Saturday 8 June 2013

gambaran karakteristik ibu tentang pemanfaatan Kartu Menuju Sehat (KMS) di Desa



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Dalam lima tahun ke depan fokus pembangunan nasional kesehatan diarahkan pada pencapaian kesehatan diarahkan pada pencapaian sasaran Pembangunan Millineum (MDG`s) tahun 2015, yaitu menurunkan Angka Kematian Ibu  dari 228 pada tahun 2007 menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup; Angka kematian bayi dari 34 pada tahun 2007 menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup, serta penurunan prevalensi Gizi Kurang pada Balita 18,4% pada tahun 2007 menjadi setinggi-tingginya 15% (Depkes RI, 2008).
Selama ini pemerintah telah melakukan berbagai upaya, antara lain berupa perbaikan sarana dan fasilitas kesehatan yang ditandai dengan meningkatkan jumlah rumah sakit dan Puskesmas, ditempatkannya tenaga bidan di desa, tersedianya obat-obatan esensial dan alat kesehatan, serta adanya mekanisme pembiayaan kesehatan melalui JAMKESMAS bagi kesehatan miskin (Depkes RI, 2009).
Kurang Energi  Protein  (KEP) sampai saat ini masih merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. Balita disebut KEP bila berat badan Balita di bawah normal dibandingkan dengan rujukan (WHO-NCHS). Kurang energi protein dikelompokkan menjadi 2, yaitu gizi kurang (bila berat badan menurun umur  di bawah – 2 SD), dan gizi buruk (bila berat badan menurun umur -3 SD) (Dinkes Prov. NAD, 2006).
Pravelensi nasional Gizi Buruk pada balita adalah 5,4%, dan gizi kurang pada balita adalah 13,0%. Keduanya menunjukkan bahwa baik target rencana pembangunan jangka menengah untuk pencapaian program perbaikan gizi (20%), maupun target  Millenium Development Goals pada 2015, (18,5%) telah tercapai pada 2007. Namun demikian, sebanyak 19 provinsi mempunyai prevelensi gizi buruk dan gizi kurang di atas prevelensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua                       (Depkes RI, 2009).
Posyandu adalah salah satu bentuk dan upaya kesehatan dan bersumber daya masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, guna mem berdayakan masyarakat  dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi (Depkes RI, 2006).
Meskipun Posyandu bersumber daya masyarakat, pemerintah tetap ikut andil terutama dalam hal penyediaan bantuan teknis dan kebijakan. Kebijakan terkait Posyandu terbaru adalah Surat Edaran Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah tanggal 13 Juni 2001 tentang Pedoman Umum Revitalisasi Posyandu. Salah satu indikator keberhasilan revitalisasi Posyandu adalah meningkatnya status gizi anak sehingga jumlah anak yang berat badannya tidak naik semakin menurun. Kasus kurang gizi dan gizi buruk terkadang  sulit di temukan dimasyarakat, salah satu penyebabnya adalah karena si ibu tidak membawa  anaknya ke pusat pelayanan kesehatan. Akibat bermunculan berbagai kasus kesehatan masyarakat bermula dari kekurangan gizi yang terlambat terdeteksi pada balita, seperti diare, anemia pada anak, dan lain-lain di beberapa provinsi di Indonesia (Makmur dan Hatang, 2008).
Kegiatan bulanan di Posyandu merupakan kegaitan rutin yang bertujuan untuk memantau pertumbuhan berat badan balita dengan menggunakan Kartu Menuju Sehat (KMS), memberikan konseling gizi, dan memberikan pelayanan gizi dan kesehatan dasar. Untuk tujuan pemantauan pertumbuhan balita dilakukan penimbangan balita setiap bulan. Berdasarkan garis pertumbuhan pada KMS dapat dinilai apakah berat badan anak hasil penimbangan dua bulan berturut-turut: Naik (N) atau Tidak Naik (T) (Agustina, 2008).
