This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Monday 21 January 2013

Acute Flaccide Paralysis (AFP)



Acute Flaccide Paralysis (AFP) adalah suatu kelumpuhan yang sifatnya mendadak dan layuh, biasanya menyerang satu tungkai, lemas sampai tidak ada gerakan, otot bisa mengecil, reflek fisiologis dan refleks patologis negative (Widoyono, 2008).
Poliomilitis adalah penyakit menular yang akut disebabkan oleh virus dengan predileksi pada sel anterior massa kelabu sumsum tulang belakang dan inti motorik batang otak, dan akibat kerusakan bagian susunan syaraf tersebut akan terjadi kelumpuhan serta autropi otot (Defka, 2006).
Poliomielitis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi virus polio dan biasanya menyerang anak-anak dengan gejala lumpuh layuh akut (AFP= Acute Flaccid Paralysis). Program eradikasi polio global telah dicanangkan oleh WHO dengan target dunia bebas polio tahun 2008, sedangkan Indonesia bebas polio ditargetkan pada tahun 2005. WHO menyatakan bahwa Indonesia harus melaksanakan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) yang ke IV. Oleh karena itu Indonesia melaksanakan PIN IV pada bulan September dan Oktober 2002 (2). PIN dimaksudkan untuk meningkatkan status antibodi anak balita sehingga dapat memutus sirkulasi virus polio liar di masyarakat..
(Defka, 2006)
Penyebab Acute Flaccide Paralysis (AFP) adalah virus polio termasuk genus enterovirus, terdapat tiga tipe yaitu tipe 1,2,dan 3 ketiga virus ini menyebabkan kelumpuhan. Tipe 1 adalah tipe yang paling mudah diisolasi, diikuti tipe 3, sedangkan tipe 2 paling jarang iisolai. Tipa yang paling sering menyebabkan bawah adalah tipe 1 (Widoyono, 2008).
Keadaan dehidrasi dapat timbul akibat demam tinggi, anokersia dan muntah. Pasien perlu diberi minum banyak, 50 ml/kgBB dalam 4-6 jam pertama berupa air teh dengan gula, sirup, susu, sari buah atau oralit. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi, berikan cairan rumatan 80-100 ml/KgBB dalam 24 jam berikut.
Gejala klinis Poliomielitis terbagi menjadi empat bagian yaitu: Poliomielitis asimtomatis : Setelah masa inkubasi 7-10 hari, tidak terdapat gejala karena daya tahan tubuh cukup baik, maka tidak terdapat gejala klinik sama sekali. Poliomielitis abortif : Timbul mendadak langsung beberapa jam sampai beberapa hari. Gejala berupa infeksi virus seperti malaise, anoreksia, nausea, muntah, nyeri kepala, nyeri tenggorokan, konstipasi dan nyeri abdomen.
Poliomielitis non paralitik : Gejala klinik hamper sama dengan poliomyelitis abortif , hanya nyeri kepala, nausea dan muntah lebih hebat. Gejala ini timbul 1-2 hari kadang-kadang diikuti penyembuhan sementara untuk kemudian remisi demam atau masuk kedalam fase ke2 dengan nyeri otot.
(Defka, 2006)
Peran utama dari perawat adalah sebagai pelaksana asuhan keperawatan kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat baik yang sehat maupun yang sakit atau yang mempunyai masalah kesehatan/keperawatan apakah itu dirumah, disekolah, puskesmas, panti dan sebagainya sesuai dengan kebutuhan. (Efendi, 2002).
Masalah keperawatan yang timbul pada anak dengan Acute Flaccide Paralysis (AFP) adalah Nyeri, hipertermia, kurang nutrisi (kurang dari kebutuhan) intoleransi aktifitas dan kurangnya pengetahuan keluarga tentang penyakit (Defka, 2006).
Penanganan Acute Flaccide Paralysis (AFP) minum banyak 1,5-2 liter/24 jam dengan ait teh, gula, atau susu, Antipiretik jika terdapat demam, Antikonvulsan jika terdapat kejang, pemberian cairan melalui infus, dilakukan jika pasien mengalami kesulitan minum dandan nilai hematokrit cenderung meningkat. (Suriadi, 2001).

