten adalah diare yang berlangsung lebih dari 14 hari, sekitar 20% diare berlanjut menjadi diare persisten yang sering kali menyebabkan kurang gizi dan kematian.
-          Disentri adalah diare yang disertai darah dalam tinja terkadang diserta dengan lendir. Pada umumnya disentri disebabkan oleh Shigela. Disentri amuba biasanya tidak terjadi pada anak kecil. Seorang anak bisa saja sekaligus menderita diare cair dan disentri (Depkes RI,2005) 
2.3.3.      Penilaian Diare
Anak yang menderita diare dinilai dalam hal :
-          Berapa lama anak menderita diare
-          Adakah darah dalam tinja untuk menentukan apakah anak menderita disentri.
-          Adakah tanda-tanda dehidrasi (Depkes RI, 2005)
2.3.4. Faktor resiko diare
Secara umum faktor risiko Diare pada dewasa yang sangat berpengaruh terjadinya penyakit Diare yaitu faktor lingkungan (tersedianya air bersih , jamban keluarga, pembuangan sampah, pembuangan air limbah), perilaku hidup bersih dan sehat, kekebalan tubuh, infeksi saluran pencernaan, alergi, malabsorpsi, keracunan, immuno defisiensi serta sebab-sebab lain. Sedangkan pada balita faktor risiko terjadinya Diare selain factor intrinsik dan ekstrinsik juga sangat dipengaruhi oleh prilaku ibu atau pengasuh balita karena balita masih belum bisa menjaga dirinya sendiri dan sangat tergantung pada lingkungannya, jadi apabila ibu balita atau pengasuh balita tidak bisa mengasuh balita dengan baik dan sehat maka kejadian Diare pada balita tidak dapat dihindari.
Penularan penyakit Diare pada balita biasanya melalui jalur fecal oral terutama karena :
1. Menelan makanan yang terkontaminasi (makanan sapihan dan air)
2. Kontak dengan tangan yang terkontaminasi
3. Beberapa faktor yang berkaitan dengan peningkatan kuman perut :
         a. Tidak memadainya penyediaan air bersih
         b. Kekurangan sarana kebersihan dan pencemaran air oleh tinja
         c. Penyiapan dan penyimpanan makanan tidak secara semestinya.
4. Tindakan penyapihan yang jelek (penghentian ASI yang terlalu dini, susu botol, pemberian ASI yang diselang-seling dengan susu botol pada 4-6 bulan pertama).
Beberapa ahli berpendapat bahwa kejadian diare disamping dipengaruhi oleh faktor-faktor diatas juga dapat dipengaruhi oleh factor lain diantaranya adalah :
1) Faktor infeksi.
Faktor infeksi penyebab diare dapat dibag dalam infeksi parenteral dan infeksi enteral. Di Negara berkembang campak yang disertai dengan diare merupakan faktor yang sangat penting pada morbiditas dan mortalitas anak. Walaupun mekanisme sinergik antara campak dan diare pada anak belum diketahui, diperkirakan kemungkinan virus campak sebagai penyebab diare secara enteropatogen. Walaupun diakui pada umumnya bahwa enteropatogen tersebut biasanya sangat kompleks dan dipengaruhi oleh faktor-faktor umur, tempat, waktu dan keadaan sosio ekonomi.
2) Faktor umur
Semakin muda umur balita semakin besar kemungkinan terkena diare, karena semakin muda umur balita keadaan integritas mukosa usus masih belum baik, sehingga daya tahan tubuh masih belum sempurna. Kejadian diare terbanyak menyerang anak usia 7 – 24 bulan, hal ini terjadi karena :
- Bayi usia 7 bulan ini mendapat makanan tambahan diluar ASI dimana risiko ikut sertanya kuman pada makanan tambahan adalah tinggi (terutama jika sterilisasinya kurang).
- Produksi ASI mulai berkurang, yang berarti juga anti bodi yang masuk bersama ASI berkurang. Setelah usia 24 bulan tubuh anak mulai membentuk sendiri anti bodi dalam jumlah cukup (untuk defence mekanisme), sehingga serangan virus berkurang.
3) Faktor status gizi.
Pada penderita kurang gizi serangan diare terjadi lebih sering terjadi. Semakin buruk keadaan gizi anak, semakin sering dan berat diare yang diderita. Diduga bahwa mukosa penderita malnutrisi sangat peka terhadap infeksi karena daya tahan tubuh yang kurang. Status gizi ini sangat dipengaruhi oleh kemiskinan, ketidak tahuan dan penyakit. Begitu pula rangkaian antara pendapatan, biaya pemeliharaan kesehatan dan penyakit, keadaan sosio ekonomi yang kurang, hygiene sanitasi yang jelek, kepadatan penduduk rumah, pendidikan tentang pengertian penyakit, cara penanggulangan penyakit serta pemeliharaan kesehatan
4) Faktor lingkungan
Penularan penyakit diare sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dimana sebagian besar penularan melalui faecal oral yang sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sarana air bersih dan jamban keluarga yang memenuhi syarat kesehatan serta perilaku hidup sehat dari keluarga
Oleh karena itu dalam usaha mencegah timbulnya diare yaitu dengan melalui penyediaan fasilitas jamban keluarga yang disertai dengan penyediaan air yang cukup, baik kuantitas maupun kualitasnya. Upaya tersebut harus diikuti dengan peningkatan pengetahuan dan sosial ekonomi masyarakat, karena tingkat pendidikan dan ekonomi seseorang dapat berpengaruh pada upaya perbaikan lingkungan.
5) Faktor susunan makanan
Faktor susunan makanan berpengaruh terhadap terjadinya diare disebabkan karena kemampuan usus untuk menghadapi kendala baik itu yang berupa :
a. Antigen : susunan makanan mengandung protein yang tidak homolog sehingga dapat berlaku sebagai antigen. Lebih-lebih pada bayi dimana kondisi ketahanan local usus belum sempurna sehingga terjadi migrasi molekul makro.
b. Osmolaritas : susunan makanan baik berupa formula susu maupun makanan padat yang memberikan osmolaritas yang tinggi sehingga dapat menimbulkan diare.
c. Malabsorpsi : kandungan nutrient makanan yang berupa karbohidrat, lemak maupun protein dapat menimbulkan intoleransi, malabsorpsi maupun alergi sehingga terjadi diare pada balita.
d. Mekanik : kandungan serat yang berlebihan dalam susunan makanan secara mekanik dapat merusak fungsi usus sehingga timbul diare.
2.4.      Kerangka Teoritis.


 

















0 komentar:

Post a Comment