Sunday 16 June 2013

Hubungan Kejadian Baby Blues Syndrom Pada Ibu Post Partum Terhadap Usia Pernikahan Di Bidan Praktek Swasta (BPS)



BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang
Pembangunan nasional pada hakikatnya bertujuan untuk menumbuhkan sikap dan tekat kemandirian manusia dan masyarakat Indonesia dalam rangka meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia.  Untuk mencapai tujuan tersebut bangsa Indonesia telah melakukan berbagai upaya yang salah satunya adalah upaya dalam pembangunan kesehatan. Upaya dalam pembangunan Kesehatan bertujuan agar tercapai kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk dan terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Salah satu sasaran pembangunan kesehatan adalah mewujudkan generasi muda atau remaja yang sehat. Remaja yang sehat adalah remaja yang produktif dan mampu berperan serta secara aktif, salah satu upaya dalam mewujudkan hal tersebut adalah dengan meningkatkan kualitas non fisik yang meliputi segi intelektual, emosional dan psikososial pada kesehatan remaja, khususnya dalam segala hal yang  yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi. (Depkes Jakarta, 2010)
Setiap wanita pastilah memiliki cita-cita untuk menikah, mengandung, melahirkan, dan menjadi seorang ibu, kelak. Pada mulanya, hati terasan senang dan bahagia ketika mengetahui bahwa diri kita telah mengandung seorang bayi, apa lagi bayi pertama yang di nanti-nantikan. Setelah 9 bulan mengandung sang bayi tersebut, dan melahirkannya, beberapa wanita malahan cenderung bingung dengan apa yang akan di lakukannya terhadap bayi tersebut. Bayi pada umumnya menangis jika menginginkan sesuatu, namun sang ibu malahan bingung, di susui tidak mau, di gendong pun tetap menangis. Lama-kelamaan terjadilah yang di namakan atau sering di sebut-sebut sebagai sindroma baby blues, di mana sang ibu merasa tidak menginginkan bayinya tersebut (Suherni dkk, 2009).
Pada kasus wanita yang memiliki dukungan sosial yang cukup baik dari orang-orang terdekatnya seperti suami atau keluarga, maka sindrom ini dapat menghilang dalam kurun waktu kurang lebih dua minggu. Namun, jika seorang wanita yang sudah mengalami sindrom ini tidak diberikan dukungan sosial yang cukup dari orang-orang terdekatnya, maka tahap ini akan terus berlanjut menjadi depresi bahkan dapat mencapai tahapan psikotik, yaitu membunuh bayinya tanpa sadar. Maka dari itu, diharapkan suami dan keluarga terdekat dari wanita yang baru saja melahirkan harus memberikan cukup dukungan dan bantuan yang diperlukan bagi wanita tersebut sehingga sindroma baby blues ini tidak perlu terjadi (Sylvia, 2006)
Wanita pada pasca persalinan perlu melakukan penyesuaian diri dalam melakukan aktivitas dan peran barunya sebagai seorang ibu di minggu-minggu pertama atau bulan-bulan pertama  setelah melahirkan.  wanita yang telah berhasil melakukan penyesuaian diri dengan baik dapat melewati gangguan psikologis ini, tetapi sebagian lain yang tidak berhasil melakukan penyesuaian diri ini akan mengalami gangguan-gangguan psikologis, inilah yang dinamakan syndrome baby blues (Mansur, 2009).
Prevalensi kejadian baby blues syndrome dari berbagai penelitian berbeda di tiap negara, berkisar antara 10-34 % dari seluruh persalinan. Penelitian di negara barat menunjukkan kejadian lebih tinggi dibandingkan dengan yang pernah dilaporkan dari asia, pada penelitia yang dilakukan terhadap 154 wanita pasca persalinan di Malaysia pada tahun 2009 dilaporkan angka kejadian 3,9% terbanyak dari ras India (8,9%), Melayu (3,0%), dan tidak adanya kasus pada ras Cina. Penelitian di Singapura dilaporkan angka kejadiannya sebesar 1%. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Jofesson dkk pada tahun 2010 didapatkan angka  baby blues syndrome sekitar 10%-20% (Jofesson A, 2010)
Ibu baru yang tidak mampu mengurus bayinya mengalami tanda-tanda  syndrome baby blues seperti; sulit berkonsentrasi, kesepian dan perasaan sedih yang mendominasi. Berdasarkan analisa 43 studi yang melibatkan lebih dari 28.000 responden, diketahui angka kejadian baby blues di Amerika Serikat pada ibu baru mencapai 14,1 % lebih tinggi dibandingkan dari negara Eropa, Australia, Amerika Selatan  dan China (Themzee, 2010).
Wanita pada masa postpartum dianggap kebal terhadap syndrome baby blues. Menurut hasil penelitian yan dilakukan  di Indonesia yaitu di Jakarta yang dilakukan oleh dr. Irawati Sp.Kj, 25% dari 580 ibu yang menjadi respodennya mengalami sindroma ini. Dan dari beberapa penelitian  yang telah dilakukan di Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya, ditemukan bahwa angka kejadian syndrome baby blues terdapat  11-30% ini merupakan jumlah yang tidak sedikit dan tidak mungkin dibiarkan begitu saja (Pangesti, 2010).
Ibu nifas yang mengalami postpartum blues atau syndrome baby blues terjadi Rumah Sakit Umum Daerah Koja Jakarta Utara. Rumah Sakit ini merupakan salah satu tempat pelayanan kesehatan bagi ibu nifas. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti pada 130 orang ibu nifas pada bulan April-Mei 2010,  ibu yang mengalami gangguan psikologis ringan atau postpartum syndrome baby blues 30% diantaranya positif mengalami syndrome baby blues ini (Oryzae, 2011).
 Syndrome baby blues termasuk dalam kategori depresi postpartum ekstrem yang paling ringan, karena pada keadaan ini ibu mengalami kesedihan sementara yang berlangsung cepat pada awal postpartum. Depresi postpartum ditemukan pertama kali oleh Pitt pada tahun 1988. Menurut Pitt tingkat keparahan depresi postpartum sangat bervariasi. Ekstrem yang paling ringan disebut dengan the blues atau maternity blues. Gangguan postpartum yang paling berat disebut psikosis postpartum atau melankolia (Sujiyanti, 2010).

0 komentar:

Post a Comment