Tumor Laring



Larinx organ suara, saluran yang terletak di antara faring bagian bawah dengan trakea, terdiri atas pita suara dan dibentuk oleh sembilan cartilago, cartilago thyroidea, cricoidea dan epiglottis dan sepanjang cartilago arytenoidea, corniculata dan cuneifotris (Dorland, 2011)
Tumor ganas laring merupakan tumor ganas ketiga menurut jumlah tumor ganas di bidang THT dan lebih banyak terjadi pada pria berusi 50-70 tahun yang tersering adalah jenis karsinoma sel skuamosa (Manjoer, 2001)
Faktor predisposisi  adalah merokok, alkohol dan paparan sinar radioaktif, manifestasi klinis suara parau diderita cukup lama tidak hilang timbul, makin lama makin berat kadang terdapat hemoptisis. Sesak nafas akibat tertutupnya jalan nafas oleh tumor, batuk dengan riak bercampur darah, dan penurutan berat badan (Manjoer, 2001)
Etiologi karsinoma laring belum diketahui dengan pasti.  Dikatakan oleh para ahli bahwa perokok dan peminum alkohol merupakan kelompok orang-orang dengan resiko tinggi terhadap karsinoma laring.  Penelitian epidemiologik menggambarkan beberapa hal yang diduga menyebabkan terjadinya karsinoma laring yang kuat ialah rokok, alkohol dan terpapar oleh sinar radioaktif. (Hidayat, 2008)
Tumor ini dapat digolongkan dalam 2 jenis Papiloma laring juvenil, ditemukan pada anak, biasanya berbentuk multipel dan mengalami regresi pada waktu dewasa. Pada orang dewasa biasanya berbentuk tunggal, tidak akan mengalami resolusi dan merupakan prekanker  (Tjokronego, 2000).
Pembesaran tonsil diukur menurut derajatnya terhadap uvula. Semakin besar, akan semakin mendekati ukula. Besar tonsil ditentukan sebagai berikut: T0 tonsil didalam fosa tonsil atau telah diangkat, T1 bila besarnya ¼ jarak arkus anterior dan uvula. T2 Bila besarnya 2/4 Jarak arkus anterior dan uvula. T3 bila besarnya ¾ jarak arkus anterior dan uvula. T4 bila besarnya mencapai arkus anterior atau lebih (Hidayat, 2008).
Gejala papiloma laring yang utama ialah suara parau.  Kadang-kadang terdapat pula batuk.  Apabila papiloma telah menutup rima glotis maka timbul sesak nafas dengan stridor (Hidayat, 2008).
Peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan pada pasien Tn. N dengan Tumor Laring  ini dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses perawatan sehingga dapat ditentukan diagnosa keperawatan agar bisa direncanakan dan dilaksanakan tindakan yang dilakukan berupa pemasangan infus, memberian obat secara oral yang tepat sesuai dengan tingkat kebutuhan dasar manusia. Kemudian dapat dievaluasi tingkat perkembangannya. Pemberian asuhan keperawatan ini dilakukan dari yang sederhana sampai dengan kompleks. (A. Aziz, 2004).

KETUBAN PECAH DINI



A. Konsep Ketuban Pecah Dini
Ketuban dinyatakan pecah dini bila terjadi sebelum proses persalinan berlangsung. Ketuban pecah dini merupakan masalah penting dalam obstetri berkaitan dengan penyulit kelahiran prematur dan terjadinya infeksi khorioamnionitis sampai sepsis yang meningkatkan morbiditas dan mortilitas perinatal, dan menyebabkan  infeksi ibu. Ketuban pecah dini disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan membran atau meningkatnya takanan intrauterin atau oleh kedua faktor tersebut. Berkurangnya kekuatan membran disebabkan oleh adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina dan serviks. Penanganan ketuban pecah dini memerlukan pertimbangan usia gestasi; adanya infeksi pada koplikasi ibu dan janin, dan adanya tanda-tanda persalinan (Saifuddin, 2006).