Kelompok umur yang rentan terhadap penyakit-penyakit kekurang gizi adalah kelompok bayi dan balita. Oleh karena itu, indikator yang paling baik untuk mengukur status gizi masyarakat adalah melalui gizi balita. Selama ini telah banyak dihasilkan berbagai pengukuran status gizi tersebut masing-masing ahli mempunyai pendapat sendiri dalam mengembangkan pengukuran tersebut (Notoadmodjo, 2003).
Cara paling tepat untuk menentukan status gizi adalah berdasarkan berat badan menurut tinggi badan anak, namun karena  keterbatasan sarana di lapangan maka saat ini masih menggunakan berat badan menurut umur (Kartu Menuju Sehat) di tambah dengan gejala klinis (Depkes RI, & WHO, 2005).
Kartu Menuju Sehat (KMS) adalah kartu pedoman untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan balita secara  menyeluruh, baik kesehatan maupun pertumbuhan fisiknya termasuk memantau pemberian imunisasi. Dengan KMS, dapat mengetahui perkembangan yang harus dicapai oleh balita, mulai dari gerakan kasar, gerakan halus, pengamatan, bicara aktif sampai sosialisasi sesuai dengan perkembangan usianya. Melalui KMS juga ibu dapat memantau pertumbuhan fisik balita, terutama berat badannya (Depkes RI, 2005).
Pertumbuhan anak dapat diamati secara cermat dengan menggunakan Kartu Menuju Sehat (KMS) balita kartu menuju sehat berfungsi sebagai alat bantu pemantauan gerak pertumbuhan, bukan menilai status gizi. KMS yang diedarkan departemen Kesehatan tahun 2000, garis merah pada KMS bukan merupakan pertanda gizi buruk, melainkan kewaspadaan. Manakala berat badan balita tergelincir di bawah garis ini, petugas kesehatan harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap indikator antrometrik lain (Arisman, 2004).
KMS sudah cukup lama beredar di Indonesia, akan tetapi penggunaannya sebagai home based record masih perlu dipertanyakan. Pada obervasi di bangsal rawat inap anak RSU Dr. Soetomo dan unit rawat jalan (1997 – 2000), sekitar 90% ibu-ibu penderita malnutrisi menyatakan punya KMS tetapi tidak di bawa, dengan alasan ada Posyandu atau tertinggal di rumah. Pada pelatihan manajemen terpadu balita sakit, penekanan KMS dengan konseling yang baik perlu dibudayakan oleh setiap petugas kesehatan bila menghadapi anak balita sakit (Muslihatun, 2010).
Dari penelitian Mudjianto, (2001) menyimpulkan bahwa KMS anak balita sudah efektif sebagai alat pemantau pertumbuhan anak balita tetapi belum efektif sebagai sarana penyuluh gizi di Posyandu karena rendahnya pemahaman kader dan ibu balita terhadap arti grafik pertumbuhan anak. Di samping itu sedikit sekali kader yang tahu nasehat gizi yang harus diberikan pada ibu balita.
Perilaku keluarga yang membawa balitanya setiap bulan juga berhubungan dengan pengetahuan keluarga, di mana keluarga yang  memiliki pengetahuan tentang kesehatan, tanda, dan gejala sehubungan dengan pertumbuhan anggota keluarganya, maka keluarga akan segera melakukan tindakan untuk meminimalkan dampak yang lebih buruk lagi terhadap kondisi anggota keluarganya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh Anggraeni (2006) tentang pengetahuan ibu dengan keteraturan menimbangkan balitanya ke Posyandu yang menunjukkan hasil signifikan dengan hubungan yang bersifat positif. Menurut Suparman dan Sihombing (1990) keluarga merupakan faktor penting dalam memotitor keadaan gizi balita melalui KMS  (Octaviani, 2008).
Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang gizi Bogor (2007) dan Djukarni (2001) bahwa penimbangan balita secara rutin dan diimbangi dengan penyuluhan serta pemberian makanan tambahan pada setiap bulan penimbangan di Posyandu dalam kurun waktu 3 bulan dapat menurunkan angka kasus gizi buruk dan gizi kurang  (Octaviani, 2008).

0 komentar:

Post a Comment