Diagnosis membutuhkan melihat cairan amnion keluar dari serviks atau di dalam vagina, melakukan uji-coba reaksi pH basa (nitrazin positif), dan uji coba gambaran daun pakis (ferning). Ini harus dilaksanakan pada waktu melakukan pemeriksaan vagina dengan spekulum steril. Pada waktu pemeriksaan  pertama ini perlu dilakukan pemeriksaan kultur serviks terhadap streptokokus beta grup B, klamedia, dan gonore (pada populasi tertentu), memastikan tidak ada penumbungan tali pusat, dan mengetahui penipisan dan pembukaan serviks. Terjadinya infeksi kemudian mempunyai korelasi tinggi dengan jarak waktu (dalam jam) dari periksa dalam pertama. Oleh sebab itu periksa dalam harus dihindari kecuali pasien jelas berada dalam persalinan atau telah ada keputusan untuk melahirkan. Pemeriksaan ultrasonografi berguna untuk menentukan usia kehamilan, berat janin, volume cairan ketuban, letak janin, adanya kehamilan ganda, dan sembarang malformasi janin. Jika diagosis KPD disangsikan, pemasukan 35 mL larutan oftalmologik flouresents steril, yang diikuti dengan inspeksi ke dalam vagina di bawah sinar iluminasi gelap untuk menyaksikan ciri khas gambaran fluoresens, biasanya akan menjelaskan masalah (Rayburn, 2005).
Tanda-tanda dari ketuban pecah dini adalah Keluarnya cairan berupa air-air dari vagina setelah kehamilan berusia 22 minggu. Ketuban dinyatakan pecah dini jika terjadi sebelum proses persalinan berlangsung. Pecahnya selaput ketuban dapat terjadi pada kehamilan preterm sebelum kehamilan 37 minggu maupun kehamilan aterm (Manuaba, 2006)
1. Penilaian klinik
Menurut Saifuddin, 2006 penilaian klinik ketuban pecah dini adalah
a.    Tentukan pecahnya selaput ketuban. Ditentukan dengan adanya cairan ketuban di vagina, jika tidak ada dapat dicoba dengan gerakan sedikit bagian terbawah janin atau meminta pasien batuk atau mengedan. Penentuan cairan ketuban dapat dilakukan dengan tes lakmus (Nitrazin test) merah menjadi biru, membantu dalam menentukan jumlah cairan ketuban dan usia kehamilan, kelainan janin.
b.    Tentukan usia kehamilan, bila perlu dengan pemeriksaan USG.
c.    Tentukan ada tidaknya infeksi, tanda-tanda infeksi : bila suhu ibu ≥38◦c, air ketuban yang keruh dan berbau. Pemeriksaan air ketuban dengan tes LEA (Lekosit Esterase) Lekosit darah > 15.000/mm. Janin yang mengalami takhikardi, mungkin mengalami infeksi intrauterin.
d.   Tentukan tanda-tanda in partu. Tentukan adanya kontraksi yang teratur, periksa dalam dilakukan bila akan dilakukan penanganan aktif (terminasi kehamilan) antara lain untuk menilai skor pelvik.(Saifuddin, 2006)
Sedangkan menurut Manuaba (2006) Tanda ketuban pecah dini adalah
a.    Keluarnya cairan berupa air-air dari vagina setelah kehamilan berusia 22 minggu.
b.    Ketuban dinyatakan pecah dini jika terjadi sebelum proses persalinan berlangsung
c.    Pecahnya selaput ketuban dapat terjadi pada kehamilan preterm sebelum kehamilan 37 minggu maupun kehamilan aterm
       2. Penanganan
Menurut Manuaba, 2006 penanganan ketuban pecah dini adalah sebagai berikut:
-       Konfirmasi usia kehamilan, kalau ada dengan USG
-       Lakukan pemeriksaan inspekulo (dengan spekulum DTT) untuk  menilai cairan yang keluar (jimlah, warna, bau) dan membedakannya dengan urin.
-       Jika ibu mengeluh perdarahan pada akhir kehamilan (setelah 22 minggu), jangan lakukan pemeriksaan dalam secara digital
-       Tentukan ada tidaknya infeksi
-       Tentukan tanda-tanda inpartu
            Penanganan Khusus
Konfirmasi Diagnosis
-       Bau cairan ketuban yang khas
-       Jika keluarnyacairan ketuban sedikit-sedikit, tampung cairan yang keluar dan nilai 1 jam kemudian.
-       Dengan spekulum DTT, lakukan pemerikan inspekulo. Nilai apakah cairan keluar melalui ostium uteri atau terkumpul di forniks posterior.
Jika memungkinkan, lakukan :
-        Tes Lakmus (tes nitrazin), jika kertas lakmus merah berubah menjadi biru menunjukkan adanya cairan ketuban (alkalis). Darah dan infeksi vagina dapat menghsilkan tes yang positif palsu.
-        Tes Pakis, dengan meneteskan cairan ketuban pada gelas objek dan dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan kristal cairan amnion dan gambaran daun pakis (Manuaba, 2006)
Sedangkan menurut Rayburn, (2005) penanganan ketuban pecah dini adalah sebagai berikut:
-       Para dokter spesialis obstetri perlu mempertimbangkan risiko relatif prematuritas dan infeksi. Resiko ini bisa bervariasi pula menurut usia kehamilan. Bilamana mungkin, data setempat harus juga diperhatikan dalam membina sebuah protokol penanganan suatu institusi. Diskusi dengan para staf neonatus penting dan mendorong rujukan ibu ke pusat perawatan tingkat tiga jika diantisipasi akan terjadi sepsis pada bayi prematur. Namun adalah patut tetap sadar akan prinsip-prinsip umum tertentu.
-       Menetapkan tanggal sangat sukar setelah terjadi KPD. Oligohidromnion yang terjadi menekan tinggi fundus uteri dan mengganggu evaluasi ultrasonografi. Diamete bipariental dan lingkar perut bisa jadi lebih kecil secara palsu, tetapi pengukuran panjang femur biasanya relatif masih dapat dipercaya.
-       Status janin yang tidak  menyenangkan, terutama akibat tekanan tali pusat, jauh lebih sering terjadi daripada persalinan prematur idiopatik. Hal ini terutama benar jika ada kesalahan letak  anak (letak bokong, letak lintang dorsosuperior). Pada penderita yang janinnya tedlah mencapai usia kehamilan yang potensial untuk hidup, evaluasi pertama harus meliputi monitoring janin secara elektronik yang lama. Selanjutnya, wanita hamil itu diperintahkan mencatat gerakan janin harian, karena kegiatan janin tidak tergangguan oleh KPD. Uji-coba nonstres lama dan profil biofisik janin harus dilakukan pada interval 24-48 jam.
-       Banyak kasus KPD preterm, sebagaimana juga sepertiga kasus kelahiran prematur idiopatik, bisa jadi disebabkan oleh infeksi intraamnion subklinik. Produk asli tuan rumah (sitokin) yang dikeluarkan sebagai respon terhadap infeksi bisa juga didapat di dalam cairan amnion pasien-pasien ini. Sitokin-sitokin ini, meliputi interleukin-1, interleukin-6, interleukin-8, dan faktor nekrosis tumor (cachetin) adalah hasil sekresi aktivasi makrofag.
-       Diperlukan penyelidikan untuk mendeteksi infeksi intraamnion yang potensial. Suhu tubuh ibu harus sering diukur setiap hari. Adanya kenaikan hitung lekosit bisa melengkapi keterangan yang memperkuat adanya kenaikan hitung lekosit bisa melengkapi keterangan yang memperkuat adanya infeksi klinik yang diduga, tetapi telah berulang kali diperlihatkan bahwa tidaklah boleh memberikan nilai ramalan yang berlebihan daripada tanda-tanda klinis yang ada. Oleh sebab itu pemantauan dengan melakukan hitung darah harian tampaknya tidak dibenarkan. Walaupun tidak biasanya disuruh, uji-coba C-reaktif protein bisa melengkapi keterangan laboratorium lebih lanjut tentang infeksi dengan adanya kenaikan hitung lekosit. Amniosentesis untuk pewarnaan Gram, kultur, dan sensitivitas bisa dikerjakan pada kira-kira 50-60% wanita dengan KPD. Adanya bakteri pada pewarnaan  Gram dari cairan amnion (atau kultur positif pada pemeriksaaan selanjutnya) disertai oleh tanda klinik infeksi ibu atau neonatus pada 50-60% pasien. Para penyelidik lain melaporkan bahwa pengurangan volume cairan ketuban yang berketerusan, uji-coba non-stres yang nonreaktif, dan profil biofisik yang abnormal mempunyai nilai ramalan yang sebanding atau lebih baik akan adanya infeksi dalam populasi ini.
-       Penderita KPD seringkali memperlihatkan kematangan paru janin pada usia kehamilan yang relatif lebih muda. Jika dapat diperoleh cairan ketuban yang keluar di dalam vagina, rasio lesitin/spingomielin sangat serupa dengan yang diperoleh langsung melalui vagina tidak bisa didapatkan pada amniosentesis. Bila cairan yang keluar melalui vagina tidak bisa di dapatkan, haruslah dipikirkan melakukan amnionsentesis jika sesuai dengan keadaan klinik.
-       Umumnya penelitian yang dilakukan secara acak memperlihatkan sedikit sekali  atau tidak ada faedah terapi tokolitik intravena pada kehamilan yang berkomplikasi KPD. Sekalipun dianggap kontroversial, umumnya para pakar obstetri menganjurkan pemakaian kortikostreoid pada keadaan ini untuk mempercepat pematangan paru janin (Rayburn, 2005)

     3. Saat terjadinya ketuban pecah dini
a. Pada Waktu Aterm
Sembilan puluh persen pasien dengan KPD akan memasuki partus spontan dalam masa 24 jam dan tidak banyak menimbulkan problem penanganan. Beberapa penelitian memperlihatkan kenaikan kematian perinatal dan infeksi dengan streptokokus group B bila masa laten melewati  24 jam. Kami mengikuti kebijaksanaan memulai induksi atau mempercepat partus selagi masih berada dalam masa antar waktu ini. Sebaliknya, mencoba dengan agresif melakukan induksi pada gravida yang serviknya masih panjang dan tertutup (nilai Bishop tidak baik) biasanya akan disertai oleh kenaikan persalinan operatif. Oleh sebab itu, diperlukan penanganan ekspektatif atau mempergunakan produk prostaglandin E, intravagina, dengan tetap berhati-hari mengevaluasi infeksi dan FHR (Fetal Heart Rates) yang abnormal.
b. Minggu ke 34-37
Pada kelompok pasien ini, risiko penyakit selaput hialin (hyaline membarane disease) pada neonatus sangat kecil bila partus terjadi setelah 16 jam atau lebih sejak ketuban pecah. Pada banyak kesempatan kami melakukan induksi dengan oksitosin untuk mengupayakan pengakhiran kehamilan segera setelah  masa 24 jam. Bila nilai Bishop sangat tidak baik, penanganan konservatif dapat diterima.
c. Minggu ke 24-33
Pada subpopulasi ini risiko ketidakmatangan paru lebih besar daripada risiko infeksi. Kepada mereka berlaku penanganan konservatif sebagaimana digariskan di atas. Kepada pasien diberitahukan bahwa sekalipun dengan terapi konservatif, kira-kira 50% penderita akan partus dalam masa 24 jam dan 75% dalam masa 5 hari.
d. Sebelum 24 Minggu
Kepada sembarang pasien dengan KPD pada kehamilan di bawah 24 minggu harus diberi keterangan bahwa kemungkinan pulang dari rumah sakit dengan membawa pulang anak yang hidup sangat kecil, mungkin sebesar 25%. Banyak dari bayi ini akan menderita hipoplasi paru-paru dan/atau deformitas ortopoli, meninggal dalam kandungan, atau lahir pada usia kehamilan ibu yang sangat muda. Selain itu, bayi yang hidup dengan berat badan 750 gram atau kurang adalah berisiko tinggi untuk mengalami kerusakan pertumbuhan atau kurang adalah berisiko tinggi untuk terminasi kehamilan harus didiskusikan tentunya. Pasien bisa memilih terapi konservatif dengan harapan janin akan bertumbuh dan matur meskipun mempunyai nasib yang tidak baik (Rayburn, 2005

KARAKTERISTIK IBU BERSALIN DENGAN KETUBAN PECAH DINI DI RUANG KEBIDANAN RUMAH SAKIT UMUM



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berdasarkan penelitian WHO (Woldh Health Organization) di seluruh dunia terdapat kematian ibu sebesar 500.000 jiwa / tahun  dan kematian bayi khususnya neonatus sebesar 10.000.000 jiwa/tahun. Kematian maternal dan bayi tersebut terjadi terutama di Negara berkembang sebesar 99 %. Walaupun jumlah sangat besar, yang menarik perhatian karena kejadian tersebar  (Sporadis). Sebenarnya kematian ibu dan bayi mempunyai  peluang yang sangat besar untuk dihindari dengan meningkatkan kerja sama antara pemerintah dan swasta serta badan pemerintah lainnya (Munuaba, 2005).
Tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia yaitu 228/100.000 kelahiran hidup (SKRT, 2008) dibandingkan Angka Kematian Ibu (AKI)  Negara-negara ASEAN lainnya mengharuskan Depertemen Kesehatan membuat kebijaksanaan pelayanan obsteri dan neonatus (kebidanan dan bayi baru lahir) sedekat mungkin kepada ibu sesuai dengan pendekatan Making Pregnancy Sefer (MPS). Visi utama dari MPS adalah kehamilan ibu dan persalinan berlangsung aman serta bayi yang dilahirkan hidup dan sehat. Menurunkan angka kematian ibu (maternal) menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup dan angka kematian neonatus (neonatal) menjadi 16/100.000 kelahiran.  Untuk mencapai sasaran tersebut di tetapkan srategis utama dan  azas-azas pedoman operasionalisasi srategis antara lain bahwa MPS memusatkan perhatiannya pada pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang baku serta cost effective (Depkes RI, 2008).
        Salah satu tujuan progam Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) adalah meningkatkan kemandirian keluarga dalam memelihara kesehatan ibu dan anak. Dalam keluarga, ibu dan anak merupakan kelompok yang yang paling rentan terhadap berbagai masalah kesehatan seperti kesakitan dan gangguan gizi yang sering kali berakhir dengan kecacatan dan kematian. Untuk mewujudkan kemandirian keluarga dalam memelihara kesehatan ibu dan anak maka salah satu upaya program adalah meningkatkan pengetahuan dan keterampilan keluarga melalui pengunaan Buku Kesehatan Ibu Dan Anak (Buku KIA) (Depkes RI, 2003).
Komplikasi kehamilan dan persalinan dialami oleh 15 – 20 % dari seluruh kehamilan dan kebanyakan terjadi di sekitar saat persalinan. Terjadinya komplikasi sulit diperkirakan sehingga sering muncul secara mendadak. Pertolongan terhadap komplikasi ini memerlukan tindakan yang cepat dan tepat (dalam waktu kurang dari 2 jam) agar nyawa ibu dan janinnya dapat diselamatkan (Depkes RI, 2004).
Penyebab langsung kematian ibu terutama disebabkan pendarahan 50%, Eklamsi 13 %, Infeksi 10%, Komplikasi Abortus 11%,  partus lama 9%, sedangkan  penyebab tidak langsung antara lain Untuk ibu hamil menderita KEP 37 % Anemia (Hb < 11 gr%) 40 %. Kejadian anemia pada ibu hamil akan meningkatkan resiko terjadinya kematian ibu dibandingkan dengan ibu yang tidak anemia (Depkes RI, 2005).
Ketuban pecah dini (KPD) adalah ketuban yang pecah spontan yang terjadi pada sembarang usia kehamilan sebelum  persalinan dimulai. Masa laten biasanya berlangsung sekurangnya satu jam. Insidensi KPD berkisar dari 4,5% sampai 7,6% dari seluruh kehamilan. KPD preterm terjadi pada kira-kira 1% kehamilan dan jelas merupakan problema yang lebih menantang untuk para dokter spesialis obstetric (Rayburn, 2005).
Ketuban pecah dini disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan membran atau meningkatnya takanan intrauterin atau oleh kedua faktor tersebut. Berkurangnya kekuatan membran disebabkan oleh adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina dan serviks. Penanganan ketuban pecah dini memerlukan pertimbangan usia gestasi; adanya infeksi pada koplikasi ibu dan janin, dan adanya tanda-tanda persalinan (Saifuddin, 2006).
Permasalahan Ketuban pecah dini (KPD) adalah usia ibu hamil yang terlempau muda atau kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, jumlah melahirkan yang tinggi dari seorang ibu serta pekerjaan ibu yang merupakan penyabab terbanyak dari kejadian Ketuban pecah dini (KPD).